JAKARTA, KOMPAS — China akan terus memperluas dan memperkuat kerja sama ekonominya dengan negara-negara di dunia dalam hubungan yang saling menguntungkan. Meskipun menjadi raksasa ekonomi dunia, China tetap tidak bisa lepas dari peran negara lain di dunia.
Hal itu disampaikan Wakil Eksekutif Presiden China Institute of International Studies Ruan Zongze dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (24/6/2019). Hadir juga di acara itu Wang Peng, Associate Research Fellow Chongyang Institute of Financial Studies, Renmin University of China, dan Li Lin, Direktur Islamic Studies di Institute of World Religions, Chinese Academy of Social Sciences.
Menurut Zongze, perang tarif antara AS dan China menjadi ancaman pertumbuhan ekonomi global dan menghancurkan apa yang
sudah berjalan selama ini. Rantai pasokan dan produksi global menjadi terganggu oleh perang tarif ini. Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diprediksi kian melambat jika tensi perang ekonomi AS dan China menguat.
Perang tarif di antara dua raksasa ekonomi tersebut tak hanya berdampak pada kedua negara tersebut, tetapi juga pada seluruh dunia yang tidak secara langsung terkait. Beban kenaikan tarif harus ditanggung eksportir, importir, dan juga konsumen.
Zongze menyebutkan, China bersama negara-negara di dunia berada di dalam perahu yang sama. Ketika badai ekonomi melanda, tidak ada satu pun negara yang lebih aman dari risiko, terlebih apa yang dilakukan AS merupakan kebijakan sepihak yang bertentangan dengan multilateralisme. Negara mana pun bisa menjadi sasaran penerapan tarif oleh AS, seperti halnya China saat ini.
”Perang tarif ini tidak akan membuat Amerika berjaya kembali dan meningkatkan perekonomian AS. Ini justru akan menyakiti kedua belah pihak juga negara lain,” kata Zongze.
Zongze mengatakan, meski AS menekan China melalui tarif, perekonomian China tetap stabil sebab digerakkan oleh konsumsi dan inovasi, bukan ekspor atau investasi. Permintaan dari pasar domestik meningkat. Konsumsi masyarakat China ini telah berkontribusi sebesar 76 persen terhadap roda ekonomi. Oleh karena itu, China merasa percaya diri dalam menghadapi perang dagang dengan AS.
Di tengah penerapan tarif sepihak oleh AS, China tetap menjalin kerja sama yang baik dengan sejumlah pihak, seperti Uni Eropa, Jepang, dan juga negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Uni Eropa kini menempati urutan pertama mitra dagang China.
Hubungan dengan Indonesia
Terkait hubungan dengan Indonesia, menurut Zongze, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu mempererat kerja sama dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kedua belah pihak. Kerja sama yang lebih komprehensif perlu terus dilakukan tidak hanya antarpemerintah, tetapi juga antar-pelaku usaha dan antarpenduduk.
Seiring dengan berubahnya lanskap ekonomi dunia saat ini, investasi sumber daya manusia harus disiapkan agar bisa bersaing pada industri masa depan, seperti kecerdasan buatan, mahadata, dan teknologi komunikasi 5G.
Salah satu contoh kerja sama konkret yang luas antara China dan negara lain, termasuk Indonesia, adalah Prakarsa Sabuk dan Jalan. Prakarsa ini menjadi pola kerja sama yang mempertemukan kepentingan negara-negara di dunia dengan China. Untuk meningkatkan kualitas kerja sama yang terbangun dalam skema prakarsa itu, kemungkinan besar ada pertemuan-pertemuan lanjutan setelah pertemuan beberapa waktu lalu.
Adapun terkait kebijakan self reliance yang dilontarkan Presiden Xi Jinping, Wang Peng menyebutkan, terlepas dari adanya perdebatan di kalangan politisi China soal ini, kebijakan ini hanyalah ilusi. Sebab, semua negara terhubung dalam rantai nilai dan rantai pasokan global sehingga hubungan yang terbangun adalah saling membutuhkan. ***