Minggu, 13 Juni 2021

 

Mesir-Qatar, dari Lawan Menjadi Kawan

Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan Kompas di Kairo, Mesir

KOMPAS, 11 Juni 2021

 

 

                                                           

Kata para pakar politik, tidak ada kawan atau lawan abadi di dunia politik, kecuali kepentingan yang abadi. Inilah yang terjadi dalam hubungan bilateral Mesir-Qatar.

 

Mesir adalah negara Arab terbesar dari sisi jumlah penduduk dengan penduduk sekitar 101 juta jiwa. Adapun Qatar adalah negara Arab kecil dari segi penduduk dan geografis, yakni hanya memiliki penduduk sekitar 2,7 juta jiwa dan luas wilayah 11.581 kilometer persegi.

 

Namun secara ekonomi, Qatar merupakan salah satu negara terkaya di muka bumi ini. Dengan pendapatan per kapita 66.202 dollar AS, negara ini menempati urutan keenam dunia dan memiliki produk domestik bruto (PDB) 183,807 miliar dollar AS.

 

Maka, Qatar sering disebut negara kecil yang memiliki kekuatan ekonomi berlebihan. Inilah yang menjadikan Qatar tergiur ingin membangun pengaruh di berbagai tempat di muka bumi ini, khususnya Timur Tengah, jauh lebih besar dari kapasitasnya sebagai negara kecil secara penduduk dan geografis.

 

Hubungan bilateral Mesir-Qatar pun mengalami dinamika yang cukup berliku-liku. Hubungan buruk kedua negara yang terjadi hampir satu dekade terakhir, kini berubah menjadi hubungan mitra, dan bahkan mendekati menjadi hubungan strategis pasca-perang Gaza, Mei lalu.

 

Kunjungan Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani ke Kairo pada 25 Mei lalu dan menemui Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi bisa disebut merupakan titik balik hubungan kedua negara.

 

Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani saat bertemu Presiden El-Sisi menyampaikan undangan resmi dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani kepada El-Sisi untuk mengunjungi Doha. Menlu Qatar kepada wartawan menyampaikan, El-Sisi adalah Presiden Mesir yang dipilih melalui proses pemilu yang sah.

 

Qatar tampaknya perlu menegaskan hal tersebut setelah selama ini Qatar dianggap meragukan legalitas Presiden El-Sisi, karena kekuasaannya diraih melalui aksi menggulingkan pemerintahan Presiden Muhammad Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin pada 2013.

Hubungan bilateral kedua negara pun mengalami keterpurukan pasca-penggulingan Presiden Mursi itu. Qatar, yang berada dalam posisi mendukung gerakan Musim Semi Arab yang menuntut demokratisasi di dunia Arab, dikenal pendukung Mursi. Maka, ketika militer Mesir menggulingkan pemerintahan Presiden Mursi segera berdampak pada terpuruknya hubungan Mesir-Qatar.

 

Puncak terpuruknya hubungan Mesir-Qatar terjadi pada saat kuartet Arab (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, plus Mesir) pada Juni 2017 melakukan blokade total atas Qatar, dengan tuduhan Qatar mendukung gerakan teroris. Qatar membantah keras tuduhan tersebut.

 

Kuartet Arab tersebut memutus hubungan diplomatik dengan Qatar dan melarang maskapai penerbangan Qatar melewati teritorial udara kuartet Arab itu. Namun, suksesi kekuasaan di Washington DC dengan tampilnya Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat sebagai presiden baru Amerika Serikat pasca-kekalahan Presiden Donald Trump dalam pemilu AS November 2020 berdampak atas terjadinya perubahan atmosfer politik di kawasan Arab Teluk.

 

Perubahan ke arah berakhirnya blokade kuartet Arab atas Qatar dan sekaligus upaya rekonsiliasi di Arab Teluk. Rekonsiliasi ini yang kemudian terwujud melalui forum KTT Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) di kota Al Ula, Arab Saudi, pada Januari lalu.

 

Hubungan bilateral Mesir-Qatar pun ikut terderek oleh hasil KTT GCC. Kedua negara sepakat membuka hubungan diplomatik lagi dan Mesir mengizinkan lagi maskapai penerbangan Qatar terbang dari dan ke Mesir. Pejabat kedua negara juga saling melakukan kunjungan ke Kairo dan Doha, yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama hampir satu dekade.

 

Puncak membaiknya hubungan Mesir-Qatar justru terjadi saat meletus perang dan pasca-perang Gaza. Kedua negara mendadak menjadi pusat gerakan diplomasi dalam upaya gencatan senjata di Jalur Gaza lantaran dua negara itu sama-sama punya hubungan kuat dengan Hamas, faksi penguasa di Jalur Gaza.

 

Mesir punya hubungan kuat dengan Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya di Jalur Gaza karena faktor utamanya adalah geografis, di mana Mesir merupakan satu-satunya akses darat dari Jalur Gaza ke mancanegara.

 

Adapun hubungan kuat Qatar-Hamas karena sejumlah pemimpin teras Hamas, seperti Ismail Haniyah dan Khaled Meshall, kini berdomisili di Doha. Qatar juga negara yang aktif menyalurkan bantuan ke wilayah Jalur Gaza.

 

Saat pecah perang Gaza, Mesir dan Qatar bukan hanya membangun rivalitas, melainkan justru bergandengan tangan berupaya mewujudkan gencatan senjata. Kerja sama Mesir-Qatar ini menjadi faktor utama terwujudnya gencatan senjata di Jalur Gaza.

 

Ini yang mengantarkan Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengunjungi Kairo pada 25 Mei lalu dan bertemu Presiden El-Sisi. Kunjungan itu menjadi isyarat diplomatik tentang keinginan Qatar terus membangun kerja sama strategis dengan Mesir terkait isu-isu di Timur Tengah, khususnya isu Jalur Gaza.

 

Kerja sama strategis Mesir-Qatar semakin menjadi keniscayaan saat ini dalam upaya menjaga kelestarian gencatan senjata di Jalur Gaza, menyukseskan proyek rekonstruksi Jalur Gaza, upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah, dan mendorong dimulainya lagi perundingan damai-Israel Palestina. Mesir dan Qatar pun sampai saat ini adalah dua negara yang mengalokasikan dana terbesar untuk proyek pembangunan kembali Jalur Gaza.

 

Pada 19 Mei lalu, Presiden El-Sisi mengumumkan, Mesir akan menyalurkan dana 500 juta dollar AS untuk proyek pembangunan kembali Jalur Gaza. Kemudian pada 26 Mei, Qatar mengumumkan akan menyalurkan dana 500 juta dollar AS untuk Jalur Gaza.

 

Qatar tentu butuh Mesir untuk proses penyaluran bantuannya tersebut karena alat berat dan bahan bangunan yang akan dikirim harus melalui pintu gerbang Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza. Bahkan, uang tunai dari Qatar untuk bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza juga bisa melalui pintu gerbang Rafah.

 

Ini pentingnya kerja sama Mesir-Qatar untuk menyukseskan proyek rekonstruksi Jalur Gaza. Tanpa kerja sama kedua negara, hal itu menjadi sulit melihat peluang suksesnya proyek tersebut.

 

Ini juga yang mengantarkan Mesir dan Qatar kini disinyalir bekerja sama menjadi mediator perundingan tidak langsung Israel dan Hamas soal tukar menukar tahanan. Faksi Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza diketahui masih menahan dua warga sipil Israel yang masuk Jalur Gaza pada tahun 2014 dan 2015, yaitu Avera Mangistu dan Hisham al-Sayed. Faksi ini juga masih menyimpan dua jasad tentara Israel yang tewas pada perang Gaza tahun 2014. Dua tentara Israel itu adalah Oron Shaul dan Hadar Goldin.

 

Hamas diberitakan meminta pembebasan 1.111 tahanan Palestina di penjara Israel dengan imbalan pembebasan dua warga sipil Israel dan pengembalian dua jasad tentara Israel itu.

 

Israel sampai saat ini memberi syarat tercapainya kesepakatan tukar-menukar tahanan antara Hamas dan Israel bagi proyek pembagunan kembali Jalur Gaza. Karena itu, Mesir dan Qatar memiliki kepentingan yang sama untuk menyukseskan transaksi tukar-menukar tahanan antara Israel dan Hamas agar bisa segera dimulai proyek itu.

 

Banyak titik temu strategis Mesir-Qatar saat ini terkait isu-isu kawasan, khususnya Jalur Gaza, yang mendorong kedua negara itu harus bergandengan tangan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar