Politik kita akhir-akhir ini  bukan sekadar fenomena, melainkan enigma. Penuh misteri, sulit dinalar, banyak kelokan, dan terkadang tampil dengan kesimpulan tak terduga. Politik yang gaduh dengan aneka opini, tetapi kehilangan sentuhan ideologi.
Politik yang ramai kata-kata, tetapi tunamakna. Mungkin tak akan pernah memadai teori yang ditulis para pakar untuk meneropong dinamika politik negeri kepulauan.
Inilah penanda utama era ”pasca-kebenaran”, tidak hanya kepakaran yang lesap, tetapi akal sehat juga sering  lenyap. Agama tampil bukan sebagai kekuatan pengingat pentingnya hidup damai, melainkan justru dikomodifikasi untuk menahbiskan  bahwa mereka yang berbeda penafsiran adalan ”liyan” yang berhak mendapat predikat sesat.
Filsafat bukan lagi ibu ilmu pengetahuan yang dari rahimnya paling dalam lahir kebijaksanaan, tetapi berubah wajah menjadi kecakapan retoris sekadar  lontaran gagasan dangkal, partisan, murahan, dan pragmentaris. Filsafat seperti gerungan knalpot motor yang memekakkan telinga dan kita tidak mendapatkan apa-apa kecuali sekadar suara tak beraturan dan tidak koheren.
Memasuki masa  post-truth, kita dihadapkan pada sebuah zaman di mana politik tampil sebagai panglima. Nyaris tubuh biologis (dunia nyata) dan tubuh teknologis (maya) dikuasai  percakapan politik yang tak jelas ujung pangkalnya, tak terang titik komanya. Semua seperti sedang berebut mikrofon berbicara tidak karuan di depan mimbar yang dibikinnya sendiri dan dipanggul ke mana-mana.  Menjadi demagog tanpa harus memperhatikan data atau mempertimbangkan fakta. Kalau ada penelitian pada kualitas udara kita, kemungkinan besar telah hitam tercemar virus politik.
Saya jadi ingat waktu sekolah di aliyah (SMA) ada pelajaran Ulumul Hadis. Disebutkan bahwa sebuah hadis itu runtuh martabatnya dari kualitas sahih menjadi hasan, daif,  bahkan palsu (maudhu’) gara-gara  perawinya rajin berdusta.
Seorang kolektor hadis sudah tidak memercayai lagi periwayat tukang mancing karena dianggap sebagai kerja  mengelabui ikan. Mendustai ikan di kolam saja bisa merontokkan kredibilitas, apalagi sampai menebar kebohongan
Kalau persyaratan ketat hadis itu hari ini diterapkan, kemungkinan besar sudah tidak ada yang layak menjadi perawi. Jangankan meriwayatkan politik, bahkan menyampaikan pesan agama sekalipun sudah tidak patut justru ketika yang didakwahkan hanya pelintiran kebencian, narasi permusuhan, penjelasan kitab suci secara serampangan, bahkan doa juga dipaksa partisan. Saya menjadi miris ketika menyimak Youtube dari seorang yang kadung dinobatkan  ustaz, tetapi isinya hanya sumpah serapah, bicaranya ngawur, dan sama sekali tidak berdasarkan pada pengetahuan memadai.
Arsitektur masjid yang kebetulan berbentuk segitiga dianggap membawa  agenda  iluminati, gunung tiba-tiba harus dibelah antara kawasan laki-laki dan perempuan. Dari mulutnya tak ada kedalaman pengetahuan, tidak juga keteladanan mengagumkan. Dari tangannya tidak ditemukan karya tulis ilmiah, tetapi lebih banyak difungsikan untuk bikin status yang merusak perkawanan atau membagi (share) informasi batil. Lebih sedih lagi tidak sedikit umat yang mengundangnya dan memberikan tepuk tangan ketika cacian dihamburkan.
Pasca-keputusan MK
Pemilu telah selesai dan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan tidak ada kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang dalam Pilpres 2019. Harus lekas dikatakan bahwa dalam politik setelah pemilu diselenggarakan maka pemenangnya bukan lagi aku atau kamu, melainkan kita. ”Kekitaan” menjadi jalan bersama.
Hiruk pikuk yang menguras emosi dan energi tidak boleh berlanjut, saatnya bekerja, menata diri, dan menunaikan seluruh janji politik yang telah disampaikan kepada publik. Janji adalah utang dan pemimpin yang terpilih punya kewajiban moral untuk membayarnya. Publik punya kewajiban kepada pemerintah untuk mengawalnya dengan kritik dan mendukungnya ketika kebijakan  yang dikeluarkan bermanfaat bagi segenap rakyat.
Tidak ada yang buruk dengan politik selama diarahkan untuk sesuatu yang maslahat dan tegaknya keutamaan (virtue), menjadi negatif ketika mengerahkan muslihat atau disebut Paul Ricoeur politik jahat (a specifically political evil). Yang pertama (maslahat), ini yang dibilang filsuf Slavoz Zizek sebagai ”yang politik” (the political) yang berwatak metapolitik dan emansipatorik.
Semacam politik yang dijangkarkan di atas mahkamah kedaulatan akal sehat, kekuatan nurani, kesejahteraan umum, dan menjadikan kesederhanaan sebagai pandu dan pilihan hidup. Politik yang bukan sekadar persoalan etika (ethics), melainkan juga ”yang etis” (the ethical) seperti dibilang Emmanuel Levinas.
Politik sebagai poros transendensi menuju manusia otentik dengan membangun pertemuan-pertemuan konkret bersama orang lain lengkap dengan segala keunikan dan keragamannya. Politik yang mampu menyingkap (epifani) dusta sehingga segenap elite menjadi terang latar belakang, motif, termasuk hal ihwal yang disembunyikan yang diandaikan bisa merugikan kehidupan bersama.
Yang politik selalu bergerak  naik (upward) ke takhta  tinggi (the height), ke arah pengelolaan negara yang transparan, akuntabel, dan partisipatif yang memungkinkan demokrasi tidak berhenti sebatas elektoral, tetapi benar-benar menyentuh sisi substantifnya: mengalirkan kesejahteraan umum.
Politik yang dengan kuat menyuntikkan jejak (trace) sekaligus tanda (sign) untuk mewujudkan warga menjadi  subyek yang hidup (a living subject) sekaligus sadar (a conscious subject) dalam pengalaman berbangsa dan penghayatan bernegara yang utuh, inklusif, dan nondiskriminatif.
Kita dorong agar politik bisa menampilkan  wujud warga negara yang berdaulat  secara ekonomi (Hatta), aktif dalam napas massa (Tan Malaka), mengembangkan nilai kebaikan (Aristoteles), berporos pada keagungan akal (Descartes), dan kewajiban moral yang melekat pada dirinya (Immanuel Kant) serta tak pernah lupa bahwa dirinya sebagai individu  terkait secara sosial dengan yang  lain dalam sebuah jejaring kebangsaan yang semestinya disalurkan dalam etik gotong royong (Soekarno).
Pilpres 2019
Pemilihan presiden dan anggota legislatif sudah selesai. Yang terpilih akan mengelola negara selama lima tahun ke depan. Yang terpilih semoga amanah dan  tak dibebani endemi sejarah kelam, tegas memastikan bahwa negara akan selalu hadir berpihak pada kebenaran dan siap mengabdi untuk mewujudkan keadaban.
Tentu tidak ada orang sempurna, yang tak ada cacat sama sekali. Pemimpin yang sudah kita pilih bukan malaikat yang sepenuhnya benar, juga bukan iblis yang selamanya keliru. Pemilihan umum memberikan kemungkinan bahwa yang terpilih itu adalah mereka yang kesalahannya sedikit dan menyingkirkan yang catatan kejahatannya banyak. Maka, kontrol menjadi penting dalam rangka mengawal kaum pemimpin: kekeliruan dikoreksi dan kebenaran didukung.
Pilpres dan pemilu legislatif tak ubahnya permainan catur. Tidak perlu bikin keributan atau mengondisikan terus-menerus ketakutan. Semua sudah ada regulasinya. Yang menang tak jemawa, yang kalah tidak harus bikin daftar alasan. Terimalah sebagai suratan.
Juga tidak boleh diabaikan dan kita juga sangat paham bahwa melekat dalam politik dua hal dengan watak yang berbanding terbalik, yaitu tawa dan hoaks. Tawa biasanya dihasilkan dari humor cerdas yang akan menghasilkan suasana politik menjadi cair seperti dahulu dilakukan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid. Sebaliknya, manakala hoaks yang mendominasi, maka ini menjadi isyarat tentang peradaban politik masih digelayuti awan
gelap.
Asep Salahudin ; Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Suryalaya, Tasikmalaya; Pengurus Yayasan Odesa Bandung