Pasar dan organisasi hierarkis, termasuk badan-badan usaha, mewakili struktur tata kelola alternatif dengan pendekatan yang berbeda-beda dalam mengatasi benturan kepentingan (Oliver Williamson, peraih Nobel Ekonomi 2009).
Berangkat dari pemikiran Williamson tersebut, perlu dikaji pendekatan institusional dalam rangka mencari solusi mahalnya tiket pesawat terbang yang boleh jadi mengindikasikan masalah yang lebih besar, yakni krisis industri penerbangan.
Merunut kembali kronologinya, masalah berawal dari naiknya kurs dollar AS, terutama akibat perang dagang AS-China. Dua raksasa ekonomi dunia bertarung, rupiah pun terjepit di tengah. Sampai saat ini, kurs dollar AS tak mau kembali ke posisi Rp 12.600 per dollar AS seperti pada Januari 2015 dan terus bertahan di atas Rp 14.000. Terdepresiasinya rupiah menyebabkan biaya leasing terus membengkak. Harga avtur pun bergeming secara signifikan. Berharap harga avtur turun ke titik terendah Rp 5.490 per liter seperti pada Januari 2015, kini bak pungguk merindukan bulan, kendati BBM ini sejak Mei 2019 tidak impor lagi.
Bukan itu saja, sejak 2016, nyaris semua maskapai, termasuk dua pemain utama, Garuda dan Lion, mengalami rugi operasional. Kondisi tak kondusif atau double negative. Maskapai rugi, konsumen juga rugi. Pada titik ini, bukan duopoli yang jadi biang keladi. Berbeda masalahnya jika maskapai dalam posisi untung besar dan konsumen rugi. Terlebih struktur industri jasa penerbangan yang duopolistik ini menghadapi pasar input, yakni avtur yang juga monopolistik. Jika pasar input dan output sama-sama tak efisien, malapetaka bagi dunia bisnis penerbangan Indonesia.
Pasar memang bereaksi terhadap mahalnya harga tiket pesawat. Sesuai hukum demand-supply, mahalnya harga tiket diikuti turunnya jumlah penumpang. Ini terlihat pada musim mudik Lebaran tahun ini, jumlah penumpang hingga H-2 anjlok 21 persen daripada tahun lalu. Namun, solusi pasar ini tak serta-merta memuaskan masyarakat yang kehilangan akses terhadap penerbangan yang terjangkau oleh ukuran kantongnya dan sektor pariwisata yang ikut menjerit.
Padahal, konektivitas udara berperan amat strategis dan vital untuk negara kepulauan sebesar Indonesia, baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun pihak swasta. Dalam catatan kita, beberapa maskapai telah berguguran, termasuk Mandala Airlines yang bangkrut tahun 2011 sebagai satu-satunya maskapai swasta yang pernah memperoleh sertifikat keselamatan dari IATA, disusul dengan Batavia Air (2013) dan Merpati Airlines yang berhenti operasi 2014.
Pengalaman Jepang
Salah satu maskapai berkelas dunia, seperti Japan Airlines (JAL), pun pernah mengalami situasi pailit tahun 2009-2010. Merespons krisis finansial, termasuk dalam industri penerbangan saat itu, Pemerintah Jepang membentuk ETIC (Enterprise Turnaround Initiative Corporation of Japan) tahun 2009 untuk membantu korporasi yang mengalami kesulitan. Separuh penyertaan modal ETIC (10 miliar yen) berasal dari Pemerintah Jepang dan sisanya dari ratusan korporasi swasta. ETIC kemudian menyetujui proposal permintaan bantuan dari JAL dan menunjuk Kazuo Inomuri, seorang biksu, sebagai CEO baru. Inomuri bahkan bersedia bekerja tanpa digaji.
Upaya penyelamatan JAL berlangsung dalam semangat ”Japan Incorporated”. ETIC menyuntikkan dana setara 10 miliar dollar AS agar JAL terus beroperasi di bawah perlindungan kepailitan. Sejumlah kreditor, khususnya perbankan Jepang, bahkan rela memutihkan utang setara 8 miliar dollar AS.
Berbagai langkah diambil oleh sang biksu demi menyelamatkan JAL, mulai dari merumahkan ribuan karyawan, mengurangi rute penerbangan, memotong gaji, hingga menghapus armada jenis jumbo. Sejumlah aset lain, termasuk hotel, dijual. Selain itu, menciutkan organisasi induk di tingkat holding dan di tingkat anak perusahaan.
JAL pun menjalin kerja sama dengan American Airlines dalam menggarap rute-rute di wilayah Pasifik dengan tarif relatif rendah. Akhirnya, pada 2012, JAL kembali listing dan mampu membukukan keuntungan bersih sebesar 200 miliar yen.
Kebangkrutan JAL tahun 2010 terjadi akibat inefisiensi dan tingginya kompetisi dengan maskapai domestik lainnya, terutama All Nippon Airways (ANA). Ketika itu, kendati citra JAL sebagai maskapai berkelas dunia, ternyata berkebalikan dengan kinerja finansialnya. Layanan kelas satu yang ditawarkan ternyata disertai situasi ”besar pasak daripada tiang” dan menumpuknya utang hingga setara 25,6 miliar dollar AS. Ekspansi bisnis yang ambisius pada sektor di luar industri penerbangan, yakni properti (perhotelan), termasuk di AS dan Indonesia, hanya memperburuk kinerja finansialnya.
Skala organisasi terlampau gemuk. Sebelumnya, pukulan telak secara bertubi-tubi menghantam JAL, mulai dari krisis ekonomi dunia 2008 hingga wabah flu burung/flu babi yang menyurutkan jumlah penumpang.
Berubah atau mati
Maka, ketika dihadapkan pada pilihan ”berubah atau mati”, mau tak mau JAL harus berubah. JAL memang berubah dan berkibar kembali berkat semangat ”Japan Incorporated”.
Pengalaman Jepang ini menjadi pelajaran berharga bagaimana semangat ”Japan Incorporated” mampu membangkitkan kembali ikon penerbangan nasional Jepang yang secara faktual telah sekarat berat. Banyak pihak bersedia berkorban demi menyelamatkan JAL. Pelajaran lainnya bahwa tarif penerbangan yang rendah ternyata tak selalu tercipta dalam setting kompetisi, tetapi melalui setting kerja sama.
Kini, situasi penerbangan nasional kita memasuki fase kritis akibat kondisi kurang kondusif dan kerugian terus-menerus sejak 2016. Masalah ini membutuhkan solusi dengan semangat kebersamaan dalam kerangka ”Indonesia Incorporated”. Nilai-nilai kegotongroyongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, dikenal sebagai kearifan khas bangsa Indonesia dalam mengatasi masalah. Mengapa kita tidak mencoba mencari solusi melalui jalur ”kultural” ini?
Komitmen untuk berbenah dan meningkatkan efisiensi tentu bukan hanya menunjuk pada maskapai penerbangan, melainkan juga institusi-institusi yang mengelola BBM, bandar udara, dan navigasi udara beserta kementerian-kementerian terkait, termasuk yang menangani masalah fiskal. Segenap pemangku kepentingan perlu bahu-membahu dalam semangat ”Indonesia Incorporated” demi solusi terbaik, yang jika dipandang mendesak dilembagakan, kendati tidak bersifat permanen.
Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB UGM dan Staf Khusus Menhub