Sabtu, 22 Juni 2019

ZONASI  vs  STEREOTIPISASI  PRESTASI

Oleh :  BAGUS MUSTAKIM ;  Pengawas Sekolah dan Instruktur Nasional pada Direktorat PAI Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, sedang menempuh Program Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DETIKNEWS, 20 Juni 2019, 13:26 WIB


Seperti tahun lalu, penerapan sistem zonasi dalam rangka penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada tahun ini juga memantik kontroversi. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah mengritik keras kebijakan zonasi yang dipandang tidak berpihak pada peserta didik yang berprestasi. Sementara Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur bermaksud memodifikasi penerapan zonasi di daerahnya masing-masing. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta bermaksud mengalokasikan kuota non zonasi sebesar 30 persen. Sedangkan Jawa Timur mengalokasikan kuota 20% untuk jalur prestasi. Menteri Pendidikan sendiri menolak berbagai modifikasi ini dan memerintahkan agar kembali ke konsep awal berdasarkan Permendikbud Nomor 17 tahun 2017.

Perdebatan ini mengulangi persoalan yang sama yang sempat muncul pada PPDB tahun lalu. Salah satunya adalah persoalan kecilnya kuota untuk peserta didik yang memiliki prestasi akademik di sekolah sebelumnya. Melalui sistem zonasi, "anak-anak pintar" ini dikhawatirkan tidak bisa bersekolah di sekolah yang diinginkan, yaitu sekolah yang selama ini dipersepsikan sebagai sekolah unggul dan berkualitas. Sebelum era zonasi, sekolah-sekolah ini melakukan seleksi yang ketat terhadap calon peserta didik dengan standar nilai yang cukup tinggi. Meskipun seringkali ada juga peserta didik titipan dari berbagai pihak agar bisa bersekolah di sekolah bonafid itu.

Adanya persepsi tentang peserta didik berprestasi-tidak berprestasi serta sekolah unggul-tidak unggul inilah yang sejatinya menjadi akar persoalan yang menyebabkan kebijakan zonasi menjadi kontroversi. Munculnya persepsi ini disebabkan adanya kategorisasi peserta didik menjadi anak pintar dan tidak pintar. Ukuran kategorisasinya adalah nilai akademik berdasarkan jumlah dan rata-rata nilai rapor. Kategorisasi ini melahirkan stereotip bahwa peserta didik yang nilainya tinggi disebut dengan anak pintar dan layak bersekolah di sekolah unggul, peserta didik yang nilainya rendah dianggap sebagai anak bodoh yang hanya layak bersekolah di sekolah pinggiran.
Stereotipisasi seperti ini sebenarnya sudah tidak aktual. Sejak era kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada 2004, penilaian terhadap peserta didik tidak lagi diukur dengan membandingkan capaian antarpeserta didik. KBK menilai keberhasilan belajar berasal dari capaian kompetensi yang diraih oleh peserta didik. Sejak itu sekolah sudah tidak mengenal ranking. Seharusnya sudah tidak ada lagi peserta didik berprestasi dan tidak berprestasi yang diukur dengan membandingkan capaian belajar antarpeserta didik.

Kenyataannya para pelaku pendidikan tidak bisa lepas dari stereotipisasi ini. Meskipun di rapor sudah tidak ada ranking kelas, guru tetap melakukan pemetaan prestasi. Anehnya banyak guru yang membuat ranking sendiri walaupun sebenarnya ranking tidak dibutuhkan dalam sistem KBK. Alasan klasik yang sebenarnya bisa dibantah adalah karena orangtua menanyakanranking kelas yang diraih oleh anaknya. Atas pertanyaan ini seharusnya guru bisa mengedukasi masyarakat tentang sistem pendidikan yang diinginkan kurikulum, bukan sebaliknya melayani kebutuhan masyarakat yang sudah terpapar stereotipisasi.

Sudah saatnya stereotipisasi prestasi ini dihentikan. Memang tidak mudah karena stereotipisasi ini sudah berlangsung lama dan mengurat mengakar dalam sistem sosial pendidikan. Tapi jika tidak dilakukan maka kebijakan-kebijakan pendidikan yang progresif bisa berbenturan dengan tembok tebal stereotipisasi ini. Kebijakan zonasi misalnya. Kebijakan yang secara filosofis ingin memberikan pelayanan kualitas pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi masyarakat tanpa ada kelas-kelas sosial yang diskriminatif, harus berhadapan dengan kegalauan tidak tertampungnya "anak-anak pintar" di "sekolah unggul".

Jika dilihat dari tuntutan standar penilaian pendidikan dalam kurikulum, sebenarnya penilaian-penilaian dalam bentuk assessment of learning yang menjadi sumber strereotipisasi, seperti penilaian harian, tengah semester, akhir semester, dan akhir tahun bukan prioritas penilaian yang utama. Dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2016 disebutkan bahwa paradigma penilaian seharusnya bergeser dari assessment of learning menuju assessment as learning. Dalam assessment as learning peserta didik dapat menilai kemampuan dan potensi dirinya tanpa harus membanding-bandingkan dengan kemampuan teman-temannya.

Hanya saja pada wilayah implementatif, penerapan pendekatan penilaian assessment as learning sulit direalisasikan. Lagi-lagi masalahnya adalah kualitas SDM guru dan manajemen sekolah. Mereka terjebak dalam stereotipisasi prestasi, enggan keluar atau bahkan menikmati jebakan itu untuk kepentingan lain yang bisa jadi bersifat politis-materialistis. Lebih konyol lagi, keengganan keluar dari stereotipisasi ini dikarenakan guru atau sekolah bisa "memaksa" peserta didik agar belajar lebih rajin. Ini adalah alasan klise yang sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola pendidikan dan mendesain kegiatan pembelajaran sehingga bukan kesadaran belajar yang dibangun melainkan pemaksaan belajar melalui penilaian dan ujian.

Sudah benar sikap tegas Mendikbud dalam menolak berbagai modifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sistem zonasi bisa menjadi salah satu cara untuk memutus stereotipisasi prestasi. Namun sistem ini saja tidak cukup untuk menghapuskan stereotipisasi ini secara penuh. Adapun yang lebih penting adalah melakukan kontrol dan kendali mutu pasca-zonasi, yaitu bagaimana agar kualitas pendidikan benar-benar bisa merata dan meningkat. Bukan sebaliknya, dikarenakan penerapan sistem zonasi guru dan manajemen sekolah justru kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Selain itu, yang perlu dicarikan formulanya adalah bagaimana agar penghargaan dan apresiasi kepada peserta didik tidak hanya diukur dari capaian nilai akademik. Sehingga yang diumumkan ke publik, diviralkan di media sosial, dan diberi keistimewaan masuk sekolah jenjang berikutnya tanpa tes, bukan hanya mereka yang mendapat nilai tertinggi. Apresiasi juga perlu diberikan kepada prestasi-prestasi yang lain, baik dalam bentuk akademik, non akademik, maupun karakter. Jika formula ini berhasil ditemukan maka stereotipisasi prestasi akan mencair.

Pertanyaannya adalah apakah setelah era Menteri Muhadjir Efendi kebijakan zonasi ini akan tetap bertahan? Atau dilikuidasi seperti kejadian-kejadian sebelumnya ketika terjadi pergantian Mendikbud? Bagaimanapun bangsa ini memang harus menerima kenyataan bahwa pendidikan bukan sekedar urusan pendidikan, banyak kepentingan yang ada di sana. Kalau sudah seperti ini, berapa lama lagi kita akan menikmati pendidikan yang berkualitas dan menghasilkan SDM yang mampu bersaing di tingkat global? *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar