Jumat, 28 Juni 2019

Kamis 27 Juni 2019, 13:18 WIB

Kolom

Memberantas Korupsi Sektor Swasta: Berkaca dari Singapura

Raras D Adining - detikNews


Jakarta -
Beberapa hari ini pemberitaan mulai diramaikan dengan pendaftaran calon pimpinan KPK yang telah dibuka. Panitia seleksi calon pimpinan KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo memberi batas waktu mulai 17 Juni hingga 4 Juli 2019 bagi siapapun yang memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon pimpinan. Kehebohan sendiri sebenarnya sudah dimulai usai diumumkannya pembentukan Pansel Capim KPK.

Saat ini, setidaknya ada tiga lembaga yang bisa melakukan penegakan hukum terkait kasus korupsi. Ada Polri, Kejaksaan, serta KPK. Kali ini, mari kita fokus kepada KPK yang kerap menjadi sorotan, baik karena kasus yang ditangani atau akibat konflik internalnya.

Sebelum membahas lebih jauh, mari pahami dulu dasar dibentuknya KPK. Lembaga antirasuah ini dibentuk di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dasar hukumnya adalah UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam UU ini disebut KPK merupakan lembaga independen. KPK punya sejumlah tugas yang diatur dalam UU ini, mulai dari koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan hingga melakukan monitor penyelenggaraan pemerintahan negara.
Meski tugasnya banyak, KPK cuma berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan pihak lain yang terkait dengan si penegak hukum atau penyelenggara negara. Selain itu, KPK juga berwenang menangani kasus yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat hingga menyangkut kerugian negara minimal Rp 1 miliar.

Artinya KPK tak bisa melakukan penindakan jika kasus korupsinya tidak melibatkan atau terkait dengan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum. Padahal, korupsi bukan sekadar dilakukan dua unsur itu saja. Pihak swasta juga bisa melakukan korupsi.

Sebenarnya, Indonesia sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) lewat UU Nomor 7 tahun 2006. Dalam UNCAC diatur soal penanganan korupsi di sektor swasta. KPK sendiri sudah berulang kali meminta agar korupsi di sektor swasta segera bisa diusut. Usulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hingga dibuatnya Perppu Pemberantasan Korupsi telah dilemparkan KPK. Namun, belum ada tindakan nyata hingga saat ini.

Desakan agar korupsi di sektor swasta ini segera diatur juga menimbulkan pertanyaan. Siapa yang bisa menanganinya?

Kalau melihat UU KPK saat ini, sulit rasanya KPK bisa menangani korupsi di sektor swasta karena kewenangannya terbatas pada aparat penegak hukum-penyelenggara negara. Jika tak ada kedua unsur itu dalam suatu kasus, rasa-rasanya bakal sulit KPK menangani karena terkendala dasar hukum.

Revisi UU KPK bisa saja dilakukan agar KPK punya dasar hukum yang lebih kuat sebagai lembaga yang berwenang menangani berbagai kasus korupsi. Tapi, revisi UU KPK ini rentan membuat KPK menjadi lemah. Bisa saja revisi UU KPK malah menghilangkan berbagai kewenangan KPK yang selama ini ada bukan menambahkan kewenangan.

Nah, untuk memberi pencerahan soal masalah korupsi di sektor swasta ini mari kita berkaca dari Singapura.

Di Singapura, kasus korupsi, baik oleh pejabat negara maupun swasta ditangani oleh lembaga bernama CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau's). Singapura menyebut korupsi adalah tindakan menerima, meminta untuk atau memberi gratifikasi apapun sebagai bujukan atau hadiah bagi seseorang untuk melakukan sesuatu dengan maksud korupsi. Ada banyak bentuk gratifikasi atau suap di Singapura, mulai dari uang, tindakan seks, properti, janji, dan layanan. Sementara, imbalan yang termasuk bagian dari suap atau gratifikasi itu tak sekadar proyek atau keuntungan, namun bisa juga informasi rahasia atau hak istimewa lainnya.

Masih berkaca dari Singapura, ada sejumlah kasus sepele yang kalau di Indonesia dianggap biasa, namun di sana masuk kategori suap atau korupsi dan bisa dihukum. Kasus-kasus itu juga tak melibatkan unsur pejabat negara atau penegak hukum. Salah satu contoh yang bisa dilihat dalam A Practical Anti-Corruption Guide for Business in Singapore (PACT) yang diunggah di situs CPIB adalah kasus penjual ikan dan tukang masak.

Si penjual ikan, bernama Tau Ee Tiong selaku pemilik Wealthy Seafood Product and Enterprise secara pribadi mendekati setiap koki kepala dan berjanji kepada mereka komisi sebagai imbalan karena bantuan untuk Wealthy Seafood. Banyak dari koki ini berasal dari restoran dan hotel China terkenal di Singapura. Koki-koki ini terkenal dan mapan, dan memiliki wewenang untuk membuat keputusan tentang pilihan pemasok untuk restoran masing-masing.

Dalam investigasi CPIB mulai Februari 2006 dan Agustus 2009, Tay disebut telah memberikan suap kepada 19 koki mulai dari SGD 200 dan SGD 24.000. Tay akan mendekati para koki ini dan menjanjikan komisi kepada mereka berdasarkan persentase dari total nilai produk makanan laut yang dibeli. Para koki akan menerima uang tunai dari Tay setiap dua hingga tiga bulan. Sebagai imbalannya, mereka akan terus menempatkan pesanan makanan laut mereka dari perusahaan Tay.

Akhirnya, Tay Ee Tiong didakwa dengan 223 tuduhan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara 18 bulan pada September 2011 karena memberikan suap hampir SGD 1 juta. Koki yang terlibat juga dihukum karena menerima suap secara korup dari Tay dan menerima hukuman masing-masing.

Contoh lainnya terjadi pada Sheith Yusof bin Sheith Ibrahim yang merupakan pelatih Absolute Kinetics Consultancy Pte Ltd yang melatih peserta kursus pengelasan. Dia juga disebut membantu penguji pengelasan eksternal selama tes pengelasan. Setiap peserta pelatihan yang lulus akan menerima semacam izin dari Ministry of Manpower-nya Singapura.

Pada 2012-2013, CPIB melakukan investigasi. Hasilnya, Yusof diduga memanfaatkan posisinya sebagai pelatih untuk mendapat suap. Nilai suapnya bisa dibilang kecil yakni SGD 5 hingga SGD 50 atau setara sekitar Rp 54 ribu hingga Rp 541 ribu. CPIB dalam PACT menyebut suap itu diterima Yusof sebagai "uang kopi" agar peserta kursusnya bisa lebih santai. Akhirnya, Yusof mengakui perbuatannya dan pada 2014 dia didenda senilai SGD 8 ribu dan SGD 199 atau sekitar Rp 88 juta akibat perbuatannya. Para pemberi suap juga diberi hukuman.

Masih banyak kasus-kasus lainnya di sana, mulai dari persekongkolan saudara, bantuan yang melanggar hukum, dan lainnya. Ketatnya hukum pemberantasan korupsi di Singapura itu berbanding lurus dengan tingginya nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Singapura, yakni 85 dan berada di posisi ketiga dunia.

Selain itu, Singapura juga terkenal sebagai negara yang membayar pejabat negaranya dengan gaji tinggi. Selain mencegah korupsi, hal ini juga ditujukan agar orang-orang terbaik di negara itu mau bekerja untuk negara.

Kembali ke Indonesia, upaya pemberantasan korupsi sendiri sudah dimulai sejak Orde Lama tepatnya pada 1957 lewat panitia Retooling Aparatur Negara. Upaya pemberantasan korupsi tak berhenti hingga kini. Meski masih banyak terjadi kasus korupsi, setidaknya ada sejumlah perbaikan yang ditunjukkan dari terus naiknya IPK Indonesia dari tahun ke tahun. Jika pada 1998 IPK Indonesia berada di angka 20, pada 2018 naik di angka 38.
Namun, kita tak boleh berbangga diri karena angka itu setara dengan Swaziland dan hanya satu angka di atas Gambia. Bahkan kita tertinggal dari dua angka dari Benin, negara di Sub-Saharan Afrika.

Indonesia harus berani memperkuat aturan untuk memberantas korupsi. Penguatan UU Tipikor hingga UU KPK, dan memasukkan pemberantasan korupsi di sektor swasta dalam aturan sebagai konsekuensi diratifikasinya UNCAC adalah suatu kewajiban. Selain itu, Indonesia juga harus bekerja keras melakukan pembenahan sistem politik yang bebas dari transaksi demi posisi.
Raras D Adining ; Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar