Pemilihan umum telah di belakang kita, kini tinggal menunggu demamnya mereda. Namun, menurut saya, masalah yang sebenarnya menanti negeri ini bukanlah masalah politik, yang berjangka pendek, melainkan masalah sosial-struktural jangka panjang.
Indonesia adalah negara demokratis, tetapi harus melihat realitas: terlalu sedikit warganya yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan pertimbangan rasional modern. Bukan efisiensi ekonomi di dalam kaitan dengan redistribusi sosial kekayaan negara yang menjadi penentu pilihan politik mereka, melainkan aliran, dan terutama aliran agama.
Fenomena ini bersifat global: agamaisasi politik kini belum terlihat surut di dunia, melainkan kian meluas. Hal ini bertentangan dengan asumsi dari para perumus teori pembangunan. Para ahli itu, terutama di kisaran Bank Dunia, UNDP, dan UNESCO telah selama puluhan tahun meramalkan bahwa kemelekan huruf (literasi) bakal serta-merta menimbulkan pencerahan sosial-politik. Nyatanya mereka keliru. Literasi menambah otonomi perseorangan, tentu saja, tetapi bersamaan waktu mengurangi pengaruh kaum ulama, pendeta, dan rahib tradisional, yang secara historis cenderung toleran.
Akibatnya, menyusul peningkatan pesat dari literasi dasar tahun 1960-1990, interpretasi atas kitab suci kini tidak lagi dicari pada agamawan tradisional, tetapi diunduh dari tafsiran harfiah—disokong jaringan lintas bangsa aliran yang sepaham. Maka, gelombang demi gelombang radikalisme bermunculan.
Setelah Islam lebih awal tertimpa, kini giliran Hindu dan Buddha, masing-masing di India dan Burma. Jadi radikalisasi bukanlah sesuatu yang inheren pada Islam, melainkan merupakan fenomena sosial historis yang dipicu konstelasi perubahan modern. Apabila gelombangnya terlihat naik, ia pasti juga akan surut. Dapat diduga akan mulai surut itu setelah tingkat rata-rata pendidikan naik dan setelah tafsir analitis komparatif agama dimasyarakatkan secara lebih luas. Perlu waktu untuk itu. Seperti terjadi di Eropa pada masa lalu, yang juga pernah tertimpa kabut gelap radikalisme.
Hemat saya, situasi akan tetap memprihatinkan selama 5-15 tahun lagi, bahkan mungkin lebih. Indonesia kini beruntung oleh karena memiliki pemimpin yang cukup bijak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada tanda yang memprihatinkan di dalam realitas sosio-politik sekelilingnya.
Lihat misalnya perkembangan di Bali, hasil pemilihan anggota DPD menunjukkan awal dari agamaisasi politik. Yang terpilih dengan suara paling banyak adalah calon garis Hindu relatif keras. Dia mendapat tiga kali lebih banyak suara daripada anggota terpilih DPD nomor dua, mantan Gubernur Bali. Dan, anggota terpilih nomor empat adalah orang yang berkampanye atas nama Islam. Hal-hal ini tidak sehat. Tidak mustahil bahwa angka fantastis yang diraih Jokowi pada pemilihan umum di daerah minoritas menutupi awal kristalisasi agama. Adapun di provinsi-provinsi mayoritas, gejala-gejala lebih memprihatinkan lain lagi, seperti terlihat pada survei UIN Jakarta tentang toleransi di kalangan guru agama.
Lalu bagaimana? Hemat saya, harus mengambil tindakan politik yang jitu dan efektif untuk menanti surutnya gelombang radikalisasi ke depan. Namun, tindakan model apa? Itulah yang sulit ditentukan.
Bagaimanapun juga, suatu hal sudah jelas. Pemerintah harus meneruskan kebijakan pembangunan dengan memperluas segi redistribusi kekayaan. Reformasi pajak harus diperdalam lagi. Apabila berhasil, kecenderungan anak muda ke arah radikalisme pasti akan turun.
Namun bisa jadi kebijakan ekonomi dan sosial tidak cukup menangkal gejala radikalisasi. Terdapat berbagai tanda bahwa silabus pengajaran agama, berikut tafsir agama di dalam pengajaran Pancasila, meleset dari tujuan para pendiri bangsa ini. Daripada ajang toleransi, kini Pancasila cenderung menjadi ajang persaingan antar-agama. Risikonya tidak kecil: di dalam konstruksi identiterperseorangan, identitas agama kini terlihat kian mengemuka dibandingkan identitas kebangsaan.
Seperti dikatakan di atas, fenomena agamaisasi politik merupakan fenomena internasional. Jadi menarik melihat bagaimana negara tetangga menanggulangi masalah ini. Di situ Mahathir Mohamad terlihat cukup tangkas dan berani. Menurut berita (satuislam.org, 18/06), dia ingin ”mengurangi pelajaran agama”. Namun sebenarnya yang diperlukan bukan semata mengurangi pelajaran agama, melainkan memformulasikannya dengan menyusun suatu silabus dasar yang lebih inklusif dan sebisanya komparatif agar agama sebagai sesuatu yang lebih spiritual daripada identiter.
Pekerjaan besar menanti bangsa ini, suatu agenda meta-kebudayaan, kemartabatan baru Indonesia, di mana bangsa ini sungguh-sungguh dipersaudarakan karena Pancasila. ***