Beberapa waktu lalu, seniman terkenal Butet Kartaredjasa memberi komentar mengenai penampilan anak perempuannya di media sosial begini: Oalaah nduk Galuh Paskamagma, lha kok fotomu mendadak viral ta? Uasuwoook njuk akeh sing mengajukan proposal nglamar kowe je. Dalam candanya terlihat kebanggaan dia sebagai ayah.
Yang ia komentari adalah foto anaknya di Facebook. Sang anak, Galuh, mengenakan busana tradisional Jawa. Berkebaya hitam, rambut dikonde, selendang merah berhias bros berbentuk capung tersampir di pundak, Galuh memang cantik. Giwang putih di telinga sekilas mengingatkan lukisan abadi ”Girl with a Pearl Earring” karya Vermeer. Jangankan sang ayah, saya yang cuma teman pasangan Butet-Ruly ikut bangga.
Menyerupai poster, di sebelah foto terdapat tulisan besar: Gerakan Nasional Kembali ke Busana Identitas Bangsa Nusantara. Tekad semacam itu cukup meluap sekarang. Sahabat saya di Yogya, Delia Murwihartini, menjadi ketua Perkumpulan Perempuan Bersanggul dan Berbusana Nusantara ”Kamala Nusantara”. Astari, Duta Besar Indonesia di Bulgaria, selalu tampil chic dengan kebayanya. Tentunya masih banyak lagi—atau mudah-mudahan demikian—mereka yang mencintai busana ibu negeri.
Di luar bias estetik saya yang terus terang memang cenderung memilih makan siang bersama wanita berkebaya, busana adalah fenomena semiotik. Fungsinya bukan hanya melindungi tubuh berkenaan dengan kondisi alam yang relevan, tetapi juga identitas bernilai simbol. Sama seperti seragam, ia menunjukkan ke mana si pemakai berafiliasi.
Sejak lama makna simbolik busana menjadi medan perebutan ideologi di baliknya. Yang mudah diingat antara lain gerakan pembebasan oleh anak-anak muda pada tahun 60-an yang dikenal dengan sebutan ”Generasi Bunga”. Busana ikat celup (tie dye) yang dikenakan generasi pada masa itu berikut informalitasnya termasuk kelonggaran tak mengenakan beha di kalangan cewek, merupakan cara mereka untuk mengekspresikan sikap terhadap kemapanan.
Gerakan anti-kemapanan masa itu memiliki implikasi yang barangkali tidak kita duga sekarang. Dalam buku World without Mind (Vintage, 2018), Franklin Foer mengungkap kisah anak muda bernama Stewart Brand. Dia melihat bagaimana para hippies membentuk koloni-koloni untuk membebaskan diri dari tatanan sosial dan norma-norma yang berlaku saat itu.
Apa yang dibutuhkan oleh kelompok atau komunitas yang ingin mandiri seperti itu? Informasi tentang peralatan (teknologi) yang memungkinkan mereka memberdayakan diri secara individual. Di situ Brand menerbitkan Whole Earth Catalog, semacam katalog yang memungkinkan pembacanya bisa mengakses peranti yang jadi kebutuhan hidup mandiri.
”Hanya teknologi yang bisa membebaskan manusia,” kata Brand dalam manifestonya seperti dikutip di buku tadi. Waktu itu ia mempelajari gagasan para pemikir pujaannya, dari Buckminster Fuller sampai Marshall McLuhan. Para pahlawan intelektualnya itu rata-rata menekankan pentingnya ”sistem dan jaringan”.
Whole Earth Catalog yang substansinya adalah ”sistem dan jaringan” inilah yang kemudian menjadi teks fundamental dari Silicon Valley. Kita semua tahu, Silicon Valley di pantai barat Amerika adalah pusat IT yang menguasai dunia sekarang. Pembebasan manusia sekarang terjadi bukan karena teologi, melainkan teknologi.
Di situ pula teknologi pembebasan menemukan paradoksnya. Silicon Valley memperoleh inspirasi dari gerakan anti-kemapanan tahun 60-an, kini teknologi yang mereka hasilkan di beberapa tempat justru mengokohkan ide-ide formalisme bahkan radikalisme. No bra tahun 60-an jelas tinggal kenangan, diganti norma baru cara berpakaian yang mengklaim segala kepantasan.
Dalam teater sosial ini kita melihat problematik sekaligus sensitivitas busana. Di beberapa negara Eropa, seperti Italia, terjadi persoalan karena ada busana yang menyulitkan identifikasi pemakainya. Di beberapa tempat lain menimbulkan tekanan sosial pada sebagian kalangan perempuan.
Kebaya, yang setahu saya dalam sejarahnya tidak pernah menimbulkan antagonisme sosial, barangkali memang jawaban yang tepat untuk zaman ini di sini. Putri Butet Kartaredjasa cantik dengan kebayanya. Seandainya saya punya anak lelaki, jelas sudah kuajak Butet besanan. ***