Jumat, 28 Juni 2019

Saatnya Menerima Hasil


Penulis : FERI AMSARI ; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIAPada: Jumat, 28 Jun 2019, 00:40 WIB


PERSELISIHAN hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 telah berakhir. Seiring putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang menolak seluruh dalil permohonan pemohon, presiden terpilih telah dapat ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Meski berlangsung sangat dramatis karena berbagai hal, putusan MK telah mengakhiri drama hebat pertikaian politik anak bangsa. Seluruh pihak tidak saja wajib mematuhi putusan yang bersifat final dan mengikat itu, tetapi juga harus menghormati dengan tidak memaknainya secara berbeda dari apa yang telah diputuskan mahkamah.
Mahkamah dengan sangat bijaksana telah memberikan kesempatan yang amat banyak bagi pemohon untuk mengemukakan dalil-dalilnya. Setidaknya, terdapat tiga kemurahan hakim konstitusi dalam memberikan kesempatan bagi pemohon.
Pertama, MK membiarkan pemohon mengajukan perbaikan permohonan. Permohonan yang diajukan pada 24 Mei berbeda dengan yang diajukan perbaikan pada 10 Juni. Padahal, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 Tahun 2018 mengatur meniadakan tahapan perbaikan permohonan bagi pemohon.
Secara formal, perbaikan itu telah menyebabkan cacat prosedur pengajuan permohonan yang berakibat permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Akan tetapi, MK membuka ruang bagi pemohon untuk terus membuktikan dalil-dalilnya walaupun mengabaikan peraturan sendiri.
Kedua, MK membiarkan saksi pemohon yang validitas keterangannya patut dipertanyakan dapat bersaksi. Misalnya, terdapat saksi yang berdasarkan pemeriksaan persidangan merupakan tahanan kota yang kehadirannya dalam sidang karena membohongi aparat penegak hukum.
Lalu, saksi yang sama juga tidak memberikan keterangan yang benar mengenai pernyataannya perihal ancaman yang dia terima karena hadir dalam persidangan. Menurut saksi, tekanan terhadap dirinya meningkat karena pernah membongkar kecurangan pemilu.
Ketua KPU, Arief Budiman, kemudian mempertanyakan kecurangan yang dimaksud saksi. Ternyata terungkap bukan kecurangan pemilu yang dibongkar, tetapi kecurangan pemilu kepala daerah (pemilukada). Dua kebongan itu sesungguhnya telah menunjukkan saksi berpotensi melakukan kebohongan yang sama ketika memberi keterangan dalam persidangan. Lumrahnya, hakim akan menasihati saksi terhadap ketidakjujurannya itu. Sekali lagi, MK memberi ruang terhadap pemohon. Sikap yang sama juga dapat didengar dari keterangan saksi-saksi pemohon lainnya.
Ketiga, memberikan ruang perbaikan alat bukti. Pada persidangan pembuktian, hakim konstitusi sempat mempertanyakan kenapa pemohon tidak memberi tanda (coding) pada setiap alat bukti. Biasanya MK tidak akan memberikan waktu untuk perbaikan coding karena telah memberikan waktu yang cukup pada pemohon untuk memenuhi ketentuan coding itu. Apalagi, persidangan dilangsungkan dengan waktu terbatas (speedy trial).
Bahkan, ketika pemohon menarik kembali alat buktinya dalam jumlah puluhan kontainer itu, MK tidak mempermasalahkannya. Padahal, hakim konstitusi harus menasihati pemohon karena tidak sungguh-sungguh mempersiapkan alat bukti. Padahal, bukan tidak mungkin alat bukti yang ditarik itu mengungkapkan fakta-fakta tertentu yang membuat hakim dapat memutus secara jernih permasalahan. Sekali lagi, pemohon memperoleh keistimewaan.
Keistimewaan-keistimewaan itu diberikan agar publik dapat melihat bahwa hakim memberikan ruang yang amat luas bagi pemohon dengan berbagai alasan keterbatasannya. Dengan begitu, publik juga diberi kesempatan mendalami dan memahami pokok-pokok persoalan. Jadi, pemberian keistimewaan itu tidak hanya dapat dinikmati pemohon, tapi juga seluruh lapisan masyarakat dalam upaya MK mengungkap kebenaran dalil-dalil para pihak yang beperkara.      
Pokok permohonan
Mahkamah secara 'cantik' memberikan pelajaran hukum yang baik bagi masyarakat. Putusan kali ini membedah satu per satu dalil-dalil para pihak dan menimpalinya dengan pendapat MK. Putusan kali ini seolah-olah disusun untuk memudahkan masyarakat luas memahami inti persoalan dan pendapat mahkamah, dalam menilai dalil-dalil para pihak. Putusan itu membongkar dalil-dalil pemohon dengan cermat.
Banyak dari alasan permohonan (posita) yang tidak dapat dibuktikan. Misalnya soal Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara), bukan objek yang dapat dikaitkan dengan perkara perselisihan hasil pemilu presiden. Objek perkara perselisihan hasil ialah rekapitulasi hasil penghitungan suara manual berjenjang yang dapat dibuktikan dengan form C1 (formulir yang menunjukkan hasil suara di tempat pemungutan suara).
Sementara itu, menggunakan Situng sebagai objek perselisihan suara di MK tidak tepat karena jika Situng bermasalah, lebih tepat menjadi objek sengketa informasi yang tentu saja bukan ranah kewenangan MK.
Hal pokok lain yang dipermasalahkan pemohon ialah perihal status calon wakil presiden Ma'ruf Amin yang menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS). Pihak-pihak memperdebatkan status tersebut berdasarkan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perdebatan itu tidak tepat sebab status DPS diatur dalam ketentuan khusus (lex specialis) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Menurut Pasal 1 angka 15 huruf a yang menempatkan DPS sebagai pihak terafiliasi yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah. Status yang sama juga diberikan kepada akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum.
Lebih terang dalam penjelasan umum UU Perbankan Syariah bahwa DPS ialah representasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Artinya, DPS bukanlah bagian langsung dari perusahaan perbankan syariah, tetapi organ yang ditugaskan MUI untuk memastikan sebuah perbankan syariah menjalankan prinsip-prinsip syariah yang telah ditentukan MUI.
Dalil-dalil pemohon pada prinsipnya dapat dengan mudah dibantah dalam persidangan. Itu sebabnya, MK menolak seluruh dalil pemohon.  
Jiwa negarawan
Ketika Hillary Rodham Clinton dinyatakan kalah dalam Pemilihan Umum Presiden 2016 dari pesaingnya. Menteri cum Ibu Negara itu memilih berpidato 'gagah' meredam rasa kecewa pendukungnya. Hillary tidak ingin negara terbelah.
Hillary sadar bahwa pemilihan presiden telah membelah bangsa. Sesuatu yang tidak terbayang sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa tradisi demokrasi konstitusional yang dibangun Amerika ialah transisi kekuasaan yang berlangsung damai. Semua harus menerima bahwa Presiden Amerika terpilih bukanlah dirinya. Hillary menutupnya dengan sangat indah, "And we don’t just respect that, we cherish it." Tradisi yang sama jauh hidup dalam batin orang Indonesia. Hanya politisi yang tidak dewasa yang mengabaikannya.  
Menerima kekalahan tidak pernah mudah. Apalagi, para pendukung berharap agar kekalahan hanyalah mimpi belaka. Begitu juga dalam pemilihan presiden kali ini, menyatakan diri kalah butuh jiwa kenegarawanan. Capres/cawapres Prabowo-Sandi memiliki modal besar menjadi negarawan untuk mengakhiri perselisihan ini dengan indah melalui pidato pengakuan. Sedikit nasihat saya, Pak Prabowo, sudah waktunya untuk menelepon Bapak Presiden dan mengajaknya bergandengan tangan menuju Indonesia yang lebih baik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar