Kita memiliki konstitusi dan memilih demokrasi sebagai jalan bernegara. Pada dasarnya demokrasi memberikan jalan partisipasi rakyat untuk memilih pemimpin eksekutif dan anggota legislatif yang mewakili aspirasi rakyat pemilih. Politisi tidak memilih diri sendiri. Setelah terpilih, apa pun afiliasi politiknya, seyogianya ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang telah memilihnya.
Itulah esensi demokrasi perwakilan. Konstitusi menjamin hak rakyat untuk berdemokrasi agar demokrasi tak makan anak sendiri.
Hajatan politik kita akhir-akhir ini meneguhkan adagium baru demokrasi makan anak sendiri. Radikalisme demokrasi membuat massa menolak dan membela dengan cara apa pun. Proses demokrasi pun mengalir sampai jauh, menelan korban jiwa dan luka dalam kerusuhan, kerugian materiil yang tak sedikit bagi masyarakat yang tak terlibat, belum lagi mereka yang terjerat hukum.
Urusan kontestasi kekuasaan sebenarnya sederhana. Seusai kontes kepatutan kontestan politik dengan juri langsung rakyat semestinya usai pula urusan daulat rakyat. Untuk keberatan-keberatan terkait ada jalur konstitusionalnya. Namun, rekayasa teknologi media berhasil membuat urusan itu merasuk ke alam bawah sadar orang banyak, bahkan sampai sekarang.
Demokrasi massa
Itulah praktik demokrasi tanpa demos (rakyat). Demokrasi tanpa rasionalitas berdemokrasi. Massa politik berperilaku seperti fans fanatik pendukung klub sepak bola yang mengumbar rasa kecewa dalam bentuk anarkisme. Istilah
hoologanisme berawal dari dunia persepakbolaan Inggris untuk aksi kekerasan dan tindakan barbar fans sepak bola karena tim idolanya kalah tanding. Benih-benih kekerasan konstitutif dalam struktur kepribadian manusia. Hanya berkat disiplin diri berkelanjutan, benih-benih itu tak bertumbuh subur.
Demokrasi tanpa disiplin melahirkan massa yang mudah termakan hasutan dan menolak negara dalam segala bentuk representasinya. Dengan sikap kritis berlebihan, pemerintah menjadi target ujaran kebencian dan musuh publik. Narasi sikap anti-pemerintah disusun. Pemerintah diposisikan sebagai rezim kebohongan dan represif. Ujungnya adalah penciptaan ruang vakum hukum sementara agar tiada jerat hukum untuk inkonstitusionalitas.
Jose Ortega y Gasset (1930) membedakan antara manusia individual dan manusia massa. Manusia jenis pertama menuntut diri berkembang betapapun terjalnya jalan menuju kebenaran dan kepastian. Ia hanya mau percaya sesuatu yang memang sudah terperiksa dan terbukti benar. Menyadari dirinya berada tak jauh dari lautan ketidaktahuan, ia berusaha keras untuk tak terseret ombak dan tenggelam dalam mediokritas.
Filsuf Spanyol itu merisaukan kebangkitan gerakan massa di Eropa yang memaksakan opini dengan melawan otoritas dan menafikan standar-standar umum kebenaran. Atas nama demokrasi, massa menguasai ruang publik. Tanpa proses memadai diskursus intelektual, ruang publik disesaki informasi-informasi untuk menggiring orang ke dalam suatu keyakinan tertutup. Seolah-olah, realitas politik hanya hitam putih.
Manusia massa merasa tahu segala sesuatu dan sengaja mengurung diri dalam tempurung dunia pengetahuannya. Ia tidak mau mendisiplinkan diri untuk menyaring informasi yang berseliweran di sekitarnya. Yang penting adalah percaya yang memang sudah maunya dipercaya. Benar-salah adalah soal lain. Yang penting, ikut arus massa sekepercayaan. Rasionalitas dikorbankan.
Ortega mencermati gejala hiperdemokrasi itu. Orang terlalu percaya diri bahwa ia mampu mengkreasi suatu masa depan yang lebih baik, tanpa tahu apa yang harus dikreasinya. Sang medioker hanya hendak memaksakan opini di ruang publik. Akalnya tak dapat melihat ketidakbenaran, bahkan kekurangan opini yang mati-matian dibelanya. Daulat massa tidak memenuhi syarat-syarat kemajuan masyarakat.
Karl R Popper (1944) memandang tragedi zaman modern disebabkan banyak orang sekalipun maksudnya baik, tetapi miskin prinsip rasionalitas. Daripada soal moralitas, problem manusia modern menurut filsuf Austria itu adalah lemahnya prinsip rasionalitas sehingga pengetahuan yang dimiliki mudah dimanipulasi dan diselewengkan.
Serbuan teknologi media sosial dan kemalasan kita dalam pencarian kebenaran tak terkecuali melanda kaum terpelajar. Mereka yang bergelar sarjana dan profesional sejatinya elite masyarakat dunia berkembang. Namun, intelektualitas mereka bisa sama sekali tak terlihat dalam percakapan di media sosial. Dengan mudahnya, mereka meneruskan informasi yang belum jelas kebenarannya, hanya mengikuti dorongan primordial fanatisme pilihan politik.
Setelah terbantahkan dengan informasi lain dari sumber tepercaya, kali lain pun masih berulang laku sama. Karena bukan fenomena satu-dua orang, demokrasi kita sedang dilanda pendangkalan intelektualitas.
Demokrasi pasar
Tak seperti rezim Orde Baru dengan otoritas negara yang terpusat, aktor demokrasi pasca-Reformasi tersebar di mana-mana. Demokrasi kita riuh rendah seperti suasana pasar tradisional. Tawar-menawar. Gerutu. Semua terdengar, terutama di media sosial yang memfasilitasi pelibatan individu yang sebenarnya bukan bagian dari masyarakat politik. Mereka sebenarnya terlalu awam untuk berkomentar perkara politik.
Perkawanan dalam grup media sosial membuat mereka terlibat dan dimanfaatkan dalam gerakan politik kekuasaan. Manusia massa kemudian terjerat dalam jaring hukum, sementara elite politik dan teknopolitisi yang memanfaatkan kenaifan massa malah tak tersentuh hukum. Negara memang pengawal sah hukum dan ketertiban, tetapi kewibawaan negara itu baru diakui jika penegakan hukum berlaku konsisten dan tidak tebang pilih.
Di sinilah urgensi konstitusionalisasi demokrasi. Alternatifnya, demokrasi massa yang tidak menghiraukan kualitas dan produk akhir demokrasi. Idealnya, kualitas mereka yang terpilih kian baik dari pemilu ke pemilu, untuk kejayaan Indonesia Raya. Karena itu, demokrasi kita baru sehat dengan kehadiran oposisi yang kuat dan efektif untuk mengontrol administrasi kekuasaan.
Sudah sifatnya kekuasaan untuk melenggang tak suka pengawasan. Bukan itu demokrasi yang dicita-citakan Bung Hatta, bapak demokrasi Indonesia. Ruang penyalahgunaan kekuasaan harus dipersempit. Celah korupsi diperkecil. Keuangan negara kian sehat. Penyelenggaraan negara kian efektif. Namun, semua itu tak akan terjadi jika elite politik membentuk oligarki kekuasaan. Pesta demokrasi yang begitu banyak menghabiskan uang dan pengorbanan rakyat hanya untuk dinikmati aktor-aktor elite demokrasi yang bermain dalam senyap di balik hiruk pikuk panggung demokrasi. O, demokrasi kita!
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta