Selasa, 25 Juni 2019

Multikulturalisme dalam Zonasi

Penulis : Nanang Martono ; Ketua Prodi S-1 Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Doktor Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon, Prancis

MEDIA INDONESIA Selasa, 25 Jun 2019, 03:20 WIB

MEMBUKA kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara untuk mengakses pendidikan berkualitas ialah tugas dan kewajiban negara. Kesempatan ini harus diberikan untuk semua golongan masyarakat sebagai wujud meritokrasi dalam sistem pendidikan yang demokratis.
Sekolah inklusi menjadi salah satu solusi guna mewujudkan cita-cita tersebut. Inklusi tidak hanya menyatukan anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan non-ABK, tetapi ini juga meliputi sistem persekolahan yang mampu menyatukan siswa kelas atas dan kelas bawah, siswa miskin dan kaya dalam sekolah yang sama. Harapannya, tidak ada lagi segregasi sosial dalam pendidikan.
Pendidikan inklusi telah diinisiasi melalui kebijakan zonasi. Dengan sistem ini, siswa miskin dan kaya sangat mungkin belajar di sekolah yang sama. Perbedaan kelas sosial tidak lagi menjadi penghalang mereka untuk mendapatkan fasilitas pendidikan berkualitas. Namun, apakah zonasi mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial dalam pendidikan?
Problem sosiologis
Secara sosiologis, pemberian akses yang sama bagi siswa miskin dan kaya dalam satu sekolah belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah ketimpangan tersebut. Ketika keduanya bersekolah di tempat yang sama, ada problem sosiologis yang muncul.
Berbeda dengan isu yang menuai pro-kontra yang beredar di masyarakat.  Sebagian kelompok masyarakat menilai bahwa zonasi telah menghilangkan peluang siswa cerdas untuk masuk ke 'sekolah favorit'. Saya justru tidak mengulik problematik zonasi dari sisi tersebut.
Pertama, masalah kemampuan akademik. Dalam sistem zonasi, sekolah harus memprioritaskan siswa yang berada pada wilayah yang dekat dengan sekolah. Pada tataran ini, siswa miskin dengan kualifikasi akademik tinggi tidak menghadapi masalah yang cukup berarti. Namun, siswa miskin yang memiliki kualitas akademik rendah, kemudian harus bersaing dengan siswa kaya dengan kualifikasi akademik tinggi, bagaimana mereka dapat menyamakan prestasinya?
Masalah prestasi bukan semata karena mereka mendapatkan materi pelajaran yang sama, diajar guru yang sama di kelas yang sama. Namun, ada faktor lain yang tidak mungkin diperoleh di sekolah dan sulit dimiliki siswa miskin. Sebut saja, misalnya, siswa kelas atas dapat mengikuti les atau pelajaran tambahan setelah selesai sekolah atau mengambil les privat di rumah. Sementara itu, 'fasilitas' ini tentu tidak mungkin dipenuhi siswa miskin. Hal lain ialah kecukupan gizi sebagai implikasi makanan yang dikonsumsi keduanya pun berbeda.
Kedua, ada hambatan saat berinteraksi yang dialami siswa miskin. Ini dapat ditemukan ketika mereka harus berinteraksi dengan siswa kaya di sekolah. Bourdieu (1973) menjelaskan bahwa keduanya memiliki 'modal' dan habitus berbeda. Habitus merupakan budaya, gaya hidup, kebiasaan yang dimiliki sekelompok individu. Habitus setiap individu berbeda, bergantung pada modal yang dimilikinya. Jadi, dengan perbedaan modal tersebut, Bourdieu pesimistis siswa miskin akan mampu menyamai prestasi siswa kaya karena mereka gagal menyamakan habitusnya.
Hasil studi yang dilakukan Martono, dkk (2018), menunjukkan bahwa siswa miskin di beberapa sekolah favorit yang didominasi siswa kaya rentan mengalami kekerasan simbolis dan bullying ketika mereka tidak mampu mengikuti habitus teman-temannya. Hasil wawancara dengan siswa miskin di beberapa sekolah tersebut menghasilkan beberapa temuan.
Pertama, siswa miskin mengaku merasa minder ketika harus berinteraksi dengan temannya yang berasal dari kelas atas. Rasa minder itu muncul karena mereka merasa berbeda, tidak memiliki uang sebagai 'modal ekonomi'. Ketiadaan modal ekonomi ini menyebabkan mereka membatasi aktivitas bersama temannya. Bahkan, beberapa di antaranya menolak ajakan temannya, misalnya; ajakan nongkrong di kafe, nonton bioskop, dan jalan-jalan di mal. Mereka menolak karena tidak memiliki banyak uang.
Kedua, mereka menghadapi kesulitan ketika tidak memiliki fasilitas belajar lengkap seperti yang dimiliki temannya. Misalnya; siswa miskin tidak memiliki laptop sehingga menghadapi kendala ketika mengerjakan tugas sekolah yang harus memanfaatkan laptop.
Ketiga, di beberapa sekolah masih terdapat diskriminasi sosial terhadap kelompok siswa miskin. Tidak semua guru siap menerima keberagaman sosial siswa di kelasnya sehingga sikap, tutur kata, dan pandangannya masih mengandung bias kelas atas. Dampaknya, budaya siswa miskin sering dianggap sebagai budaya yang menyimpang, kotor, kasar, dan tidak pantas dibawa ke sekolah. Gejala ini menunjukkan bahwa sekolah sebenarnya belum sepenuhnya mengakomodasi keberagaman kondisi sosial siswa. Sekelompok siswa miskin tetap menghadapi kesulitan menyesuaikan keadaan sosialnya.
Multikulturalisme    
Multikulturalisme merupakan sebuah perspektif yang yang mengakui pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang given, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas (Tilaar, 2004). Melalui pendidikan multikultural, guru harus memahami asal-usul dan karakter budaya siswa sehingga tidak menimbulkan mispersepsi, sikap egosentrisme, bahkan melakukan kekerasan simbolis. Inilah 'kurikulum tersembunyi' yang dibawa sistem zonasi.
Pendidikan multikultural tidak harus dilakukan dengan membuat kurikulum formal, tetapi lebih efektif jika diwujudkan melalui kurikulum tersembunyi yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran. Sebagai contoh kecil, guru meminta siswa miskin menceritakan kehidupan sehari-harinya (yang tentu saja penuh dengan keterbatasan). Selain guru akan memahami budayanya, langkah ini dapat meningkatkan kepekaan siswa yang lain. Rasa simpati dan empati akan muncul selama mereka mendengarkan cerita siswa miskin yang ternyata sangat jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari yang menjadi budaya siswa kaya.
Inilah arti penting pendidikan multikultural untuk meminimalkan kekerasan simbolis terhadap siswa miskin. Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang jika hal ini dilatihkan, dididikkan, dibudayakan agar terinternalisasi dalam diri siswa. Zonasi meminimalkan segregsi serta kecemburuan sosial dalam pendidikan di sekolah publik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar