Sabtu, 22 Juni 2019

Burka, Aturan Agama Apa?

Oleh : Soe Tjen Marching 
Dosen senior di Departemen Asia Tenggara, SOAS - University of London

Baru-baru ini, dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari London, saya bertemu dengan seorang wanita dari Timur Tengah di pesawat. Dia bercerita tentang bagaimana suaminya mengharuskan dia memakai burka, yang dianggapnya Islami. Memang, baju-baju burka juga menjamur di beberapa daerah di Indonesia karena dianggap sebagai simbol keislaman.
Namun hal ini justru mengingatkan saya kepada tradisi lain, yaitu tradisi salah satu sekte Yahudi bernama Haredi. Sekte Haredi yang mengharuskan para perempuannya memakai burka ini tinggal di Kota Beit Shemesh dan Safed di Israel. Busana yang seperti burka ini juga dikenal dengan nama frumka (kombinasi dari kata Yahudi, frum, yang artinya taat, dan burka).
Sekte Haredi percaya bahwa perempuan yang berbusana serba tertutup ini akan memperoleh keselamatan dan sekitar 3.500 tahun yang lalu, wanita-wanita suci dari kalangan orang Yahudi juga menutup tubuhnya sedemikian rupa. Mereka berpegang pada ajaran rabi Moses bin Maimon, yang pada abad ke-12 menyerukan wanita Yahudi harus berbusana sopan dan sederhana dengan menutup seluruh tubuh mereka ketika berada di depan umum.
Seperti juga bagaimana beberapa ulama dan peneliti agama Islam menolak adanya keharusan berburka, beberapa rabi Yahudi modern menolak interpretasi berbusana seperti ini dan berkata tidak ada ajaran seperti itu dalam agama Yahudi.
Budaya dan tradisi memang tidak lepas dari interpretasi dan perubahan. Namun, hampir selalu, interpretasi itu berada di tangan pemegang kekuasaan, yang biasanya kelompok patriarki. Karena itu, dalam tradisi-tradisi seperti ini, yang diributkan sering kali adalah baju perempuan dan keharusan bagi perempuan. Perempuan diwajibkan mematuhinya, tanpa peduli apakah keharusan ini membahagiakan perempuan tersebut atau justru menyiksa mereka. Namun tidak jarang budaya patriarkis seperti ini kemudian juga diadopsi oleh perempuan sendiri. Sekte Haredi, misalnya, digalang oleh seorang wanita bernama Bruria Keren.
Menarik juga untuk disimak bahwa pada awal 2016, beberapa anggota parlemen Mesir mencoba melarang burka dengan alasan busana ini bukanlah akidah agama Islam. Salah satu anggota parlemen, Amna Nosseir, yang juga seorang profesor ilmu hukum perbandingan di Universitas Al-Azhar, menyatakan menutup wajah bukanlah keharusan dalam Islam dan busana seperti ini justru berasal dari budaya non-Islami. Usaha parlemen Mesir ini gagal. Namun, dari kejadian ini, kita bisa melihat bahwa yang dianggap kaidah agama tertentu sering kali menjadi begitu berbeda pada tempat, waktu, dan masyarakat yang berbeda pula.
Budaya dan tradisi adalah proses yang selalu berevolusi seiring dengan waktu dan terkadang menjadi kancah perdebatan yang luar biasa. Apa yang dianggap sebagai simbol keagamaan di suatu tempat justru dianggap berbeda di tempat lain. Lalu mengapa masih ada keharusan-keharusan yang begitu membelenggu hanya demi sebuah interpretasi yang tak pasti? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar