Radikalisme yang ingin mengubah suatu sistem sosial politik dalam waktu singkat dengan cara ekstrem atau kekerasan telah merasuki perguruan tinggi. Badan Intelijen Negara, 2018, pernah merilis temuan mereka: 39 persen mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikan terhadap paham radikalisme.
Jelang pertengahan 2019, Direktur Riset Setara Institute mengungkapkan hasil kajian lembaganya: Sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham Islam radikal. Ke-10 PTN itu adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Mataram (Unram).
Menurut Setara Institute, ideologi radikalisme masuk dan tersebar pada 10 PTN di atas melalui kelompok keagamaan puritan dan eksklusif (Salafi-Wahabi, Tarbiyah, dan eks HTI) dengan corak kegiatan keislaman yang cenderung monolitik. Wacana yang disebarkan adalah propaganda bahwa keselamatan hidup pribadi dan bangsa hanya bisa diraih dengan ketaatan terhadap ”jalan Islam” atau Muslim kafah (kembali kepada Al Quran dan Hadis), Islam sedang terancam imperialisme Barat dan kaum Muslim sekuler, ajakan perang pemikiran untuk kejayaan Islam, serta konsep khilafah yang menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Melalui metode terstruktur, sistematis, dan masif, gerakan radikalisme berusaha menguasai lingkungan kampus dengan menyusup di organisasi mahasiswa, masjid, mushala, hingga asrama mahasiswa. Gerakan ini semakin mapan dengan sistem kaderisasi yang militan. Kampus menjadi target pergerakan untuk melahirkan generasi fundamentalis terdidik dalam ilmu umum, tetapi awam dalam ilmu agama.
Perkembangan radikalisme kemungkinan juga terjadi pada perguruan tinggi swasta. Fenomena  ini menjadi bahaya laten yang dapat merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus berpotensi mengancam keutuhan NKRI karena target penyebaran paham radikalisme adalah kaum intelektual calon pemimpin bangsa.
Suburnya radikalisme
Radikalisme tumbuh subur di perguruan tinggi karena beberapa hal.
Pertama, tingginya minat mahasiswa mulai mendalami agama. Tipologi mahasiswa seperti ini mudah terpapar paham radikalisme karena belum memiliki dasar pemahaman agama yang kuat.
Kedua, menurunnya semangat nasionalisme, terlebih sejak bergulirnya era reformasi dengan dihilangkannya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam penerimaan mahasiswa baru yang dulu dikembangkan era Orde Baru. Fenomena ini berimplikasi negatif terhadap lemahnya pemahaman nilai-nilai luhur Pancasila sebagai karakter kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga mudah disusupi paham radikalisme yang ingin mengganti Pancasila.
Ketiga, Revolusi Industri 4.0 membuat penyebaran informasi bebas dan tidak terkendali, sementara di sisi lain nalar kritis mahasiswa menurun dalam menyeleksi beragam informasi. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana informasi benar dan mana hoaks.
Fenomena ini sangat berkaitan erat dengan faktor keempat, yaitu minimnya kemampuan literasi dalam hal menganalisis dan mengkritisi informasi dengan mencari pembanding agar dapat menilai kebenaran secara obyektif, komprehensif, dan mendalam.
Kelima, minimnya keterlibatan mahasiswa secara terstruktur dan masif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan terkait minat dan bakat. Muncullah ruang kosong untuk paham radikalisme.
Keenam, minimnya kegiatan kampus yang bernuansa cinta Tanah Air dan bela negara dalam bidang kemahasiswaan (bidang non-akademik) serta kurikulum (bidang akademik).
Ketujuh, minimnya muatan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kegiatan pembekalan mahasiswa baru.
Kedelapan, minimnya pengembangan kegiatan kerohanian secara terstruktur dan terverifikasi di setiap tingkat.
Kesembilan, minimnya aturan beserta sanksi tegas bagi penyebar paham radikalisme  dan strategi yang efektif dalam penanganan sivitas akademika yang terpapar paham radikalisme.
Hal itu terkait erat faktor kesepuluh, yaitu kurangnya kontrol dari pihak kampus terhadap pergerakan kelompok-kelompok puritan yang eksklusif.
Mengatasi radikalisme
Untuk membentengi perguruan tinggi dari paham radikalisme, perlu kajian internal di setiap kampus untuk memetakan kondisi mahasiswanya. Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) serta Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 55 Tahun 2018 tentang pendirian Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi Bangsa (UKM-PIB) dinilai tepat, tetapi perlu diperkuat dengan berbagai strategi.
Strateginya adalah pengembangan kurikulum akademik dan kemahasiswaan yang terkait kegiatan keagamaan. Tujuannya untuk memetakan mahasiswa dan kelompok mahasiswa yang masih rendah pemahaman agamanya, memperkuat landasan ilmu agama sebagai benteng penolak paham radikalisme, serta mengatasi sejak dini bibit-bibit radikalisme yang mulai tumbuh.
Selanjutnya, mengembangkan kurikulum bidang akademik dan pembinaan kegiatan kemahasiswaan terkait cinta tanah air dan pendidikan bela negara. Harapannya, peningkatan jiwa nasionalisme membuat mahasiswa menghargai pluralitas dalam kehidupan kampus dan masyarakat. Perguruan tinggi bisa bekerja sama dengan berbagai institusi negara yang berkepentingan.
Pengembangan kurikulum yang sarat muatan cinta tanah air dan bela negara juga perlu dalam kegiatan pendidikan serta pelatihan tenaga pendidik dan kependidikan sebagai prasyarat promosi.
Pengembangan kurikulum dalam kegiatan pembinaan mahasiswa baru bisa dititikberatkan pada promosi dan sosialisasi kegiatan mahasiswa bidang iptek, seni budaya, dan kewirausahaan. Tujuannya menggali potensi setiap mahasiswa untuk mengembangkan minat dan bakat, sekaligus menutup ruang penyebaran paham radikalisme.
Perlu optimalisasi peran semua dosen dalam pembimbingan serta pengembangan kegiatan akademik dan kemahasiswaan, baik sebagai penasihat akademik maupun sebagai instruktur dan pembina kegiatan kemahasiswaan.
Hal lain adalah mengasah kemampuan literasi sivitas akademika, terutama mahasiswa. Tujuannya meningkatkan daya kritis terhadap segala bentuk informasi sehingga terhindar dari penyebaran hoaks, salah satu pintu masuk paham radikalisme.
Perguruan tinggi perlu menetapkan aturan dengan sanksi tegas bagi penyebar ideologi radikalisme di kampus. Ini menjadi dasar hukum bagi pengambil kebijakan pada setiap pelanggaran. Aturan perlu disertai pemantauan dan evaluasi pada setiap kegiatan akademik dan non-akademik di kampus.
Bangun kesepahaman seluruh sivitas akademika bahwa Pancasila telah disetujui kalangan Islam di Indonesia sebagai ideologi nasional karena sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Inilah yang mendasari keputusan Nahdlatul Ulama (NU) untuk menerima Pancasila sebagai ideologi negara karena menjadi cara umat Islam mengamalkan konsep tauhid dan syariah.
Namun, berbagai strategi di atas tidak akan optimal jika tidak diperkuat sistem pengelolaan perguruan tinggi yang baik dan dengan leadership kuat. Dengan demikian, terbangun komitmen secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam membentengi perguruan tinggi dari paham radikalisme.
Sebagian besar dari 10 strategi yang dibahas ini telah diimplementasikan
dengan baik oleh Universitas Islam Malang (Unisma) sebagai salah satu perguruan tinggi di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Unisma telah berkembang menjadi kampus multikultural.
Di antara aktivitasnya adalah pada setiap kegiatan kampus terdapat dua lagu yang wajib dinyanyikan, yaitu ”Indonesia Raya” dan ”Syubbanul Wathan” (Cinta Tanah Air) yang sarat makna. Selain itu, berbagai pesan bijak dari para ulama NU juga terpajang di berbagai ruang publik, termasuk tentang pentingnya Pancasila sebagai ideologi keindonesiaan.
Tidak ada salahnya jika Kemristek dan Dikti mau menjadikan kampus-kampus yang berhasil menekan laju penyebaran ideologi radikalisme sebagai kampus percontohan sehingga memicu kampus-kampus lain mengadopsi strategi serupa. Bahkan, jika diperlukan, keberhasilan ini bisa menjadi poin penting dalam penilaian kampus unggulan dan akreditasi institusi.