Siapa yang akan membela anak-anak yang bukan karena salahnya terlahir dari keluarga miskin, menjadi kurang terdidik, dan sulit mengakses pendidikan karena sistem pemeringkatan prestasi, serta akhirnya tetap terpuruk dalam kemiskinannya?
Saya rasa, tidak satu pun dari kita, sebagai warga negara Indonesia, senang jika keluarga-keluarga miskin tetap terpuruk dalam kemiskinannya. Salah satu cara memutus rantai kemiskinan ini adalah melalui pendidikan. Inilah esensi pemikiran dasar lahirnya kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi, yaitu memberikan keadilan dan persamaan hak memperoleh pendidikan, terutama bagi mereka yang terpinggirkan.
Mengapa menjadi polemik? Pertama, karena realitas memang tidak seindah mimpi. Kedua, pendidikan merupakan proses jangka panjang dan membutuhkan integrasi berbagai macam kebijakan. Ketiga, masyarakat belum sungguh-sungguh terlibat dan menjadi bagian yang bertanggung jawab terhadap tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Mimpi indah
Realitas di lapangan memang tidak seindah impian. Secara ideal, kebijakan zonasi akan berjalan dengan baik jika memenuhi beberapa prasyarat, yaitu semua sekolah memiliki mutu layanan pendidikan yang sama, seperti implementasi kurikulum yang baik melalui pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas, kepemimpinan sekolah yang baik, akses pendidikan memadai, dan ketersediaan transportasi ke sekolah. Pemerintah daerah, orangtua, dan masyarakat juga terlibat aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Jika prasyarat ini tidak terpenuhi, potensi masalah akan muncul.
Prasyarat ini tampaknya belum banyak terpenuhi. Akibatnya, orangtua tidak rela jika kebijakan zonasi diterapkan karena anak-anak mereka yang terpaksa bersekolah di sekolah pinggiran yang kurang berkualitas dan dikhawatirkan akan merugikan pendidikan si anak.
Anak-anak keluarga mampu memang lebih diuntungkan dalam PPDB selama ini karena mereka dapat memperoleh akses pendidikan ke sekolah bermutu melalui sistem pemeringkatan yang menyeleksi peserta didik berdasarkan nilai dan prestasi. Kalaupun tidak dapat masuk ke sekolah unggulan, orangtua masih mampu membayar di sekolah swasta bermutu untuk menjamin pendidikan anak-anak mereka.
Anak-anak keluarga miskin tersingkirkan melalui mekanisme PPDB berbasis prestasi ini. PPDB berdasarkan peringkat nilai jelas merugikan mereka, yang karena kemiskinannya tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik bahkan sejak dari rumah. Riset menunjukkan bahwa jika sejak dalam kandungan ibu si janin kekurangan asupan gizi, anak akan terhambat pertumbuhan otaknya yang berakibat pada tidak maksimalnya pertumbuhan fisik dan prestasi akademis mereka.
Mimpi memang tak seindah kenyataan. Untuk mewujudkan mimpi, dibutuhkan kerja. Menunggu sampai semua persyaratan zonasi terpenuhi artinya melanggengkan ketidakadilan, memperlebar jurang kemiskinan, dan membiarkan yang miskin semakin terpuruk.
Kebijakan zonasi merupakan salah satu usaha menggapai mimpi itu, yaitu agar anak-anak dari keluarga miskin dan prasejahtera dapat memperoleh akses pendidikan secara sama, berkualitas, dan dengan demikian mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Pro kontra kebijakan zonasi sebenarnya adalah persoalan apakah kita memiliki hati dan mau memperjuangkan hak-hak pendidikan secara adil untuk mereka yang miskin dan tersingkirkan.
Kemdikbud sudah tiga tahun ini menjelaskan bahwa kebijakan zonasi bukan sekadar proses penerimaan peserta didik baru. Kebijakan ini juga akan menjadi metode pengembangan sekolah secara merata, seperti peningkatan dan pengembangan kualitas guru, perbaikan sarana dan prasarana, serta prioritas anggaran. Karena itu, komitmen Kemdikbud pada kebijakan zonasi harus disertai dengan bukti nyata bahwa kebijakan keseluruhan kementerian mengarah ke sana.
Harus konsisten
Jika salah satu sasaran kebijakan ini adalah untuk mengubah persepsi masyarakat tentang sekolah favorit, kebijakan Kemdikbud harusnya konsisten dengan sasaran ini. Jangan lagi ada favoritisme dalam pengembangan guru melalui berbagai macam pelatihan dan pengalokasian peningkatan sarana prasarana.
Paradigma favoritisme ini tampaknya masih bercokol kuat dalam diri para pengambil kebijakan dan eksekutor dengan adanya model pelatihan berjenjang dan bertingkat, dengan model penggunaan dana hibah dan bantuan pemerintah. Sekolah yang dilatih dan terpilih, ya, itu-itu saja. Akibatnya, yang sudah baik menjadi semakin baik, yang lain tidak tersentuh.
Integrasi kebijakan zonasi juga mesti mempertimbangkan dan melibatkan sekolah swasta. Paradigma negerisentris (prioritas pada sekolah negeri) harus dihilangkan, sebab kuota sekolah negeri terbatas. Keterbatasan ini tidak harus selalu dijawab dengan mendirikan sekolah negeri baru karena akan mematikan sekolah swasta.
Ada banyak praksis PPDB merugikan sekolah swasta, misalnya ”penculikan siswa”. Pada semester pertama atau tahun pertama rombongan dari sekolah swasta pindah ke sekolah negeri. Ini harus dihentikan dengan cara mengunci data pokok pendidikan (dapodik) sekolah negeri agar tidak bisa semaunya dan sewaktu-waktu menerima murid pindahan dari sekolah swasta.
Di sini biasanya ada aroma kolusi dan pungli yang merugikan masyarakat. Di beberapa daerah, harga siswa pindahan dari SMA swasta ke negeri bisa puluhan juta rupiah! Sampai saat ini sekolah yang dikelola masyarakat tidak dilibatkan dalam kebijakan zonasi. Padahal, kebijakan zonasi tidak hanya terkait dengan peningkatan kualitas sekolah-sekolah negeri.
Jika swasta belum bisa dilibatkan dalam penerimaan murid baru, pemerintah bisa membantu dengan memberikan tenaga guru berkualitas, meningkatkan sarana, syukur-syukur sekolah swasta dan pemda dapat membangun perjanjian kerja yang menguntungkan kedua pihak. Entah dengan sistem subsidi silang atau beasiswa pemerintah untuk mengirim peserta didik yang tidak tertampung di sekolah negeri.
Partisipasi masyarakat
Kebijakan zonasi akan memberikan banyak dampak baik jika masyarakat dan orangtua juga mendukung. Sekolah-sekolah swasta yang dikelola masyarakat pun bisa ikut serta dalam kebijakan zonasi.
Saya membayangkan sekolah swasta elite di Jakarta yang baik kualitasnya dan secara ekonomi kuat, bahkan berkelimpahan, tentu dapat dilibatkan dalam zonasi. Apa sulitnya sekolah-sekolah seperti ini memberikan kuota 10 siswa dari anak keluarga miskin sekitar sekolah mereka untuk dapat belajar secara gratis melalui sistem subsidi silang?
Di mana kesediaan mereka untuk mau berbagi dan bermurah hati bagi anak-anak yang kurang beruntung ini? Saya yakin, orangtua murid pun jika diinformasikan kebijakan ini banyak yang bersedia menjadi orangtua asuh anak-anak kurang beruntung ini.
Indonesia adalah negara yang kaya, penduduknya ramah, dan masyarakat sesungguhnya murah hati. Karena itu, jika ada niat tulus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan disampaikan kepada masyarakat dan orangtua, banyak bantuan akan muncul. Inilah semangat gotong royong yang selama ini jadi kearifan bangsa Indonesia.
Mari mendukung PPDB berbasis zonasi sebagai kebijakan pendidikan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pendidikan, melalui integrasi berbagai kebijakan dan memperkuat partisipasi masyarakat.
Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan