Sabtu, 22 Juni 2019

AKAR PANCASILA DAN TANTANGAN RADIKALISME TRANSNASIONAL

AKAR PANCASILA DAN TANTANGAN RADIKALISME TRANSNASIONAL

Oleh :  Musa Malik  ;  Pengajar Tetap FISIP UPN Veteran Jakarta, Kandidat Doktor Charles Darwin University, Anggota Kehormatan Jaringan Intelektual Berkemajuan

KOMPAS, 22 Juni 2019
  •  

Opini Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi di Kompas (15/6/2019) sayang dilewatkan. Pendapatnya penting ditanggapi dan dikembangkan.
Ada dua tesis utamanya.
Pertama, radikalisme agama (Islam) yang disebabkan oleh ketidakjelasan dasar negara pasca-Orde Lama (Orla) dan adanya pemalsuan serta pengingkaran nilai-nilai Pancasila.
Kedua, bapak pendiri bangsa kita tergesa-gesa merdeka tanpa ada penjabaran nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh dan menyeluruh ke level operasional sebagai hukum dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945.
Tesis pertama ini memang ada benarnya; bahwa rezim Orde Baru (Orba) bisa jadi pihak yang paling disalahkan sebab rezim ini justru menjalankan sistem otoritarianisme dan menjadikan dwifungsi ABRI sebagai mesin kontrol sosial. Di bawah Orba sirkulasi ekonomi hanya diperuntukkan bagi para pengusaha yang bisa berkolusi dan bermonopoli untuk memperkaya pengusaha ataupun
elite penguasa.
Akan tetapi, tragedi suatu negara hanya sebagian dari sifat rakus manusia sendiri. Menurut seorang realis, Thomas Hobbes, rakus adalah bagian dari sifat dasar alamiah manusia. Rakus ini dipicu oleh sistem kapitalisme global yang saat itu memang sedang berkompetisi dengan sistem komunisme.
Orba memang berusaha dan memang terpaksa mengadaptasi sistem kapitalisme global dengan memasukkan investasi besar-besaran, khususnya dari Amerika Serikat, demi mengatasi utang Orla dan proses pembangunan. Dalam konteks ini, Orba tidak bisa serta-merta disalahkan sepenuhnya karena kompleksitas relasi antara sistem internasional dan sistem nasional.
Dalam tesisnya, Simon Philpott (2000) bahkan berani mengatakan bahwa Orba adalah konstruksi dari para sarjana Amerika yang disokong pendana seperti Ford Foundation, Rockefeller, dan institusi internasional lainnya. Para penerima beasiswa dari Amerika di zaman Orba begitu dominan dalam memerankan orkestra pembangunan di segala bidang, bahkan sampai sekarang.
Sebut saja alumnus dari Chicago—Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan Nurcholish Madjid yang begitu berpengaruh pada awal 1990-an. Belum lagi Mafia Berkeley serta lulusan sarjana Amerika lainnya yang tentu kuat jaringan pertemanannya di Amerika.
Pascareformasi, sampai polarisasi dua kubu presiden sekarang pun, masih didominasi para sarjana Amerika beserta anak didik generasi berikutnya dengan kerangka pikir yang tak jauh berbeda.
Singkat kata, imperium pengetahuan yang ditopang dana besar sudah dibangun kuat sejak Orba secara sistematis dan terencana oleh agen-agen kapitalisme global dalam membentuk Indonesia. Dalam hal ini, problem krisis Pancasila dan munculnya radikalisme tak bisa hanya ditujukan kepada otoritarianisme Orba.
Orba pencipta hoaks
Orba adalah penguasa yang cerdas dalam menciptakan hoaks nasional: kisah Supersemar dan PKI sampai sekarang masih kontroversi fakta-faktanya. Namun, Orba juga berkontribusi dalam operasionalisasi Pancasila melalui P4. Banyak orang mengatakan P4 gagal, tapi tidak sedikit yang kini memikirkan kembali, lalu berpendapat lebih baik ada P4 daripada tidak ada sama sekali. Sekarang ketiadaan P4 membuat negara ini seperti berjalan tanpa ”kepala”.
Program negara yang dijalankan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pun bermasalah sebelum berkembang. Mundurnya Yudi Latif tahun lalu adalah indikasi kuat-lemahnya elite politik mempunyai keberanian memasang ”kepala” negara ini. Di sini negara masih berjalan tanpa roh Pancasila.
Oleh sebab itu, keterpaparan radikalisme agama (Islam), baik di generasi muda terpelajar maupun masyarakat, pada umumnya merupakan keterputusan narasi sejarah antara generasi nasionalisme, Orba, dan generasi reformasi (kekinian) atas luka Orba. Keterputusan ini mengasingkan Pancasila dari generasi muda kekinian. Generasi pascareformasi adalah generasi tanpa arah yang diterkam ideolog radikalisme transnasional.
Menjadi tidak tepat jika dikatakan bahwa bapak pendiri bangsa kita belum sempat menjabarkan nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh dan menyeluruh menjadi nilai-nilai operasional sebagai hukum dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945.
Pancasila itu sudah utuh, menyeluruh, dan operasional karena bapak pendiri bangsa hanya mengonseptualisasikan (membungkus) akar dari nilai-nilai adiluhung bangsa ini. Bangsa ini paling beragam di dunia, lalu bapak bangsa kita menyatukannya dengan ikatan Pancasila. Semua nilai-nilai primordial keberagamaan bangsa di Nusantara ini ada dalam universalisme Pancasila.
Singkat kata, Pancasila adalah dasar negara yang sangat kosmopolitan (inklusif) dengan akar nilai-nilai kelokalan (eksklusif) suku bangsa Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Misalnya dalam perdebatan pembentukan Pancasila, spirit Pancasila pun sebenarnya sudah ada dalam pribadi elite politik saat itu. Perdebatan ini memberikan pelajaran berharga bahwa roh rembuk (bukan perdebatan ala demokrasi Barat) kebangsaan kita patut direproduksi dan dikuatkan agar berkelanjutan.
Menghargai keberagaman
Sikap kalangan Islam sangat menghargai keberagaman (tepo seliro) bangsa Indonesia dan kecerdasan mereka dalam membahasakan Islam agar sesuai dengan bahasa universalisme, kemanusiaan, dan keindonesiaan demi kepentingan bersama. Sikap kalangan non-Islam, agama Jawa, dan para penganut kepercayaan lainnya terhadap Islam sangat baik, rasional, dan positif. Itulah sejarah yang berharga untuk teladan generasi sekarang dan mendatang.
Tantangan Pancasila memang bagaimana elite politik serius mengurusi negara ini. Bagaimana elite politik memberi bukan hanya mengambil dan meminta terus kepada bangsa ini. Jangan sampai pada akhirnya terjadi dampak sosial dan politik yang di luar kendali, misalnya perang sipil.
Urgensi kebijakannya adalah beranikah pemerintah mendatang serius menjalankan program pendidikan Pancasila dengan sepenuh hati bukan sebagai ”proyek” belaka? Dengan demikian, keberlanjutan nilai- nilai primordial bangsa dalam wadah Pancasila yang inklusif dapat disambungkan, diestafetkan, ke generasi kekinian.
Pendidikan Pancasila secara serius harus dijalankan oleh ahlinya di seluruh institusi pendidikan. Hal ini menjadi urgensi baik jangka pendek, menengah, maupun panjang kebijakan negara demi menghadapi tantangan radikalisme transnasional. Jika tidak, bangsa ini akan mudah terpecah belah. Risiko nyatanya, pada pemilu mendatang bisa jadi akan terjadi tindak radikalisme dan kekerasan yang lebih besar dari Pemilu 2019. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar