Jumat, 28 Juni 2019

Jumat 28 Juni 2019, 16:00 WIB

Kolom

"Membela" Celana Cingkrang

Danang T.P - detikNews


Jakarta -
"Wah, dia pakai celana cingkrang, pasti anggota kelompok Islam radikal!", "Tuh orang Islam radikal, celananya cingkrang, jidatnya item, pendukung terorisme!" Begitulah kasak-kusuk tentang celana cingkrang yang selama ini ada dan sering kita dengar dalam berbagai obrolan sehari-hari.
Beberapa waktu lalu kasak-kusuk celana cingkrang akhirnya mencuat menjadi pembicaraan di sosial media. Denny Siregar menulis catatan dan membagikannya di Twitter tentang bahaya kelompok Islam radikal di internal KPK. Akhmad Sahal, seorang kandidat doktor bidang Religion Studies University of Pennsylvania, membagikan catatan tersebut dengan caption, "Betulkah kaum "Islam cingkrang" makin menguat di KPK?"
Sebagai kasak-kusuk, berbagai pernyataan di atas belum tentu tepat. Kasak-kusuk sepadan dengan stigma. Mungkin memang ada satu fakta tertentu, tetapi stigma membuat satu fakta itu seolah berlaku pada semua jenis orang, meskipun dalam rentang waktu dan lingkup sosial yang berbeda-beda. Cara berpikir ala kasak-kusuk tidak peduli misalkan seseorang memakai celana cingkrang karena tidak sanggup beli celana baru, sementara tubuhnya terus bertambah tinggi, atau seseorang memakai celana cingkrang karena tren fesyen.

Fenomena Politis
Saya tidak tahu "Islam cingkrang" yang disebut Akhmad Sahal itu kategori macam apa, atau diambil dari jurnal terbitan mana oleh sang kandidat doktor. Agaknya sang calon doktor selama kuliah di Amerika sana tidak pernah melihat anak-anak muda Amerika meniru gaya fesyen "celana cingkrang" atau capri pants ala Michael Jackson.

Lho, kan konteks Amerika berbeda dengan di Indonesia.
 Iya, memang berbeda. Tetapi, di belahan dunia mana pun memberi penilaian politis dan ideologis secara serampangan pada fesyen adalah bukti kemalasan berpikir. Ini bukan berarti saya ingin mengatakan fesyen tidak ada hubungannya dengan ideologi atau sikap politik seseorang. Stigma celana cingkrang justru menunjukkan bahwa sejak semula fesyen adalah juga arena ideologis penafsiran politik.
Sebagai arena ideologis penilaian atas fesyen tidak bisa dilakukan secara serampangan. Teoretikus fesyen Tim Edward dalam Fashion in Focus (2011) menegaskan bahwa penafsiran fesyen secara serampangan akan menghasilkan politik pembedaan. Politik pembedaan ini pada akhirnya menghasilkan stigma identitas kelompok dan masyarakat apakah berdasarkan kelas, usia, jenis kelamin, ras, orientasi seksual, atau lebih sederhana wujudnya dalam bentuk politik regulasi tubuh. Misalkan, kalau kamu perempuan feminis, kamu harus berpakaian terbuka, anti-hijab; laki-laki maskulin harus bertato dan tidak boleh memakai pakaian warna cerah.
Penilaian celana cingkrang sebagai Islam radikal atau "teroris" adalah hasil dari politik pembedaan atau stigmatisasi. Dahulu tuan-tuan kolonial melarang pribumi memakai jas dan sepatu ala Eropa. Larangan fesyen itu muncul bersama dengan prasangka rasial. Hasilnya, politik rasial lewat fesyen. Pribumi dengan sarungnya adalah manusia kelas dua yang belum termodernisasi atau menjadi seperti orang Eropa.
Sebagai bagian dari gaya hidupfesyen adalah fenomena politis yang unik. Perkembangannya tidak bisa kita pisahkan dari agenda industri gaya hidup. Pesatnya perkembangan industri gaya hidup mendorong berbagai perubahan atas persepsi manusia tentang fesyen. Kini setiap ideologi atau sikap politik dipenuhi kebutuhannya oleh industri gaya hidup, tidak hanya soal fesyen saja. Selain itu, perkembangan ini juga membuat segala batas-batas ideologis tradisional semakin kabur, cair, dan menembus batas-batas konvensional.
Misalkan, bagaimana kita bisa memahami, aktivis kiri yang hobi ngopi di Starbucks, atau tokoh partai Islam yang mengoleksi parfum Dior? Apakah mereka lantas mengkhianati komitmen ideologisnya? Dalam kasus celana cingkrang, apakah hanya karena Novel Baswedan menggunakan celana cingkrang, lantas ia adalah anggota Islam radikal dan tidak kompeten menyidik kasus korupsi?
Tak gampang dan tak semua celana cingkrang, gamis, dan menumbuhkan bulu jenggot bisa dihubungkan dengan Islam radikal.

Suatu siang di pusat perbelanjaan saya pernah bertemu dengan seorang laki-laki mengenakan gamis sampai menutupi paha, dengan celana cingkrang. Sekilas penampilan laki-laki ini biasa saja. Setelah saya amati, saya kaget sekaligus kagum, laki-laki itu mengenakan sepatu Adidas keluaran terbaru yang kelihatan masih mulus sekali. Apakah otomatis laki-laki bercelana cingkrang itu "pemeluk" Islam radikal? Jika iya, mengapa ia memakai Adidas, produk Jerman yang sekuler itu? Mungkinkah menjadi seorang pemeluk Islam yang kaffah, tetapi tetap mencintai baju-baju H&M, berlangganan Majalah Vogue, membeli celana cingkrang di Uniqlo? Dunia hari ini memungkinkan itu semua.
Tren celana cingkrang tumbuh di Indonesia bersama dengan stigma ideologis tentang fesyen bagi seorang muslim. Mulai dari Islam radikal, terorisme, sampai antipati terhadap segala produk-produk industri modern demi menjadi seorang muslim yang kaffah. Stigma ini menutup perkembangan bahwa tren celana cingkrang juga adalah bagian dari geliat industri gaya hidup dan fesyen dalam merespons perubahan dalam masyarakat.
Celana cingkrang atau dalam istilah fesyen dikenal sebagai capri pantspertama kali dikenalkan oleh desainer Sonja de Lennart pada 1948. Aktris dan ikon fesyen Amerika Audrey Hepburn mempopulerkan celana cingkrang sebagai setelan gaya klasiknya dalam film Roman Holiday (1953). Sejak itu capri pants menjadi tren di berbagai belahan dunia. Di Asia capri pantsmenjadi tren khususnya lewat populernya K-POP. Cowok-cowok personel boyband Korea yang juga banyak menjadi idola orang-orang Indonesia sangat sering menggunakan celana cingkrang.
Harus diakui, celana cingkrang membuat gaya seseorang tetap terlihat rapi namun kasual dengan menggunakan perpaduan sepatu yang menarik. Selain itu potongan celana cingkrang juga berguna untuk menyiasati ukuran tubuh yang tidak terlalu tinggi agar tetap terlihat proporsional. Penilaian atas celana cingkrang sebagai simbol Islam radikal apakah mempertimbangkan unsur perkembangan industri gaya hidup ini?
Tidak Hitam-Putih
Memang ada doktrin keagamaan yang menganjurkan celana cingkrang bagi seorang muslim. Hal ini adalah salah satu sisi lain yang juga mempengaruhi perkembangan celana cingkrang sebagai bagian industri fesyen dan gaya hidup. Sebagai contoh, di Jogja ada brand fesyen lokal cukup besar bernama Urban SunnahBrand ini mengkhususkan produknya untuk kebutuhan seseorang yang ingin mengenakan niqab (cadar) atau celana cingkrang.
Sekilas dari namanya, Urban Sunnah memadukan pakaian muslim yang serba tertutup dengan kebutuhan fesyen kehidupan urban kontemporer yang sarat unsur desain dan potongan yang tetap fashionable. Urban Sunnah tidak hanya memproduksi pakaian, tetapi juga aksesoris mulai dari sarung gawai, tas jinjing, sampai pouch berhias desain ikon perempuan ber-niqab yang minimalis dengan perpaduan warna-warna dasar.
Apa yang dilakukan Urban Sunnah tidak bisa kita nilai sebagai upaya mempromosikan Islam radikal (semata). Di situ ada unsur bisnis, ada kreativitas fesyen yang cair dan mampu menerjemahkan ulang doktrin agama sesuai kebutuhan pasar gaya hidup urban. Secara tidak langsung popularitas Urban Sunnah di kalangan muslim menengah perkotaan adalah strategi yang bagus untuk mempopulerkan fesyen alternatif seorang muslim serta melawan stigma terhadap cadar dan celana cingkrang.
Selain Urban Sunnah, baru-baru ini desainer asal Indonesia yang berkarya di Jerman, Don Eretino mengeluarkan karya fesyen terbarunya berjudul Halal. Karya Aretino memang bukan untuk konsumsi industri. Gaya karya fesyennya yang memadukan konsep seni lukis dan dan fesyen sangat avant-garde. Ia membuat corak dan pola dalam kain yang mengambil inspirasi dari halaman pertama Alquran dan seluruh ornamen yang menyertai dalam teks tersebut.

Karya Aretino secara spesifik hendak merespons pengalamannya sendiri sebagai seorang muslim queer dari Indonesia. Pakaian besutan Aretino mengekspos bagian tubuh yang selama ini "diharamkan" dalam karya fesyen. Identitas queer yang distigma bertentangan dengan doktrin ideologis agama, lewat Halal dipadukan dan batas kaku ideologisnya dibuat mencair dan terlampaui. Aretino menegaskan dalam sebuah wawancara dengan freundevonfreunden.com, "Al-Quran ditulis sedemikian puitis dan saya pikir orang membuat kesalahan dengan mencoba menafsirkannya secara harfiah. Kamu harus membuat definisi sendiri untuk dirimu."
Contoh Urban Sunnah, dan karya Halal Don Aretino adalah bukti bahwa penilaian fesyen tidaklah hitam-putih dengan pandangan ideologis atau sikap politik. Ada kebutuhan industri gaya hidup. Ada kebutuhan mengutarakan sikap politik. Ada kreativitas manusia dalam berpakaian yang kadang semua itu lebih rumit daripada sekadar penilaian politis yang serampangan atas fesyen seseorang.
Fesyen tidak pernah salah, begitu pun memakai celana cingkrang juga tidak boleh disalahkan. Tetapi seorang (kandidat) doktor religion studies bisa salah. Jika kita mau sedikit saja keluar dari tempurung prasangka ideologis-politis, geografis, budaya, dan sosial yang membuat kita nyaman, maka stigmatisasi celana cingkrang yang hanya berdasar perbedaan ideologi dan pilihan politik seharusnya tidak pernah ada.
Apa yang bisa kita lakukan di tengah berbagai gelombang perubahan politik, tren fesyen, dan industri gaya hidup sekaligus kehendak untuk memeluk ideologi yang saling bercampur, membaur, dan cair? Bukankah seharusnya kita tidak mengulangi kejahatan tuan-tuan kolonial dengan berkata "sarung simbol manusia kelas dua" dengan mengubahnya menjadi "celana cingkrang simbol pemeluk Islam radikal"?

Kini setiap orang harus menemukan definisi ideologis untuk dirinya sendiri, sebagaimana kata Aretino. Saatnya merayakan fesyen, mengekspresikan diri, dan menemukan caramu sendiri memaknai ideologimu.

Danang T.P ; Tinggal di Yogyakarta, sedang melakukan penelitian tentang politik fesyen di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar