Ada satu aksi nasional strategis  yang digagas  Presiden Joko Widodo, tetapi belum banyak diketahui publik, yaitu mengintegrasikan sistem perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik. Inisiatif ini kalah populer ketimbang   pembangunan jalan tol, bendungan, padat karya di perdesaan, perhutanan sosial atau sertifikasi lahan dan lain-lain.
Padahal, kalau melihat tujuannya, aksi ini  lebih substansial. Tujuan yang ingin dicapai aksi ini adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas  pengelolaan anggaran  di pusat dan di daerah plus pengendalian risiko korupsi. Dalam tulisannya ”Melawam Korupsi dengan Teknologi” (Kompas, 18/3/2019),   Yanuar Nugroho meyakini teknologi informasi bisa didayagunakan untuk mengatasi korupsi.
Kalau itu tercapai, pertumbuhan ekonomi akan lebih berkualitas.   Boleh jadi, laju pengurangan kemiskinan akan lebih cepat, laju penciptaan lapangan kerja akan lebih tinggi dan  kesenjangan ekonomi antar-golongan masyarakat   akan lebih cepat menyempit. Dengan demikian, upaya ini akan lebih mendekatkan kita pada tujuan bernegara.
Nantinya tidak ada lagi cerita  tentang program atau kegiatan yang muncul seketika dalam APBN/APBD seperti halnya program e-KTP, yang kemudian jadi skandal megakorupsi; program yang mangkrak seperti mesin parkir di Kota Bandung; atau program penanganan stunting tetapi tak ada  kalori, vitamin atau protein yang menetes  secuil pun pada anak balita yang kurang gizi dan asupan, seperti di Jawa Barat.
Ukuran dan kriteria keberhasilan
Yang jadi ukuran keberhasilan aksi  ini, di antaranya (1) berfungsinya koneksi antara sistem perencanaan dan penganggaran di pusat, (2) berfungsinya koneksi antara sistem perencanaan dan penganggaran di  daerah, (3) berfungsinya koneksi antara sistem perencanaan dan penganggaran  berbasis elektronik  pusat  dengan daerah, dan (4) terselenggaranya  trilateral anggaran dan kinerja  di kementerian dan lembaga. Sementara kriteria keberhasilannya adalah terwujudnya interoperabilitas sistem perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik dan meningkatnya kualitas  dokumen perencanaan dan penganggaran.
Gagasan ini bagian integral dari  11 aksi Strategi Nasional  (Stranas) Pencegahan Korupsi yang  tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Stranas Pencegahan Korupsi. Informasi  detail aksi ini ada dalam Surat Keputusan Bersama  Lima Pemimpin Lembaga, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Bappenas, Kemendagri, Kantor Staf Presiden dan  Kemenpan dan Reformasi Birokrasi. Inisiatif ini juga bagian tak terpisahkan dari  dua beleid  lain yang saling terkait, yaitu Perpres No 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan PP  No 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional.
Beleid yang terakhir ini—PP No 17/2017—merupakan ikhtiar pemerintah mengatasi problem menahun, yaitu tak sinkron, tak sinergis, dan terputusnya proses perencanaan serta penganggaran di pusat, di daerah dan antara pusat dan daerah. Inilah yang menyebabkan inefisiensi, inefektivitas dan tingginya risiko korupsi dalam pengelolaan anggaran di pusat dan daerah.
Integrasi berjenjang
Terwujudnya  interoperabilitas sistem perencanaan (planning) dan penganggaran (budgeting)  berbasis elektronik—untuk mudahnya selanjutnya kita sebut saja sistem e-plageting—dan  meningkatnya  kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran akan tercapai kalau ada integrasi perencanaan dan penganggaran  berjenjang  secara elektronik, yakni (1) integrasi  horizontal e-plageting di pusat, (2) integrasi horizontal e-plageting di daerah, dan (3) integrasi vertikal e-plageting pusat dengan daerah. Integrasi horizontal e-plageting di pusat itu disatupadukannya perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan (pertanggungjawaban).
Ada proses penting dalam proses integrasi  horizontal ini, yaitu standardisasi Bagan Akun Standar (BAS) dan harmonisasi proses bisnis perencanaan dan penganggaran berbagai kementerian dan lembaga. BAS merupakan daftar kodifikasi dan klasifikasi transaksi keuangan yang disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan keuangan pemerintah. Dua institusi yang penting dan instrumental dalam proses integrasi horizontal di pusat ini adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bappenas.
Integrasi horizontal di daerah, kendati lebih kompleks, kurang lebih akan melalui proses yang sama, hanya lembaga yang penting dan instrumental peranannya berbeda: Kemenkeu dan Kemendagri. Kalau integrasi horizontal  e-plageting di pusat  dan di daerah sudah terjadi, relatif lebih mudah memastikan terjadinya integrasi vertikal e-plageting pusat dengan daerah.
Menyatukan dan memadukan  integrasi e-plageting semua jenjang itu  ke dalam  model aplikasi mengantarkan kita pada satu imaji tentang arsitektur e-plageting ’nasional’. Bagaimana arsitektur  e-plageting nasional  itu? Dari mana kita memulai membangun arsitektur e-plageting  nasional? Syarat pokok apa yang harus ada supaya e-plageting mewujud?
Kriteria dan kondisi
Ada beberapa  kriteria yang dirumuskan koordinasi, supervisi dan pencegahan (korsupgah)  KPK kalau kita mau mengembangkan arsitektur e-plageting nasional: (1) model pengembangannya harus  open source, (2) mampu diintegrasikan ke dan dari aplikasi lainnya, (3) mampu menampung  berbagai informasi keuangan (komprehensif), (4) dukungan teknisnya mesti se-Indonesia (service availability).
Kemudian, (5) berbiaya rendah, kalau bisa gratis lebih baik, (6) konektivitasnya online, (7) lokasi datanya  cloud, (8) pemutakhiran datanya mesti real time, (9) perangkat lunaknya mampu digunakan berbagai mesin/sistem (portability data), dan (10) perangkat lunaknya mampu mengagregasi data secara nasional. Selain itu  ada dua kriteria lain yang sangat penting, yaitu (11) keamanan sistem informasinya yang tinggi. Ini menyangkut  kerahasiaan, keutuhan, ketersediaan, keaslian, dan kenirsangkalan data dan informasi, dan (12) kapasitas organisasi dan  keandalan modal manusianya memadai.
Beberapa aplikasi perencanaan dan penganggaran yang ada sekarang ini, baik di pusat maupun di daerah, sudah  memenuhi sebagian kriteria itu. Jadi, sebenarnya kita tidak memulai ini dari nol. Misalnya, aplikasi e-plageting Sistem Informasi Manajemen Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaporan (Simral) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah berbasis cloud dan  model pengembangannya juga sudah open source.
Aplikasi e-plageting Sistem Informasi Manajemen Daerah (Simda) yang dikembangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),  perangkat lunaknya mampu digunakan di berbagai sistem/mesin dan juga sudah banyak dipakai oleh pemerintah daerah. Sampai Oktober 2018,  Simda BPKP sudah digunakan oleh 375 pemda. Sementara Simral  sudah digunakan oleh 16 pemda. Aplikasi e-plageting Pemerintah Kota Surabaya juga sudah memenuhi sebagian kriteria tersebut, di antaranya konektivitasnya sudah online dan tidak ada biaya pemeliharaan.
Aplikasi e-plageting di Surabaya sukses mengefisienkan, mengefektifkan, dan mengendalikan korupsi dalam pengelolaan APBD.  Dana APBD yang berhasil diefisienkan bisa dialokasikan dan digunakan untuk membiayai pelayanan pendidikan, kesehatan, pengembangan usaha kecil bagi  kelompok masyarakat miskin. Inovasi digitalisasi pengelolaan APBD Pemkot Surabaya ini mengantarkan Tri Rismaharini mendapatkan   Bung Hatta Anti Corruption Awards  (BHACA). Selain itu, pada Oktober 2013, Pemkot Surabaya juga mendapatkan penghargaan Future Government Awards  se-Asia-Pasifik dalam dua kategori, yaitu pusat data dan  inklusi digital.
Di tingkat desa, BPKP juga mengembangkan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes).  Aplikasi ini selain membantu aparat desa mengelola keuangan desa juga membantu Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) mengawasi pengawasan pengelolaan keuangan desa. Saat ini, BPKP juga sedang mengembangkan aplikasi lain, Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswakeudes).
Di lingkungan instansi pemerintah pusat juga ada beberapa aplikasi perencanaan dan penganggaran. Bappenas mengembangkan aplikasi e-planning,  Krisna dan Krisna Selaras. Krisna Selaras adalah aplikasi untuk meningkatkan  sinergi perencanaan pemerintah pusat dengan pemda. Kemenkeu mengembangkan  Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Sakti) yang mencakup seluruh proses pengelolaan keuangan negara pada satuan kerja,  dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.
Selain Sakti, di Kemenkeu ada juga Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan  Anggaran Negara (Omspan). Selain untuk memonitor  transaksi , aplikasi ini juga untuk menyajikan informasi  yang akurat, lengkap, dan detail mengenai  pelaksanaan sistem pengelolaan perbendaharaan dan anggaran negara. Saat ini sedang dikembangkan inisiatif mengintegrasikan aplikasi  Omspan dengan aplikasi Siskeudes. Tapi isu dan agenda utamanya terkait integrasi horizontal di lingkungan pemerintah pusat adalah bagaimana mengintegrasikan aplikasi Krisna dan Sakti.
Audit ”e-plageting”
Eksisnya beragam aplikasi e-plageting  di pusat dan  daerah setidaknya menyajikan  tiga alternatif dalam  membangun arsitektur e-plageting nasional, yaitu (1) membangun aplikasi tunggal pengelolaan keuangan pusat dan daerah, (2) memilih salah satu aplikasi perencanaan dan penganggaran yang sudah ada saat ini yang dikembangkan dan digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan sejumlah perbaikan, dan (3) membangun interoperabilitas aplikasi yang sudah ada saat ini.
Alternatif mana yang mau diambil? Apa implikasinya kalau , misalnya, alternatif nomor dua  atau nomor tiga yang diambil? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu saat ini BPPT sedang melakukan audit/penilaian aplikasi e-plageting.  Selain diminta Stranas PK/KPK, Perpres No 95/2018 tentang SPBE memang memberikan mandat kepada BPPT untuk mengaudit teknologi aplikasi.
Penilaian ini dirancang bukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk perbaikan aplikasi e-plageting yang ada. Yang ingin diungkap lewat kegiatan audit ini, di antaranya  kesesuaian  teknologi aplikasi yang diaudit dengan aturan, standar, atau prosedur yang berlaku; kesesuaian dengan rencana,  perkiraan atau kebutuhan; efektivitas, efisiensi, kelemahan dan kekuatan teknologi aplikasi yang diaudit. Audit ini baru saja dimulai, mungkin dalam 4-6 bulan ke depan hasilnya baru kita dapatkan.
Ikhtiar membangun arsitektur e-plageting nasional itu lebih politis ketimbang teknis. Lebih banyak dibutuhkan kesepakatan dan konsensus antar-lembaga/aktor ketimbang membuat perangkat lunaknya. Bayangkan kalau Kemenkeu dengan Bappenas atau Kemenkeu dengan Kemendagri tak harmonis? Dapat dipastikan integrasi horizontal  e–plageting di pusat dan di daerah itu tak akan pernah terjadi. Ego sektoral dan vested interest itu masih kuat bercokol, jangankan antara kementerian/lembaga, dalam satu direktorat di kementerian yang sama saja masih persisten.
Oleh karena itu, mengharmoniskan dan mengintegrasikan pola pikir, visi ke depan, dan kepentingan antarlembaga/aktor  harus diutamakan. Sayangnya belum ada aplikasi yang bisa digunakan untuk mengharmoniskan  dan mengintegrasikan pola pikir, visi, dan kepentingan orang.
Dedi Haryadi Staf Ahli Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi