Minggu, 30 Juni 2019

LUKA BANGSA
Oleh : 
Sabtu, 29 Juni 2019 07:00 WIB

Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa yang memenangi pemilihan presiden adalah pasangan 01, apakah perseteruan dua kubu yang begitu panjang akan berakhir? Perlu waktu. Perlu kearifan pemimpin kedua kubu. Joko Widodo memang sudah mengajak orang melupakan 01 dan 02. Adapun Prabowo Subianto bisa menghormati keputusan MK. Tapi keduanya tidak saling bertegur sapa dalam pernyataannya. Misalnya, yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang, sebagaimana tradisi politik di negara maju.
Masih ada luka. Sepuluh bulan perseteruan kedua kubu bukan waktu yang singkat. Jika dirunut, benih lukanya bahkan ada sejak pemilihan presiden 2014, karena tokoh yang bertarung sama dengan pemilihan presiden 2019. Hanya wakilnya yang berbeda.
Fanatisme pendukung semakin mengental pada tarung ulang. Semakin brutal cara untuk saling menjelekkan lawan. Muncul istilah cebong untuk mencemooh pendukung 01, yang segera dibalas dengan kampret bagi pendukung 02. Yang mengucapkan istilah itu bukan cuma anak tanggung atau pemakai akun anonim di media sosial, melainkan juga sebagian politikus, bahkan kalangan terdidik. Padahal orang tahu, cebong dan kampret merupakan sebangsa hewan, yang menurut ajaran agama apa pun adalah makhluk yang lebih rendah daripada manusia. Kenapa kita saling menghinakan diri?
Luka bangsa itu harus segera dibalut. Ini pekerjaan rumah untuk semua anak bangsa-kata-kata ini sangat digemari oleh Amien Rais, tokoh yang berencana menggelar tahlilan untuk kekalahan Prabowo-Sandi. Pekerjaan rumah juga untuk Jokowi yang akan mengendalikan republik ini lima tahun ke depan. Jokowi tak cukup mengajak melupakan 01 dan 02, tapi harus mengajak pendukungnya untuk memberi teladan bagaimana menerima kekalahan dengan ikhlas, legowo kata orang Jawa.
Menerima kekalahan tidak segampang yang diminta pihak yang menang. Mari kita lihat kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang dimenangi oleh Anies Baswedan, calon yang diusung kubu Prabowo. Pendukung Ahok, yang sama sebangun dengan pendukung Jokowi, tetap meradang bahwa pemilihan itu penuh kecurangan dan tidak beradab. Mereka menuduh rakyat dihantui teror neraka-surga, penuh intimidasi, dan seterusnya. Sampai kini Gubernur Anies menjadi bulan-bulanan ejekan di media sosial oleh pendukung Ahok, apa pun yang dikerjakannya. Langkah Anies memang perlu dikritik, tapi tidak harus semua tindakannya dianggap salah. Lalu apa bedanya ketika kubu 02 menuduh dan yakin pemilihan presiden kali ini juga curang, aparat negara mengintimidasi pemilih, petahana memanfaatkan jabatan, dan seterusnya? Podo wae, kata orang Tegal. Semuanya tidak ada yang sesungguhnya ikhlas jika dalam posisi kalah.
Luka tak akan kering jika hanya dibungkus dengan pembalut tanpa isi, tanpa revolusi mental yang mengubah cara berpikir kita. Tak cukup pula mengajak rekonsiliasi, yang diartikan sebagai "kamu bergabung, saya kasih kursi". Kalau selesai dengan membagikan kursi lalu semua pada duduk menikmati kue, siapa yang mengawasi kesalahan cara duduknya jika tak ada yang berdiri? Semua orang punya tugas dan kewajiban yang bisa berbeda dan itulah yang membuat keseimbangan, ini petuah Krishna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita. Jokowi memang harus merangkul lawan politiknya dan mengayomi seluruh rakyat karena dia bukan presiden kubu-kubuan lagi. Namun dia harus tetap memberi posisi terhormat kepada lawannya untuk mendapat kritik agar dia tidak seenak udelnya bertingkah.
Lukamu adalah lukaku, luka bangsa yang harus kita obati bersama. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar