Selasa, 15 Juni 2021

 

Menggerakkan ”Locavore”

Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

KOMPAS, 13 Juni 2021

 

 

                                                           

Selalu ada berkah dari setiap bencana. Bencana yang biasa beriring derita tidak melulu identik kemuraman. Selalu ada celah untuk mengukir harapan. Bagai pelita dalam gulita. Begitu pula pandemi Covid-19 yang ”menghajar” hampir semua sendi kehidupan kali ini. Jasad renik, aktor utama pagebluk Covid-19, juga memutus (membatasi) gerak. Interaksi dibatasi. Apalagi yang memicu kerumunan. Dampak dari semua itu, lalu lintas perhubungan-perdagangan antarbangsa terganggu. Rantai pasok lintas negara lumpuh.

 

Bagi negara-negara importir pangan, Covid-19 bagai malapetaka. Ketergantungan yang tinggi pada rantai pasok pangan global mengekspos mereka pada posisi yang amat rentan. Sebaliknya, bagi negara yang memiliki sumber daya produksi pangan domestik, produksi dalam negeri jadi super penting. Pandemi jadi berkah tak terperi. Salah satunya mengubah pola belanja dan konsumsi. Jika semula biasa belanja bahan pangan berlebih, yang dalam banyak kasus justru tak habis dan jadi busuk (food waste). Kini, belanja kian selektif. Bukan hanya mengendepankan aspek kesehatan, tetapi juga belanja secukupnya.

 

Belanja pangan sumber protein, lemak, buah, sayuran, dan produk-produk segar, seperti terekam dari survei Nielsen dan McKinsey & Company (2020), naik drastis. Hal serupa terjadi pada belanja rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, kapulaga, dan minuman herbal yang terbukti menaikkan imunitas tubuh. Salah satu kesimpulan penting survei itu menyebutkan: kala membeli aneka kebutuhan, terutama kebutuhan pangan, konsumen menimbang aspek higienitas, kesegaran bahan, keamanan, dan lokalitas (bukan impor). Dibandingkan dengan negara lain, konsumen Indonesia lebih peduli pada keempat aspek itu.

 

Mengacu pada piramida Abraham Maslow, konsumen kini menggeser kebutuhan dari puncak piramida ke dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga. Menimbang Covid-19 akan selalu bersama umat manusia, ada peluang perubahan pola belanja dan konsumsi ini bukan hanya strategi bertahan sesaat (coping strategies) warga, melainkan bakal jadi praktik berkelanjutan di masa depan (future practice). Karena itu, Covid-19 sejatinya membuka peluang bagi tumbuh-kembang pola pangan berbasis domestik (lokal). Momentum ini harus dioptimalkan karena pasti tidak akan datang dua kali.

 

Pandemi memicu warga untuk lebih peduli pada asupan menyehatkan. Makanan berserat mengandung antioksidan dan kaya nutrisi/gizi yang penting bagi imunitas tubuh jadi pilihan favorit. Pilihan bisa jatuh pada bahan pangan impor, salah satunya Quinoa (Chenopodium quinoa). Biji kaya serat yang hanya tumbuh baik di Amerika Tengah ini masuk bahan pangan menyehatkan. Biji itu mesti ”jalan-jalan” 17.474 kilometer sebelum bisa disantap warga negeri ini. Berapa biaya angkut, berapa lama sampai di Indonesia, berapa bahan bakar dibakar, berapa emisi dibuang, berapa harga di konsumen, dan seterusnya.

 

Sepertinya ada banyak biaya dan energi dibuang untuk meraih pangan sehat. Pada titik ini penting merefleksikan ulang bagaimana makanan berpindah dari lahan ke garpu di meja makan. Selama ini, kita seringkali abai berapa ratus, bahkan ribuan, kilometer makanan ”jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga disantap. Kian jauh ”jalan-jalan”, bukan saja kian mahal, makanan yang kita santap itu juga kian tak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan. Tanpa disadari, lewat pola pangan ini, kita punya andil merusak alam.

 

Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa. Pengecer terus mengembangkan outlet dan sistem distribusi yang kian luas dan canggih. Namun, jarak tempuh yang jauh membuat makanan tak efisien berdasarkan kalori dan tak berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini karena jejak karbon (food miles) yang muncul akibat perjalanan yang kian jauh membuat aliran makanan (produksi-distribusi-konsumsi) kian tidak ramah lingkungan. Konsumsi pangan berbasis produksi domestik (lokal) menjanjikan dampak minor pada lingkungan akibat food miles.

 

Kesadaran inilah yang antara lain mendorong gerakan mengonsumsi makanan yang diproduksi secara lokal (locavore). Istilah ini pertama kali dilansir Jessica Prentice dari San Francisco di pertemuan Hari Lingkungan 2005. Covid-19 membuat locavore kian relevan. Pertama, rantai pasok lintas negara tak bisa diandalkan. Mau tidak mau, rantai pasok harus berubah, dari rantai pasok lintas negara jadi bersifat regional. Kedua, pangan lokal (domestik) menjadi alternatif super penting. Bukan saja untuk memastikan ketersediaan, pangan domestik juga bakal menjamin kedaulatan negara/komunitas.

 

Lebih dari itu, lokalitas menekan emisi dan membuat rantai pasok lebih pendek. Perjalanan pangan dari produsen ke konsumen, secara teoretis, lebih cepat sampai. Aspek kesegaran dan higienitas terjawab sekaligus. Rantai pasok yang lebih pendek, secara teoretis, juga bakal menekan biaya transaksi dan membuat pasar semakin efisien. Ujung-ujungnya, balas jasa kepada pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok semakin baik. Jika ini yang terjadi, petani sebagai produsen pangan berpeluang meraih untung lebih.

 

Aspek lokalitas identik dengan sumber daya lokal. Konsumen kini bertumpu pada pangan produksi lokal, yang berbeda-beda antara daerah satu dan daerah lain. Secara ekonomi ini akan menstimulasi ekonomi lokal. Saat ekonomi lokal bergerak, akan banyak dampak ikutan (multiplier effect) yang terjadi. Secara politik, hal ini akan membuat tiap-tiap daerah memiliki kedaulatan pangan sendiri. Jika ini diakumulasikan, secara nasional akan memberi sumbangan berarti bagi tegaknya ketahanan dan kedaulatan pangan. Terlalu sembrono apabila para pengelola negeri ini mengabaikan potensi pangan lokal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar