Selasa, 15 Juni 2021

 

Pengaruh Ekonomi AS terhadap Pasar Modal Tanah Air

Joice Tauris Santi ;  Wartawan Kompas, penulis kolom “Investasi”

KOMPAS, 14 Juni 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 membuat pemerintah banyak negara bekerja keras. Tujuannya, mempertahankan perekonomian agar tidak tergerus virus.

 

Berbagai langkah stimulus dilakukan, mulai dari paket bantuan tunai, pemangkasan tingkat suku bunga agar pebisnis tidak terbebani biaya bunga, hingga penurunan tarif pajak.

 

Ketika vaksin sudah ditemukan dan banyak orang sudah menerimanya sehingga membentuk kekebalan kelompok, perekonomian diharapkan berjalan kembali. Kekebalan kelompok akan tercapai jika setidaknya 70 persen populasi telah menerima vaksin atau paparan Covid-19. Semakin cepat tercapai kekebalan kelompok, semakin cepat pula mesin perekonomian suatu negara akan mulai menyala lagi.

 

Amerika Serikat menjadi salah satu negara berpenduduk besar yang paling cepat dalam memvaksin warganya, yakni mencapai 70 persen pada 4 Juli mendatang, bersamaan dengan hari kemerdekaan negara itu.

 

Bank sentral AS Federal Reserve, yang sebelum ini sibuk menggelontorkan berbagai stimulus, diperkirakan akan mulai mengerem stimulusnya dan kembali mengencangkan kebijakan dengan menaikkan tingkat suku bunga yang selama ini hampir nol persen.

 

Namun, ada beberapa kondisi yang harus dicapai sebelum Fed mengencangkan kebijakan. Di antaranya, terjadinya peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja yang maksimal dan inflasi minimal 2 persen.

 

Data tenaga kerja April 2021 menunjukkan, adanya pembukaan 9,3 juta lapangan kerja seiring pemulihan ekonomi. Pada Maret, sudah ada 8,3 juta lapangan kerja baru, yang merupakan titik tertinggi seperti pernah dicapai pada tahun 2000.

 

Data lain memperlihatkan, klaim tunjangan pengangguran turun ke titik terendah sejak pertengahan Maret 2020 ketika pandemi merebak.

 

Perkembangan terbaru, data inflasi AS melonjak menjadi 5 persen pada Mei 2021, dari sebelumnya 4,2 persen pada April. Inflasi ini yang tertinggi sejak Agustus 2008. Inflasi mulai merangkak naik sejak Januari 2021 yang saat itu masih 1,4 persen.

 

Dua data ini tampaknya semakin mendekatkan langkah Fed untuk melakukan pengetatan. Meskipun secara resmi Fed menyatakan, baru akan menaikkan suku bunga menjelang akhir tahun depan.

 

Langkah Fed di negeri ”Paman Sam” ini apakah akan berpengaruh terhadap negara-negara lainnya?

 

Bagi mereka yang sudah berinvestasi cukup lama di pasar modal, katakanlah sejak sebelum 2013, mungkin pernah merasakan pedihnya dampak langkah Fed dalam menaikkan suku bunga.

 

Ketika itu, kondisi pasar finansial global sebenarnya baik-baik saja. Sampai kemudian pada akhir Mei 2013, Gubernur Fed Ben Bernanke mengumumkan, Fed akan melakukan tapering atau pengurangan stimulus dengan mengurangi belanja obligasi. Krisis finansial yang melanda AS pada 2008 mendorong Fed memberi banyak stimulus kala itu.

 

Akibat pengumuman tersebut, pasar finansial global pun bergejolak. Riaknya terasa hingga ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Harga saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) melorot yang berdampak pada investor, baik institusi maupun ritel.

 

Harga aset finansial di negara-negara berkembang merosot. Para investor institusi mengalihkan dananya dari pasar finasial negara berkembang ke pasar AS yang lebih stabil dan aman. Terjadilah perpindahan dana dalam jumlah yang cukup besar. Demi menenangkan pasar, bank-bank sentral di negara berkembang mengimbanginya dengan menaikkan tingkat suku bunga.

 

Lain dulu, lain sekarang

 

Apakah kejadian pada 2013 akan terulang kembali saat ini? Tampaknya tidak.

 

Ide pengetatan oleh Fed tidak lagi dianggap hal baru yang ditandai dengan pengambilan langkah antisipasi oleh banyak pihak. Para pejabat bank sentral berkomunikasi kepada publik mengenai hal ini melalui pendekatan yang hati-hati, termasuk dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia Pery Warjiyo.

 

Saat ini, tidak terlihat adanya aliran dana asing yang masuk besar-besaran di pasar keuangan negara-negara berkembang. Kaburnya dana asing selama Covid-19 juga terlalu signifikan. Singkatnya, sedikit dana masuk, sedikit juga dana keluar.

 

Tidak terlalu derasnya dana asing yang masuk membuat negara berkembang tidak lagi memiliki defisit neraca perdagangan yang besar seperti pada 2013. Dengan demikian, negara berkembang menjadi tidak bergantung pada pendanaan jangka pendek. Indonesia semestinya juga tidak akan terlalu terkena imbas buruk kebijakan AS karena tidak sedang defisit.

 

Berita baiknya, walaupun Fed berencana membalik arah kebijakannya, tampaknya tidak akan terlalu memengaruhi pasar keuangan di negara berkembang. Bagi investor ritel, risiko akan tetap ada, tetapi tidak sebesar dan seheboh ketika dilakukan tapering pada 2013.

 

Yuk, tetap cermati perkembangan ekonomi di AS supaya tidak salah langkah dan analisis dalam berinvestasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar