Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Itulah peribahasa Melayu. Mungkin suku-suku lain di Indonesia punya peribahasa serupa.
Peribahasa itu bersumber dari sebuah pantun tua, yang bunyinya adalah: Setali pembeli kemenyan/ Sekupang pembeli ketaya/ Sekali lancung ke ujian/ Seumur hidup orang tak percaya.
Harga kemenyan lebih rendah dari harga ketaya. Ketaya adalah tali leher kerbau atau sapi yang terbuat dari rotan dan dikaitkan pada bom pedati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pantun itu ingin mengatakan bahwa tak mungkin harga kemenyan lebih mahal daripada harga ketaya. Ibarat harga sepeda motor sebesar Rp 200 juta, sedangkan harga mobil Rp 20 juta.
Kebohongan adalah pembalikan dari kebenaran. Yang koruptor dibenarkan dan dibela, sedangkan pegawai jujur dicaci maki dan dijatuhi hukuman. Sastrawan Ramadhan KH pada 1976 menerbitkan novel berjudul Kemelut Hidup (dan dibikin film juga) yang menceritakan pejabat yang jujur mendapatkan ejekan dan masa pensiunnya hidup serba kekurangan.
Menurut kamus, arti lancung adalah palsu, tidak jujur, curang, tidak murni. Orang lancung adalah orang curang tidak jujur. Dalam masyarakat yang sehat, kelancungan jelas tak disukai. Bahkan, masyarakat sehat mewanti-wanti agar orang tidak lancung karena hukum sosialnya amat berat, yaitu seumur hidup orang tak akan pernah memercayai orang yang pada suatu kali berbuat lancung.
Masyarakat yang tak sehat (insane) justru akan memuja kelancungan. Sutradara Amerika, Martin Scorsese, pernah membuat film berdasarkan kisah nyata, berjudul Goodfellas, yang mengisahkan pemujaan seorang remaja terhadap tetangganya yang gangster.
Menurut anak yang sering bolos sekolah ini, kebebasan yang sepenuhnya itu hanya dapat dimiliki para gangster. Mereka ini bebas hukum (menyogok polisi dan hakim), bebas membunuh, bebas lancung, dan hidup berkelimpahan uang. Anak remaja itu bercita-cita ingin menjadi gangster. Ia memang berhasil diterima sebagai anggota gangster termuda sebagai kurir dan pembantu. Setelah dewasa, ia memang benar-benar gangster tulen.
Peribahasa Melayu tadi memperingatkan masyarakatnya agar jangan sekali-kali berbuat lancung, sebab kalau sekali lagi mengulangi perbuatan yang sama, ia akan menjadi orang di luar masyarakat yang sehat. Ia harus bergabung pada kelompok atau masyarakat tak sehat, gangster. Di sana kelancungan adalah kebenaran. Yang dikutuk masyarakat sehat justru dipuja masyarakat sakit ini.
Masyarakat sehat dan sakit
Pakar tentang masyarakat sehat dan masyarakat sakit ini ialah Erich Fromm, yang bukunya The Sane Society diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1995 meski sudah terbit 1955 di negara asalnya.
Dalam awal bukunya, ia menulis: ”Dapatkah kita begitu yakin sehingga kita tak menipu diri sendiri? Banyak penghuni rumah sakit jiwa yakin bahwa orang lainlah yang gila, bukan dirinya. Banyak orang neurotik juga percaya tindak tanduknya yang kompulsif atau teriakan-teriakan histerisnya adalah reaksi normal terhadap situasi-situasi yang agak abnormal. Bagaimana dengan diri kita sendiri?
Bagaimana mungkin bangsa Jerman yang melahirkan seniman-seniman dan filsuf-filsuf besar, ilmuwan–ilmuwan besar di dunia dapat memiliki seorang Hitler sebagai kepala negara? Sehat atau sedang sakitkah masyarakat saat itu?
Benarkah ada tradisi bangsa yang Escape From Freedom? Memuja totaliter yang kejam? Pesta demokrasi harus diganti adu kekuatan?
Apakah masyarakat kita sedang berubah jadi masyarakat lancung alias masyarakat tak sehat, insane society? Orang lancung yang histeris meneriakkan bahwa orang lain lancung. Anak ranting di seberang sungai tampak jelas, batang beringin di depan mata sama sekali tak tampak? Kelancungan yang berkali-kali dilakukan bukan lagi kelancungan, tetapi kebenaran semata. Justru yang tak lancung itu orang lancung!
Metode ”cuci otak” rupanya sedang marak di sini. Kelancungan adalah kebenaran. Untuk mencapai keberhasilan doktrin ini, harus dicuci dulu doktrin sebelumnya bahwa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Itu doktrin goblok, bro, zaman sudah berubah, jangan percaya omongan tua kedaluwarsa nenek moyangmu itu.
Kesalahan terbesar bangsa ini adalah mengabaikan akar budayanya sendiri. Peribahasa Melayu tadi sudah tak dikenakan lagi pada generasi setelah kemerdekaan. Kita ini bangsa yang gampang melupakan tradisi berpikirnya sendiri. Semua yang lama-lama itu hanyalah kasur tua yang harus dibakar di tempat sampah. Dan, itu yang sekarang kita lakukan.
Apakah tabiat kita ini berhubungan  tempat kita di khatulistiwa? Sejak zaman purba, bangsa-bangsa dengan tradisi berpikir asing masuk Indonesia. Kita mencaploknya begitu saja dengan membuang yang sedang kita miliki. ”Jadul”, kata generasi masa kini. Kearifan lokal? Taik kucing! Buang jauh-jauh, tanam dalam-dalam. Itulah penggila mode pikiran mutakhir asing yang kita baca kemarin sore.
Apakah ini gejala bangsa yang sehat atau sakit?
Jakob Sumardjo Budayawan