Sabtu, 22 Juni 2019

PPDB ZONASI DAN KOMPLEKSITAS PENDIDIKAN KITA

Oleh : Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

MEDIA INDONESIA, 21 Jun 2019, 01:40 WIB


PENERIMAAN peserta didik baru (PPDB) sudah dimulai. Seolah-olah menjadi ritual tahunan, sistem zonasi dalam PPDB tahun ini pun tetap menimbulkan pro-kontra. Meskipun sudah dilaksanakan beberapa tahun ini, masih banyak pihak yang mempertanyakan apakah PPDB dengan zonasi ini akan menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi merata? Menurut saya, aturan PPDB tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, baik secara substansi maupun secara teknis. 

Dari segi diundangkan misalnya. PPDB 2019 merujuk Permendikbud No 51/2018 yang diundangkan pada 31 Desember 2018. Artinya, ada waktu lebih kurang enam bulan bagi daerah untuk menyusun juknis juga menyosialisasikannya kepada masyarakat.

Pemerintah daerah pun lebih leluasa menyesuaikan juknis itu dengan kondisi lokal, seperti mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah, kondisi geografis daerahnya, sosial budaya, maupun peta persebaran sekolah dan jumlah usia anak bersekolah. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan PPDB 2018 yang merujuk Permendikbud No 14/2018 yang diundangkan pada 7 Mei. Persiapan tahun lalu tentu lebih mepet.

Tafsiran pemerintah daerah terhadap Permendikbud 51/2018 sangat penting agar hak anak bersekolah tetap terpenuhi. Itu karena tiap daerah tentu memiliki kekhasan dan persoalan pendidikan yang berbeda-beda sehingga perlu memperhatikan lokalitas yang ada. Dialog pusat dengan daerah dalam penyesuaian ini menjadi sangat penting. Tujuannya tentu agar hak-hak anak mendapatkan pendidikan tetap terpenuhi.
Selain itu, mekanisme PPDB, utamanya daerah yang sudah menggunakan mekanisme online, dapat memangkas kecurangan. Ruang untuk titip semakin terbatasi dengan mudahnya masyarakat memantau informasi yang disajikan secara online. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat dioperasionalkan dalam proses penerimaan peserta didik.
Namun memang, mekanisme sosialisasi aturan PPDB harus lebih gencar, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah agar PPDB tidak jadi problem tahunan hanya karena minimnya informasi yang diperoleh masyarakat.

*Berbenah*

Meskipun demikian, banyak hal yang perlu menjadi perhatian. Banyak aspek yang harus dibenahi. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga kerja kita bersama. Persoalan PPDB yang terjadi hingga saat ini menunjukkan betapa kompleksnya persoalan pendidikan di RI. Persoalan ini menunjukkan wajah pendidikan RI yang sesungguhnya.

Yang paling tampak ialah disparitas pendidikan di Indonesia masih terbuka. Beda kualitas pendidikan di perdesaan dan di perkotaan masih gamblang terlihat. Sekolah-sekolah, baik dari segi kuantitas maupun kualitas mengelompok di wilayah perkotaan. Masalah ini merupakan warisan persoalan masa lalu.

Sekolah-sekolah, terutama di tingkat SMP dan SMA/SMK memang dibangun secara mengelompok di wilayah perkotaan. Sekolah terbaik, unggulan, favorit, apa pun labelnya itu memang disematkan pada sekolah tertentu. Ada masa ketika sistem pendidikan di negeri ini menganut kecenderungan mengotak-kotakan siswa berdasar prestasi yang cenderung hanya berbasis kapasitas akademik semata.

Anak-anak terbaik secara akademik akan pergi dari daerahnya bermigrasi ke kota besar untuk bersekolah. Mekanisme penyeleksian berdasarkan nilai membuat sekolah menjadi tersegmen. Sejarah panjang itu membentuk sekolah unggulan kemudian difavoritkan. Mereka masuk ke perguruan tinggi favorit. Sistem macam ini membuat saringan masuk ke sekolah menjadi sangat sulit.

Namun memang, imaji sekolah favorit begitu kuat dalam benak kita bersama. Tak hanya orangtua, tetapi juga stakeholder pendidikan. Kehadiran PPDB berbasis zonasi berusaha memangkas imaji ini. Tentu ini sangat sulit karena di benak orangtua, sekolah favorit ialah pintu masuk menuju kesuksesan hidup. Masuk sekolah favorit berarti punya kesempatan besar masuk perguruan tinggi negeri favorit dan ujungnya bisa mendapatkan pekerjaan yang baik.
Imaji itu dikukuhkan dengan lebih banyaknya siswa yang diterima di perguruan tinggi undangan yang berasal dari sekolah-sekolan negeri favorit.

Paradigma yang dikuatkan kondisi faktual ini begitu mengakar dalam benak orangtua, peserta didik, maupun stakeholder pendidikan. Meski UN bukan penentu kelulusan misalnya, tetap saja daerah berlomba-lomba meningkatkan nilai UN, yang sesungguhnya bukan tujuan dari pendidikan. Tujuan pendidikan untuk memanusiakan, membuat anak berkarakter, memiliki mentalitas yang tangguh dalam segala situasi seperti terabaikan.

Padahal, di era yang serbadigital ini, kondisi-kondisi tersebut terasa menjadi paradoks. Kita bicara revolusi industri 4.0 tetap masih sibuk mencari sekolah favorit. Padahal di banyak tempat, banyak perusahaan besar di dunia yang sudah tidak memperhatikan ijazah, tetapi hard skill dan soft skill serta kreativitas apa yang ditawarkan.

Akan tetapi, di Indonesia asal sekolah menjadi sangat penting.  Sekolah dianggap menentukan keberhasilan seseorang. Ini perlu perubahan paradigma juga. Perlu dikukuhkan bahwa sekolah merupakan salah satu jalan untuk sukses, bukan satu-satunya jalan.

*Pentingnya data*
Hal yang juga perlu ditingkatkan, soal pentingnya data pemetaan sekolah, serta jumlah penduduk usia sekolah di tiap daerah. Ini menjadi bagian penting untuk mengetahui berapa sesungguhnya kebutuhan sekolah, di mana saja sebaran anak usia sekolah, dan bagaimana strategi pemerintah daerah agar anak-anak terpenuhi haknya.   

Saya yakin data-data ini sudah dimiliki pemerintah daerah. Konektivitas antar-SKPD menjadi sangat penting untuk memotret kondisi tiap daerah dan menemukan strategi zonasi yang sesuai konteks daerah.

Pemetaan itu sangat penting karena banyak daerah belum memiliki sekolah yang lengkap di setiap jenjangnya. Misalnya, bagaimana anak-anak yang posisi rumahnya ada di perbatasan kabupaten/kota atau provinsi.

Bagaimana jika mereka lebih dekat ke kabupaten/kota atau provinsi tetangganya? Mekanisme kerja sama antardaerah menjadi sangat penting.

Ini harus jadi perhatian, jangan sampai hak mendapatkan pendidikan tidak didapat calon peserta didik di wilayah-wilayah yang jumlah sekolahnya terbatas atau bahkan belum ada sekolahnya. Pemda harus jeli melihat realitas faktual yang ada di daerahnya. Kejelian pemerintah daerah memperhatikan persoalan pendidikan menjadi sangat penting agar strategi penerimaan peserta didik berbasis zonasi menjadi optimal.

Yang sangat mendasar ialah upaya pemerataan kualitas pendidikan melalui penerimaan PPDB berdasar zonasi harus diimbangi peningkatan kualitas guru dan daya dukung infrastruktur pendidikan lainnya. Jangan hanya memaksa anak didik bersekolah lebih dekat, tetapi penuhi juga fasilitas sekolahnya, daya dukung pendidikan, kualitas guru, dan kualitas pembelajarannya. Dalam jangka panjang, semua sekolah ialah unggul dan favorit. Tentu bukan proses mudah dan sebentar.

Kajian komprehensif perlu dilakukan. Setelah ada sistem zonasi, apakah motivasi anak belajar meningkat, prestasi baik akademik ataupun lainnya meningkat. Apakah diiringi pemerataan guru, fasilitas pendukung pendidikan. Apakah standar nasional pendidikan turut dipenuhi agar sekolah memiliki fasilitas untuk mendukung kegiatan pendidikan secara merata? Ini menjadi penting agar kita tidak mengulang kesalahan terus-menerus.

Saya mendukung sistem zonasi ini dengan catatan-catatan itu. Ke depan, anak-anak tidak perlu jauh bersekolah, tetapi juga tidak dibatasi untuk masuk sekolah yang diinginkan karena semua sekolah sudah unggul dan anak-anak unggul bukan hanya karena nilai mereka. Ini tentu semata sebagai wujud menggenapi janji pencerdasan yang ada di pembukaan UUD. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar