Minggu, 13 Juni 2021

 

Dalam Cengkeraman Partikulat Jahat

Neli Triana ;  Wartawan (Penulis kolom “Catatan Urban”) Kompas

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Sidang putusan gugatan warga negara atas pencemaran udara di DKI Jakarta oleh sejumlah warga yang tergabung dalam Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) kembali tertunda. Dalam sidang pada 10 Juni pekan ini, majelis hakim memutuskan menunda putusan pada 24 Juni 2021.

 

Koalisi ini didampingi kuasa hukumnya menggugat Presiden RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat. Ketujuh tergugat dinilai wajib bertanggung jawab karena mengatasi polusi udara butuh kebijakan dan kerja sama lintas wilayah.

 

Dalam pembacaan gugatan saat sidang perdana Desember 2019, seperti diberitakan media ini, mereka menyampaikan buruknya kualitas udara Jakarta terbukti, antara lain, dari angka konsentrasi partikel debu mikro atau PM2,5 di DKI yang menjadi rata-rata 37,82 µg/m3 pada periode Januari-Juni 2019. Angka itu dua kali lebih tinggi dari standar nasional atau tiga kali lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

 

Paparan pencemaran PM2,5 memiliki hubungan sebab-akibat dengan bermacam penyakit, terutama kardiovaskular dan paru-paru. Masyarakat Jakarta menanggung beban biaya pengobatan yang tak main-main, mencapai Rp 38,5 triliun pada 2010 dan Rp 51,2 triliun pada 2016.

 

Koalisi Ibukota juga meminta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 direvisi terkait batas baku mutu udara ambien serta memberi peringatan keras bagi pemerintah provinsi yang lalai dalam menjaga kualitas udara di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Namun, setelah berjalan 1,5 tahun, gugatan tersebut belum jua berujung. Majelis hakim menunda ketuk palu karena banyaknya materi kasus untuk dipelajari dan dirundingkan putusannya. Dalam catatan Kompas, penundaan sidang putusan ini yang kedua kalinya. Di luar itu, proses Koalisi Ibukota mencari keadilan telah berlangsung berkepanjangan, sejak gugatan didaftarkan 4 Juli 2019, sidang perdana pada Desember 2019, dan kini harap-harap cemas menanti putusan (Kompas.id, 19 Desember 2019).

 

Selama pandemi, isu gugatan terkait polusi udara sempat dinafikan publik yang sedang dihantam dampak wabah global. Di sisi lain, ada pengaburan fakta seakan melambatnya berbagai kegiatan masyarakat selama pagebluk membuat tingkat polusi udara menurun dan kualitas lingkungan perkotaan Jakarta membaik. Salah satu indikatornya adalah langit Ibu Kota yang beberapa kali terekam kamera berwarna biru cerah saat siang hari.

 

Faktanya, di Jakarta saat menjalankan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada tahun lalu, polusi nitrogen dioksida (NO2) memang turun, tetapi polutan PM2,5 tetap relatif tinggi dibandingkan dengan standar WHO.

 

Pada tahun kedua pandemi di Indonesia saat ini, terjadi peningkatan pergerakan masyarakat di kawasan perkotaan dan non-perkotaan. Pelonggaran kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat diyakini memacu denyut perekonomian, tetapi juga berkait langsung dengan penyebaran virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 dan sumber penghasil polusi pun kembali aktif.

 

Lebih mematikan

 

Pada 10 Juni 2021, sesuai data WHO, ada 380.482 kasus positif Covid-19 baru di seluruh dunia. Total sejak 2020 hingga kini, ada 174.061.995 kasus terkonfirmasi positif, termasuk 3.758.560 kasus kematian. Di Indonesia, jumlah kasus positif juga terus naik, terutama di kawasan perkotaan. Di Jakarta, pada 10 Juni ada 2.096 kasus baru. Angka itu hampir dua kali lipat kasus harian dalam sepekan terakhir.

 

Dengan korban sebesar itu, pandemi Covid-19 ternyata masih kalah mematikan dibandingkan dampak buruk kualitas lingkungan akibat tingginya kandungan polusi di udara. WHO pada 2016 mengeluarkan laporan data mortalitas dan morbiditas yang dikaitkan dengan polusi udara. Riset juga menunjukkan perkiraan aktual paparan manusia terhadap PM2,5 dan beban penyakit yang disebabkan paparan jangka panjang polusi udara.

 

Climate4life dalam salah satu artikelnya menjelaskan, PM ini zat mikroskopis berupa padatan atau tetesan cairan yang mengambang dan dapat bertahan berminggu-minggu di atmosfer. PM2,5 dihasilkan dari semua pembakaran, termasuk dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik, pembakaran kayu di perumahan, kebakaran hutan, pembakaran pertanian, dan beberapa proses industri. PM10 dapat berupa jamur mikroskopik, spora, serbuk sari, juga debu jalanan.

 

Diameter PM10 jauh lebih kecil dari diameter rambut manusia, sedangkan diameter PM2,5 seperempat dari PM10. PM2,5 membahayakan karena mampu masuk hingga pembuluh darah dan bermuara di berbagai organ tubuh. WHO mencatat berbagai penyakit kanker, jantung, dan paru dipicu oleh PM2,5. Lembaga ini mencatat, satu dari setiap sembilan kematian setiap tahunnya berkorelasi dengan buruknya kualitas udara.

 

Riset WHO, ”Ambient Air Pollution: A Global Assessment of Exposure and Burden of Disease” (2016), tersebut berdasarkan pantauan kualitas udara di 3.000 kota besar dan kecil di seluruh dunia pada 2014. Perkiraan model menunjukkan bahwa pada 2014, hanya 1 dari 10 orang yang berkesempatan menghirup udara bersih sesuai standar batas konsentrasi polusi udara di daerahnya. Polusi udara bahkan dituding turut membunuh sekitar 3 juta orang setiap tahun.

 

Polusi udara dikhawatirkan terus meningkat pada level yang membahayakan pada tahun-tahun berikutnya dan memengaruhi ekonomi dan kualitas hidup masyarakat. WHO menyatakan ini keadaan darurat kesehatan masyarakat. Darurat kesehatan ini menerpa semua negara, tetapi kawasan Pasifik Barat dan Asia Tenggara disebut menjadi wilayah paling terdampak.

 

Indikator SDGs

 

Kekhawatiran yang dilanjutkan kesiapsiagaan dalam penanggulangan polusi udara mendapat tempat tersendiri dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tingkat polusi udara di kawasan urban menjadi salah satu indikator pembangunan berkelanjutan perkotaan (Tujuan ke-11); akses ke energi bersih yang mengacu pada penggunaan bahan bakar dan teknologi ramah lingkungan menjadi indikator untuk energi berkelanjutan (Tujuan ke-7); dan tingkat kematian akibat pencemaran udara digunakan sebagai indikator tujuan SDG kesehatan (Tujuan ke-3).

 

Dalam hal pemantauan dan pelaporan, WHO menyatakan ada kesenjangan besar dalam pemantauan dan pelaporan polusi udara di negara dan kota-kota berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di Afrika dan Asia, tetapi juga di wilayah lain.

 

Untuk itu, memperkuat kapasitas kota untuk memantau kualitas udaranya dengan metode standar, instrumentasi andal dan berkualitas baik, serta struktur berkelanjutan adalah kunci untuk mengatasi polusi udara serta dampaknya yang mematikan.

 

Di masa pandemi ini, sepatutnya juga jangan sampai terlena dan melonggarkan upaya komprehensif memperbaiki kualitas udara. Justru dengan semangat adaptasi menuju normal baru, saat ini adalah kesempatan mengatur ulang semua sendi kehidupan dengan cara lebih ramah lingkungan.

 

Kota-kota modern dan maju di dunia seperti Paris, London, juga Singapura sudah mencanangkan penataan kembali kawasan urbannya dengan mengutamakan pengembangan sistem transportasi publik dan membatasi ketat penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Kota-kota utama dunia bertekad memperluas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru.

 

Mereka makin gencar menerapkan teknologi rendah emisi untuk pengolahan sampah urban sampai skala industri besar. Ekonomi masyarakat didorong berubah dengan menerapkan sistem ekonomi sirkular yang bertumpu pada kegiatan ramah lingkungan, kolaborasi antarsemua lapisan masyarakat, serta mengutamakan penggunaan berbagai bahan lokal rendah emisi.

 

Adaptasi baru ini diyakini akan memberi peluang jauh lebih besar untuk menghindarkan diri dari ancaman berbagai penyakit akibat polusi udara, juga dari Covid-19 serta pandemi lain yang masih akan mengancam di masa depan. Indonesia dengan kawasan urbannya yang terus tumbuh berkembang layak mengikuti langkah baik kota-kota rujukan dunia. Semua itu tidak lain demi kemaslahatan masyarakatnya sendiri dan meningkatkan daya saing di kancah ekonomi global.

 

Gugatan hukum atas pencemaran udara yang diajukan Koalisi Ibukota sejatinya didasarkan pada tanggung jawab pemerintah yang tidak boleh main-main dalam melindungi warganya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar