Kamis, 27 Juni 2019

Urgensi Peleburan Identitas

Penulis :  Fitaha Aini ; Mahasiswi S3 Uni­versity of Leicester, United Kingdom


Masih ingatkah de­ngan peris­tiwa pemilu gubenur DKI Jakarta periode lalu ketika pernyataan kon­troversial dari Basuki Tjahja Purnama atau Ahok menyulut protes dan kemudian menjadi momentum konflik identitas? Pakar media sosial, Ismail Fah­mi, PhD, memaparkan hasil temuannya tentang polarisasi (media) sosial.
Polarisasi ditunjukkan dari dua kubu besar yang meng­arah kepada kubu Islam (#tangkapahok) dan kubu In­donesia (#kamibhineka). Per­pecahan ini tidak hanya terjadi di dunia maya (Twitterland) tetapi juga dunia nyata. Antara lain ditunjukkan dari kompe­tisi gerakan keagamaan seperti Aksi Bela Quran 4/11/2016 dan 2/12/2016. Ini diselingi dengan gerakan kebangsaan lainnya seperti aksi Bhineka Tunggal IkaNusantara Bersatu, dan Kami Indonesia.
Berdasarkan hasil survei Spring Global Attitudes (2015), mayoritas penduduk Indone­sia memberi respons positif terhadap pentingnya agama dalam kehidupan. Negara de­ngan jumlah umat muslim terbesar dunia ini menduduki ranking ketiga di antara 40 negara yang berpartisipasi da­lam survei. Kondisi tersebut menunjukkan, agama meru­pakan bagian terintegrasi da­lam identitas. Dia menjadi sebuah komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam ke­hidupan bermasyarakat.
Pemilu 2019 pun serupa. Identitas keagamaan dan kebangsaan dibalut dalam identitas politik. Setelah dua periode disuguhi dua aktor utama lama, rakyat pun mesti menanggung derita koalisi par­tai dalam dua kuasa perkasa. Poster kampanye kubu 01 de­ngan latar belakang berbagai warna menunjukkan identitas bangsa yang heterogen.
Walaupun petahana meng­gandeng pasangan ulama, slo­gan yang diusung didominasi identitas kebangsaan. Seba­liknya, kubu 02 dilingkari banyak partai, organi­sasi, serta tokoh Islam yang justru mendukung pasangan dari partai berideologi semangat ke­bangsaan. Maka tak aneh, jika identitas agama Islam pun begi­tu kuat dengan pasangan 02 ini.
Ketika pilihan identitas ini memasuki ranah kehidupan sosial dan politik, berimplikasi menciptakan kondisi either with us or against us karena publik hanya dihadirkan de­ngan dua pilihan, 01 atau 02. Hal ini sesuai dengan pernya­taan pemenang nobel, Amartya Sen, tentang fenomena the ex­clusivity of single identity.
Stigma yang melekat ini seolah-olah membu­takan mata rakyat de­ngan hanya diperbo­lehkan memiliki satu identitas, sehingga identitas sosial-poli­tik yang terbentuk menjadi sebuah all or nothing contest. Realitanya, tanpa disadari sekat-sekat identitas pun bertransformasi men­jadi peleburan identi­tas (blended identity).
Output
Peleburan iden­titas mengacu ke­pada proses perpad­uan elemen identitas menjadi sebuah kom­posisi yang unik. Prof Joseph Chinyong Liow (2016) menemukan formula ini untuk menjelaskan ada­nya peleburan antara iden­titas agama dan kebangsaan (religious nationalist).
Artinya, tidak selalu in­dividu yang membela aga­manya, maka berkurang rasa cinta kepada tanah airnya. Be­gitu sebalik. Organisasi yang membawa identitas bangsa ti­dak pantas dianggap sebagai lembaga anti-agama. Blended identity ternyata berhasil memproduksi output positif seperti gerakan agama demi kepentingan kebangsaan yang sudah selalu dilakukan NU dan Muhammadiyah.
Namun, dalam buku Reli­gious Nationalism in Southeast Asia dipaparkan juga secara gamblang gerakan separatis di Thailand Selatan dan Filipina Selatan sebagai contoh output negatif identitas agama-bang­sa (Ibid). Menariknya, profe­sor ini menemukan, identitas agama mampu memproduksi tujuan kolektif dan solidaritas sosial yang dapat memobilisa­si, melegitimasi dan memper­tahakan tujuan tersebut. Atas dasar inilah, agenda utama pergerakan mesti diidentifikasi dan didiagnosis karena mampu menghasilkan output yang berbeda.
Mengapa identitias se­lalu dikaitkan dengan konflik atau perpecahan? Amartya Sen (2006) berpendapat, rasa eksklusivitas terhadap identi­tas tunggal berpotensi menjadi sumber kekerasan. Senada de­ngan itu, Bandura (2002) me­nilai, rasa eksklusivitas mem­pengaruhi keinginan untuk mendominasi atau mengung­guli komunitas lain.
De Rivera dan Casson (2015) ber­beda. Katanya, ketegangan sos­ial-politik terjadi karena absence of common communi t y . Situasi ini me­nyebabkan keti­ka individu mencoba keluar dari komuni­tas se-identitasnya, tidak menemu­kan ruang yang mampu menerima identitasnya.
Konsekuesinya, individu tersebut ber­ada dalam kondisi survival mode, bu­kan malah com­fort modeComfort mode dialami ketika berada di dalam ru­ang yang membuat­nya merasa nyaman ketika berinteraksi yang se-identitas dan se-ideologi. Kondisi diri yang diliputi ketakutan ber­basis survival mode di ling­kungan baru mampu meng­arah kepada tindakan irasional.
Akhirnya, ketegangan an­tarindividu pun berlaku akibat dari sikap mudah tersinggung, kurang empati, dan sukar me­nerima pendapat yang ber­beda.
Solusi
Common community con­cept dapat dibangun dari in­ternalisasi semangat kebersa­maan. Tidak salah jika proses re-instillation nilai dan se­mangat kebersamaan dipriori­taskan dalam pembangunan karakter bangsa seiringan de­ngan penguatan identitas Pan­casila. Nilai-nilai kebersamaan dapat ditanamkan, dikem­bangkan dan disegarkan kem­bali agar rakyat tidak terkung­kung dalam sekat identitasnya.
Negara mesti mengupay­akan kebijakan dan program berbasis common senses for community di setiap ruang public. Ini baik di dunia nyata (komunikasi antarmanusia se­cara langsung) maupun dunia maya (forum komunikasi me­dia massa atau media sosial).
Program media berbasis “tolak lupa” seharusnya tidak hanya difokuskan kepada janji atau pernyataan para politikus. Program ini juga bisa dihad­irkan untuk mengenang kem­bali peristiwa yang membuat bangsa bersatu, berbaur, dan bersama.
Contohnya, upaya seluruh komponen bangsa menyukses­kan Asian Games 2018. Perhe­latan itu bukan hanya panitia yang merasa berkontribusi. Penonton di stadium, bahkan di rumah pun merasa terlibat. Rakyat bangka kejayaan para atlet karena mengharumkan nama bangsa.
Begitu juga dengan solidari­tas rakyat ketika gempa bumi di Palu dan Donggala. Semua ele­men bangsa berbondong-bon­dong menyalurkan bantuan demi saudara sebangsa. Me­ngapa kita lupakan sejarah per­nah dan akan selalu bersama dalam semangat kebangsaan, tanpa peduli apa pun identitas agama dan etnik?
Identitas adalah aset berhar­ga yang mesti dijaga. Sadarilah bahwa kompleksitas identitas agama, bangsa, dan etnik tidak akan pernah pudar, baik dalam tataran ruang pribadi maupun publik. Tiga identitas kolektif ini akan selalu mengiringi se­tiap individu ketika berkomu­nikasi dan berinteraksi di ru­ang sosial dan politik. Rasa bangga terhadap identitas itu lumrah selama kita leburkan rasa tersebut dalam semangat persatuan dan perpaduan. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar