Jumat, 28 Juni 2019

Jumat 28 Juni 2019, 12:56 WIB

Kolom

Menunggu Replika Politik Pasca-Putusan MK

Umbu TW Pariangu - detikNews


Jakarta - Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk palu keputusannya pada 27 Juni, saatnya lonceng rekonsiliasi dalam optik kepentingan kolektif-bernegara dibunyikan sekuat-kuatnya. Semua elite yang selama ini berjubahkan perbedaan politik hendaknya segera melangkah ke dalam ruangan rekonsiliasi. Segala kebisingan politik dukungan dari mesin kontestasi pilpres harus dihentikan lewat unjuk kebijaksanaan para elite untuk rujuk, menyejukkan kembali suasana politik.

Pihak yang dinyatakan menang tak perlu jumawa berlarut-larut, sedangkan yang kalah pun tak perlu berkecil hati. Karena esensi politik bukan diksi menang-kalah yang diabadikan, tetapi nilai-nilai kebaikan bersama: inklusivitas dan kedewasaan berpolitik sebagai warisan bagi peradaban politik kita. Politik adalah alat untuk mengabadikan manusia. Persisnya, internalisasi nilai-nilai humanitas itu yang perlu dikonstruksi dalam interaksi berpolitik. Bukan pementingan ambisi individu, kelompok, bahkan sikap ultra-irasional yang memistikkan politik identitas dengan segala sentimennya.

Seandainya benang-benang kohesi mampu dipintal para elite, kita yakin segala perbedaan sikap dan tensi sosial-politik yang meninggi di masyarakat selama ini akan mereda. Sebenarnya moralitas perdamaian tersebut sudah "terakreditasi" oleh berbagai pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh politik belum lama ini. Misalnya kunjungan Putra Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) ke Presiden Joko Widodo, dilanjutkan dengan menyambangi Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, termasuk BJ Habibie dan istri mendiang Presiden ke-4 RI Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid.

Pembuktian Ucapan

Pertemuan tersebut setidaknya akan mengalirkan "adrenalin" kerendahan hati bagi para politisi yang lain untuk merekatkan kembali persaudaraan. Yang kita tunggu sekarang bagaimana Joko Widodo-Prabowo Subianto berjabat tangan dan berpelukan mesra di panggung politik. Dua entitas yang menentukan eskalasi politik nasional ke depan tersebut tentu tidak akan tega membiarkan ujung dari tahapan kontestasi pilpres menjadi tumpul dan hambar hanya karena keegoan dan ketidakikhlasan menghormati hasil pemilu.

Apalagi dalam epilog mereka di kampanye pilpres, 30 Maret, Jokowi dan Prabowo mengakui di antara mereka sudah terjalin ikatan persahabatan yang kuat melampaui kepentingan politik sesaat. Prabowo pada kesempatan itu bahkan menyatakan kepada kubu pendukung Jokowi-Maruf bahwa tidak ada rasa benci sedikit pun dalam dirinya terhadap lawan politik. "Kita berjuang untuk rakyat bersama-sama, biarlah rakyat yang menentukan yang terbaik untuk bangsa."

Kini, rakyat sudah menentukan hasilnya. MK juga sudah memutuskan kebenaran hukum dari sengketa pilpres. Rasanya tak ada lagi hambatan serius bagi dua tokoh hebat ini untuk membuktikan ucapan mereka kemarin.

Penentuan apa yang benar itu memerlukan penentuan perdamaian terus-menerus dan upaya mereduksi konflik sebagai instrumen politik. Kebenaran yang hakiki yang bisa diinterpretasi sebagai nilai yang "abadi" bagi kemaslahatan publik hanya bisa diraih jika ada kedamaian (rekonsiliasi).

Persoalannya kemudian, sejauh mana rekonsiliasi kelak dimaknai sebagai cara untuk membangun keutuhan bangsa dan untuk memproyeksikan nasib Indonesia lima tahun ke depan yang lebih progresif. Kita tak ingin rekonsiliasi yang terwujud itu dimaknai secara transaksional dengan strategi power sharing, alias sekadar deal-deal jabatan. Kalau itu yang terjadi, maka kekuatan oposisi yang dibekingi partai-partai pendukung Prabowo pasti akan kempis.

Yang dibutuhkan saat ini bukan saja kondisi pemerintahan yang stabil dan kondusif, tetapi juga kontrol yang sehat terhadap kekuasaan agar check and balances dalam pemerintahan tidak lenyap. Hanya ini yang akan membuat demokrasi kita tumbuh kuat.

Tidak Melenceng

Kita tetap butuh partai oposisi sebagai barisan untuk memastikan agar pemerintah tidak melenceng dari rel konstitusi dan prinsip kedaulatan rakyat. Sebagus apa pun proyeksi kita terhadap suatu pemerintahan, yang namanya kekuasaan akan cenderung korup. Jika kita mencintai pemerintahan dan menginginkan pemerintahan tersebut memberi kontribusi yang efektif dan maksimal terhadap masa depan dan kesejahteraan rakyat, maka jangan pernah membiarkan ia meniti zona nyamannya di tengah kumpulan politisi "yes man".

Kalaupun demi percepatan rekonsiliasi, strategi "siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana" harus dikedepankan, maka realisasikan strategi tersebut bukan di domain eksekutif atau di BUMN, tetapi di domain legislatif, dengan memperbesar porsi barisan oposisi di posisi penting di parlemen. Dengan demikian nalar kritis di parlemen bisa tetap bergaung untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, kita ingin partai pendukung Prabowo menggenggam kuat-kuat insentif moralnya terkait marwah dan harga dirinya, untuk tidak mudah terpikat pada silaunya kue politik di eksekutif. Rakyat tentu akan menilai dengan mata telanjang, bagaimana konsistensi mereka dalam melanggengkan prinsip berpolitik yang sehat dan demokratis, sebagaimana yang menjadi jualan politik mereka selama ini.

Memang ini menjadi tantangan tersendiri bagi prospek koalisi pasca-pilpres. Di tengah sistem presidensial murni yang berlaku, ditambah lagi perilaku parpol yang miskin ideologi dan office seeking minded, keinginan untuk "mengisap" hampir semua kekuatan politik demi mendapatkan mayoritas dukungan politik, dan keinginan untuk mendekat pada kekuasaan, tentu akan terus membesar. Taruhannya bisa jadi adalah kabinet pemerintahan yang nir-teknokratis alias medioker yang akan merintangi kerja pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Pada konteks inilah kita menunggu replika politik seperti apa yang mau dibuat oleh para elite. Apakah model politik yang kaya insentif pragmatis semata atau benar-benar ingin menghadirkan praktik politik "kelas tinggi" yang digawangi oleh prinsip rasionalitas, akal sehat, kebijaksanaan tanpa mau dijajah oleh nafsu-nafsu politik yang berkeliaran, untuk mengedepankan kehidupan demokrasi yang lebih sehat dan mengabdi pada kemaslahatan publik. Panggung demokrasi Indonesia rasanya akan menjadi elegan, terhormat, dan akan selalu teresap dalam sejarah jika replika itu yang dibangun.

Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar