Selasa, 15 Juni 2021

 

Subsidi Pupuk dan Impor Beras

Suwidi Tono ;  Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Ketua Perkumpulan Bangun Nusa Berkelanjutan

KOMPAS, 14 Juni 2021

 

 

                                                           

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu kembali menegaskan, pemerintah tak akan impor beras; setidaknya sampai akhir Juni 2021 jika produksi dalam negeri mencukupi.

 

Sebelumnya (Kompas, 12/1/2021) Presiden mempertanyakan efektivitas subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi padi yang menyedot belanja pemerintah puluhan triliun rupiah setiap tahun dan telah berlangsung sejak 2003.

 

Dua hal yang mendapat perhatian Presiden itu memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Isu serius ini belum pernah ditinjau menyeluruh agar kemudian melahirkan solusi berupa kebijakan substansial, terintegrasi dan akuntabel untuk mengamankan ketahanan pangan nasional.

 

Data impor beras yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) selama sepuluh tahun terakhir tercatat fluktuatif dengan impor terendah pada 2015 sebesar 305.000 ton dan tertinggi 2016 sebesar 1,283 juta ton. Tahun 2020, total impor beras mencapai 356.000 ton. Data impor ini di luar penugasan untuk pengadaan stok Badan Urusan Logistik (Bulog).

 

Dari data total produksi nasional 31 juta ton sampai 33 juta ton beras per tahun dan tingkat konsumsi hampir setara, tetapi dengan laju pertumbuhan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, menjadikan impor sebagai keniscayaan. Kebutuhan impor terutama untuk penguatan stok ataupun antisipasi risiko gagal panen dan keperluan mengendalikan harga yang berhubungan dengan inflasi.

 

Tidak tepat

 

Subsidi input pertanian (pupuk dan benih) yang dipertanyakan efektivitasnya oleh Presiden sudah saatnya dikoreksi berdasarkan data-data faktual yang lebih relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Pertama, sejumlah regulasi sebagai payung hukum alokasi subsidi tidak sinkron atau kompatibel satu-sama lain.

 

Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 19/2003 tentang BUMN, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 22/2020 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dan Peraturan Presiden No 15/2011 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan belum cukup sinergis mendukung kedaulatan, ketahanan, dan keamanan pangan sesuai amanat UU No 18/2012 tentang Pangan.

 

Kedua, efektivitas alokasi subsidi pupuk tidak signifikan meningkatkan produksi padi.

 

Sepanjang 2015-2020, alokasi subsidi pupuk rata-rata mencapai Rp 29 triliun, tetapi rerata produktivitas areal lahan petani penerima subsidi ajek bertahan pada kisaran 5,2 ton per hektar (Kementan, 2020).

 

Dapat disimpulkan bahwa kucuran subsidi lebih merupakan upaya untuk mempertahankan ambang produktivitas (leveling-off) rata-rata nasional ketimbang mendorong kenaikan produktivitas.

 

Ketiga, inventarisasi masalah laten subsidi pupuk belum tertangani dengan baik. Terdapat enam indikasi distribusi tidak tepat, yaitu tidak tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan kualitas. Peristiwa pupuk langka dan harga melejit yang terus berulang saat berlangsung musim tanam merupakan salah satu petunjuk asimetri program subsidi ini.

 

Keempat, alih fungsi lahan di Jawa, terutama lahan sawah beririgasi teknis baik, mencapai 100.000 hektar per tahun, sedangkan laju cetak sawah baru di luar Jawa selalu kurang dari 10.000 hektar per tahun.

 

Laju konversi lahan sawah dengan kecepatan tinggi yang tidak dikompensasi dengan pembukaan lahan baru akan terus memberi tekanan terhadap stok dan pengadaan beras nasional. Pembukaan lumbung pangan baru (food estate) jelas tidak dimaksudkan sebagai substitusi instan karena membutuhkan proses bertahap dan jangka waktu cukup lama untuk memperoleh manfaatnya.

 

Kelima, belajar dari negara-negara yang sukses memajukan pertanian dan menciptakan ketahanan pangan, petani selalu menjadi subyek dari seluruh ikhtisar kebijakan pemerintah. Sebagai subyek, petani lewat asosiasi dan wakil-wakilnya mendorong pembuatan regulasi yang menjamin keberlanjutan, kemajuan produksi, dan kesejahteraannya.

 

Subsidi ”output”

 

Salah satu usulan yang direkomendasikan dan lebih tepat guna untuk mengatasi asimetri subsidi pupuk dan produksi padi adalah mengalihkan alokasinya untuk subsidi output dalam bentuk intervensi harga padi atau beras. Implikasi peralihan subsidi ini akan memberi dampak signifikan, lebih transparan, dan akuntabel.

 

Pertimbangannya sebagai berikut. Pertama, rumah tangga pertanian (RTP) gurem dengan skala pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar tahun 2019 jumlahnya mencapai 16,7 juta petani atau hampir 60 persen dari total RTP.

 

Subsidi input, khususnya pupuk, hanya dinikmati petani pemilik lahan luas (lebih dari 2 hektar) yang jumlahnya kurang dari 10 persen RTP dan 40 persen petani penggarap yang sewaktu-waktu dapat beralih tidak menanam padi jika margin keuntungan tidak layak. Pengalihan ke subsidi output akan mengurangi mis-alokasi alias ketidakadilan ini.

 

Kedua, pendekatan output price support akan menciptakan positive sum game (semua diuntungkan), bukan zero sum game (ada yang dikorbankan).

 

Ekosistem produksi memberi ruang ekspresi setara dan saling mendukung. Petani berlomba meningkatkan produksi dan kualitas karena mendapat jaminan keuntungan memadai. Produsen benih, pupuk, dan sarana produksi lainnya akan memasok input berkualitas.

 

Singkatnya, tercipta simbiosis mutualisme sehingga menjamin kelangsungan ekosistem produksi yang sehat.

 

Ketiga, penerapan alokasi subsidi baru dengan pendekatan model: Hpt = A+b (HL–A), di mana Hpt = harga padi di tingkat petani, A = break event point plus 10 persen margin, dan HL = harga lelang.

 

Syaratnya, biaya per unit juga dinyatakan dalam output, bukan semata-mata biaya input per satuan luas lahan. Dengan pendekatan ini, kepastian petani menerima keuntungan layak dijamin pemerintah. Subsidi jadi terkontrol karena tidak terjadi mismatch antara kuantitas gabah/beras dengan besaran penyaluran subsidi.

 

Bahkan, alokasinya dapat menggunakan mekanisme dana talangan agar secara bertahap tidak membebani APBN.

 

Keempat, perubahan alokasi subsidi ke harga output diyakini dapat mempersempit ruang gerak pemburu rente karena kepastian model penetapan harga telah terbentuk sejak di tingkat petani produsen dan berlaku nasional.

 

Kondisi ini akan membantu mewujudkan berkembangnya korporasi petani baik yang berbasis koperasi ataupun gabungan kelompok tani. Desain korporasi petani yang melibatkan jejaring institusi pembiayaan, penjaminan risiko, resi gudang, offtaker, koperasi, dan kelompok tani sangat dianjurkan untuk mengatasi problem teknis budi daya dan tata kelola usaha yang menjadi tantangan besar selama ini.

 

Geospasial

 

Perlu ditekankan, keputusan perubahan alokasi subsidi ke target output perlu kajian dan persiapan matang. Kendala berupa melekatnya watak egosektoral harus dikikis lebih dahulu. Syarat utamanya harus berbasis data tunggal dan sahih.

 

Proyeksi produksi berbasis kerangka sampel area (BPS), prognosa (Kementan), dan stok pasar (Kemendag dan Bulog) dikalibrasi dan disinergikan sehingga tidak menimbulkan interpretasi beragam.

 

Untuk petani dan lahan harus berbasis data geospasial agar perumusan kebijakan dan implementasinya mendekati akurat. Teknis implementasi dalam bentuk kartu tani atau sertifikasi komunitas tani akan sangat mendukung tingkat akurasi dan kemanfaatannya.

 

Terakhir, tetapi tak kalah penting, akan lebih elok jika istilah subsidi diubah menjadi belanja publik (public spending) karena konotasi subsidi seperti belas kasihan atau beban anggaran, padahal sewajarnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani dan konsumen, sekaligus untuk keperluan mengendalikan inflasi.

 

Dalam jangka panjang, jika desain subsidi output dijalankan secara tepat menggunakan mekanisme dana talangan, ekosistem produksi dan pasar yang terbentuk justru secara bertahap mengurangi beban anggaran dan malahan dapat mendorong terciptanya struktur baru yang sehat, lebih menggairahkan petani, dan menjamin ketahanan pangan nasional. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar