Rabu, 26 Juni 2019

Rabu 26 Juni 2019, 13:10 WIB

Kolom

Hukum dan Keadilan dalam Sengketa Pilpres 2019

Wiwik Budi Wasito - detikNews

Jakarta -
Unggahan dan tagar yang viral di lini masa media sosial hari-hari ini adalah tentang harapan, baik itu dari kubu Paslon 01 maupun Paslon 02, untuk memenangkan sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Yang menjadi pertanyaan sekaligus bahasan utamanya adalah apakah pengadilan berfungsi untuk memenangkan salah satu pihak atau untuk memenuhi kriteria "adil" itu sendiri?
Hukum dan Keadilan
Secara normatif, MK adalah salah satu lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU MK]. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Di sisi lain, untuk memenuhi kepentingan para pihak yang bersengketa, Penjelasan Umum UU 18/2003 tentang Advokat juga menyatakan bahwa melalui jasa hukum yang diberikannya, advokat menjalankan tugas dan profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.
Artinya, ada dua hal utama yang harus dijamin tegaknya di dalam persidangan MK yaitu hukum dan keadilan. Adapun "kemenangan" yang nantinya akan diraih oleh salah satu paslon sebenarnya hanyalah akibat hukum belaka dari suatu proses untuk menegakkan hukum dan keadilan itu sendiri.
Jika ditanya lebih lanjut, mana yang lebih penting: hukum atau keadilan? Tentu saja kedua hal itu sama-sama penting karena memang itulah amanah yang diemban oleh lembaga peradilan.
Dalam ikhtiar dan ijtihad untuk memenuhi kedua hal itu, dalam praktiknya, MK sejak Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang sengketa Pilkada Jawa Timur telah secara tegas menyatakan pendiriannya untuk tidak akan membiarkan aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice) apabila fakta hukum di persidangan menunjukkan bukti yang kuat dan serius bahwa telah terjadi pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang menodai proses demokrasi atau Pemilu yang mensyaratkan luber dan jurdil.
Artinya, titik tumpu utama Hakim Konstitusi untuk menegakkan hukum dan keadilan tetaplah harus berpijak pada fakta atau kebenaran yang tersaji di dalam persidangan yang berasal dari dalil beserta alat bukti yang diajukan oleh para pihak untuk menghasilkan kesimpulan dan keputusan.
Prosedur di atas hakikatnya adalah cerminan sekaligus pengejawantahan dari irah-irah yang tercantum pada halaman pertama, di bagian kepala putusan, yang menyatakan, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang sekaligus menjadi esensi lembaga peradilan yaitu untuk menjalankan perintah Tuhan menghadirkan keadilan di muka bumi dengan mendasarkan pada prosedur hukum yang berlaku.

Putusan yang Adil
Salah satu akibat buruk dari sengitnya kontestasi Pilpres 2019 adalah terciptanya persepsi kalah-menang yang hal ini juga berimbas pada bagaimana cara publik menilai jalannya persidangan di MK sehingga wajar jika publik bertanya tentang bagaimana MK akan menghadirkan putusan yang adil karena pada kenyataannya akan ada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa keadilan bukanlah tentang kalah-menang. Keadilan bukan pula sekadar tentang terpenuhinya "sama rasa-sama rata" atau tentang pendistribusian hak dan kewajiban secara proporsional, namun sekaligus menyangkut persoalan perilaku dan moral.
Titik terang datangnya keadilan sebenarnya sudah bisa diketahui sejak proses pendaftaran perkara di MK hingga berakhirnya persidangan yang semuanya berlangsung transparan. MK sudah menjalankan standar perilaku dan moral yang adil yaitu dengan memenuhi hak publik untuk dapat mengikuti persidangan yang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum itu dan bahkan karenanya publik pun bebas memberikan kesimpulan prediktif atas apa yang akan diputuskan oleh MK nantinya.
Tentu saja ada hal-hal yang harus dirahasiakan, khususnya tentang bagaimana proses pengambilan keputusan oleh para hakim, yang hal ini merupakan bentuk perlindungan dan penghormatan terhadap independensi hakim dan untuk menjaga marwah lembaga peradilan itu sendiri.
Di sisi lain, para pihak (termasuk publik), juga sepatutnya menunjukkan perilaku dan moralitas yang adil kepada MK sebagai lembaga yang berwenang memutus perselisihan (contentieus jurisdictie) dengan tidak mempropagandakan praduga yang mengarah kepada tuduhan belaka tanpa disertai bukti yang berdasar.
Sangat dimungkinkan ada pihak yang tidak puas terhadap putusan MK, terlebih bagi pihak yang nantinya akan diposisikan "kalah" akibat putusan MK tersebut. Namun, selama tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa hakim dan lembaga peradilan tersebut telah bertindak di luar koridor hukum, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi publik untuk menuduh adanya kecurangan dan keberpihakan dalam proses persidangan sehingga publik pun harus belajar untuk berlapang dada menerima apa pun hasil keputusan tersebut.
Sementara itu, demi tegaknya hukum dan untuk memenuhi rasa keadilan, dalam putusannya MK tentunya diharapkan mampu menguraikan suatu pertimbangan hukum secara jelas, terperinci, dan tuntas terhadap semua dalil yang dipersoalkan supaya tidak hanya memastikan siapa yang layak menjadi Paslon terpilih, namun sekaligus memberi petunjuk yang terang dan jalan yang lapang bagi perbaikan sistem Pemilu ke depan. Semoga.

Wiwik Budi Wasito ; Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PIHAK) Indonesia, mantan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi, kini mengajar di Fakultas Syariah UIN Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar