Minggu, 13 Juni 2021

 

Menyambut Pembelajaran Tatap Muka, Mewujudkan Kesejahteraan Siswa

Wahyu Widodo ;  Mahasiswa S-3 Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang; Dosen Ilmu Pendidikan Universitas Tribhuwana Tunggadewi

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Siswa telah menghabiskan waktu belajar secara daring lebih dari satu tahun ajaran. Keadaan tersebut dikhawatirkan oleh banyak pihak dapat mengakibatkan berkurangnya pengalaman belajar siswa (learning loss). Tidak ingin hal itu terus terjadi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akhirnya menyalakan lampu hijau untuk jalannya pembelajaran tatap muka di tahun ajaran baru 2021/2022. Lalu bagaimana sebaiknya sekolah menyambutnya?

 

Terhitung sejak Maret 2020 dengan disahkannya surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 tahun 2020, siswa tidak lagi merasakan atmosfer belajar di ruang kelas, riuh tepuk tangan atas keberhasilan belajar tidak lagi terdengar, keakraban pertemanan antar siswa tak lagi ditemui, bahkan siswa kehilangan momen saat mereka pulang ke rumah dan menceritakan pengalaman bersekolahnya kepada orangtua.

 

Sungguh, pandemi memaksa interaksi pembelajaran bermigrasi dari ruang kelas ke ruang maya. Transaksi pikiran dan emosional diantara siswa-guru terwakili dengan teks dan mimik wajah yang hanya terbingkai seluas layar ponsel. Pujian guru atas kinerja siswa pun kadang tidak terdengar natural karena tersendat sinyal.

 

Hasil riset Save the Children dengan melibatkan 31.683 orangtua dan 13.477 anak dari 30 provinsi di Indonesia mengungkapkan dampak pandemi pada sektor pendidikan sangatlah mengkhawatirkan. Hal itu tergambarkan jelas dari temuan bahwa 8 dari 10 anak mengatakan tidak dapat mengakses bahan belajar memadai, 4 dari 9 anak kesulitan memahami PR, 7 dari 10 orangtua mengatakan bahwa anaknya belajar lebih sedikit, dan 1 dari 5 anak mengatakan ”tidak ada yang bisa membantu saya”.

 

Masih dalam laporan riset Save the Children terungkap fakta bawa produktivitas kerja guru mulai menurun (1 dari 4 orangtua mengatakan guru sama sekali tidak memantau anaknya dan hanya 1 dari 12 anak yang dipantau setiap hari). Keadaan itu diperberat dengan ketidaksiapan orangtua untuk sepenuhnya mendidik anak-anaknya di rumah (www.stc.or.id).

 

Hasil riset di atas mengindikasikan betapa sumberdaya belajar siswa berangsur-angsur menghilang. Maka benar dengan apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak terutama yang dirasakan para guru bahwa pembelajaran daring membuat siswa berisiko mengalami learning loss. Dinamika learning loss dapat dipahami dengan mengacu pada Conservation of Resources (COR) Theory, yaitu keadaan yang menggambarkan berkurangnya sumber daya psikologis yang dimiliki oleh seseorang sehingga memicu stres dan perlunya tindakan segera mengembalikan sumber daya tersebut (Hobfoll, 1989).

 

Sumber daya siswa di sekolah diantaranya adalah interaksi edukatif siswa-guru yang harmonis, rasa kebersamaan diantara siswa, dan mudahnya akses materi pelajaran di mana semua itu dapat meningkatkan perfoma dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, ketika sumberdaya itu tidak lagi didapatkan, siswa mengeluh bosan, gelisah, dan ingin segera kembali bersekolah.

 

Merespons fenomena tersebut, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada akhirnya menegaskan semua sekolah sudah bisa melakukan pembelajaran tatap muka mulai tahun ajaran 2021/2022. Lampu hijau dari Mas Menteri pun disambut dengan antusias oleh masyarakat terutama oleh para siswa. Beragam persiapan protokol kesehatan di sekolah terus dipenuhi pemerintah.

 

Kesehatan psikologis siswa

 

Namun sebenarnya, bila direnungkan lebih mendalam lagi dengan mengingat dampak pandemi tidak hanya menyerang kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan psikologis siswa, maka persiapan yang dilakukan sekolah tidak cukup dengan menguatkan protokol kesehatan fisik saja. Sekolah juga perlu menyiapkan protokol kesehatan psikologis

 

Penyiapan protokol kesehatan psikologis, antara lain, pertama, perkaya munculnya emosi positif selama pembelajaran tatap muka di kelas. Pekrun (2002) menyatakan bahwa emosi positif dapat membantu siswa leluasa menetapkan tujuan belajarnya, membuat pikiran lebih terbuka, melindungi kesehatan dengan memupuk resiliensi, menciptakan engagement (keterikatan) dengan guru, teman, dan orangtua, meningkatkan kemampuan regulasi diri, dan memandu perilaku kelompok, sistem sosial, dan bangsa.

 

Sekolah dapat menghadirkan emosi positif dengan mulai menghentikan narasi pesimistik learning loss dan menggantinya dengan narasi optimistik, learning gain. Siswa diajak untuk tidak lagi merasa rugi atau kehilangan kesempatan atas apa yang mereka alami selama pembelajaran daring,

 

Sebaliknya, siswa diarahkan untuk menumbuhkan penghargaan atas apa yang telah mereka raih selama ini, seperti kemampuan literasi digital siswa yang terus bertumbuh, termasuk meningkatnya kemandirian dan resiliensi. Mengajak siswa menulis atas pengalaman yang mengesankan selama pembelajaran daring akan membuat ketautan psikologis mereka berangsur-angsur pulih.

 

Kedua, fokus pada well-being siswa. Well-being siswa adalah keadaan yang mencerminkan siswa yang bahagia dan berfungsi positif selama bersekolah. Meminjam model konseptual School Well-being yang dirumuskan Konu and Rimpela (2002), upaya menumbuhkan well-being siswa dapat dilakukan melalui penciptaan kondisi lingkungan belajar di sekolah yang aman, terjaga kebersihannya, dan menerapkan protokol kesehatan.

 

Protokol kesehatan akan membuat siswa tidak lagi merasa cemas dan dapat lebih berfokus pada situasi pembelajaran dan perlahan-lahan memperbaiki bantalan emosional dan memperkuat kelekatan sosial diantara siswa dan guru. Selanjutnya adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengupayakan pemenuhan diri melalui sikap kepedulian yang ditunjukkan oleh semua anggota sekolah.

 

Demikian juga, hubungan siswa-guru-orangtua mulai dikuatkan kembali dengan memberikan ruang kepada mereka untuk saling berbagi atas perjuangan mereka melalui masa-masa sulit selama pembelajaran daring. Upaya lainnya yang dapat dilakukan oleh sekolah tentunya adalah melatih siswa untuk selalu menjaga kesehatan melalui pengunaan masker dan membudayakan bercuci tangan. Kebiasaan baru yang bila tidak dijaga akan membuat siswa lengah.

 

Ketiga, tingkatkan level penggunaan teknologi tidak hanya sebagai media pembelajaran tetapi sebagai bagian dari gerakan inovasi sosial di sekolah. Gerakan inovasi sosial dalam hal ini adalah gerakan yang memanfaatkan teknologi sebagai cara baru masyarakat memenuhi kebutuhan sosialnya.

 

Mengapa hal ini penting? Seperti yang diketahui, pandemi Covid-19 membuat pemerintah mempercepat transformasi digital di sekolah-sekolah. Hal itu juga memaksa siswa mulai terbiasa menggunakan teknologi. Padahal, di sisi yang sama juga banyak ditemui permasalahan, seperti kurangnya akses internet, keterjangkauan perangkat teknologi, dan kurangnya literasi digital.

 

Bila penggunaan teknologi itu tidak diiringi dengan adanya inovasi sosial, maka penggunaan teknologi malah akan membuat siswa merasa tertekan. Gerakan inovasi sosial dapat diimplementasikan dengan melibatkan para tokoh setempat untuk merumuskan strategi, mengembangkan teknologi digital berkelanjutan, dan menyiapkan sekolah untuk mulai adaptif dengan teknologi-teknologi baru, seperti data semesta (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan lainnya yang sejenis.

 

Keempat, meningkatkan keterlibatan orangtua menjadi parental engagement (kelekatan orangtua). Selama pembelajaran daring, para orangtua terlihat terus berjuang walaupun dalam keterbatasan agar tetap dapat mendampingi belajar siswa sehari-hari. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa keterlibatan orangtua dalam pembelajaran anak mulai tumbuh.

 

Lalu kenapa kebiasaan baru ini tidak dilanjutkan bahkan ditingkatkan menjadi sebuah parental engagement? Orangtua yang terus melekat secara aktif dalam pembelajaran anak-anaknya? Sebagaimana dilaporkan dalam sebuah penelitian yang diketuai Dr Lance Emerson, parental engagement dapat meningkatkan produktivitas, prestasi dan well-being siswa (Emerson, dkk, 2012). Maka dari itu, sekolah perlu merancang program yang memberikan para orangtua pengetahuan dan keterampilan baru dalam mendampingi belajar anak, menjaga keterlibatan orangtua melalui pemanfaatan teknologi dan berorientasi pada upaya bersama mewujudkan well-being siswa.

 

Akhirnya, momentum kembalinya pembelajaran tatap muka pada dasarnya adalah momentum untuk menata kembali fungsi sekolah, menguatkan peran orangtua, mengasah keterampilan guru dengan berbagai teknologi baru, yang mana ujung dari itu adalah terwujudnya well-being siswa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar