Senin, 24 Juni 2019

Merawat Tradisi Bermaaf-maafan

Penulis: Khoiruddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma JakartaPada: Senin, 24 Jun 2019, 06:10 WIB OPINI

BELUM lama Idul Fitri yang identik dengan tradisi bermaaf-maafan dirayakan. Kebersihan hati, sebagai hasil dari puasa sebulan penuh, rupanya memudahkan orang untuk saling memaafkan. Dalam pergaulan di kampung dan di kantor, banyak pencinta amarah telah berubah menjadi pemaaf. Sebuah suasana yang selalu dirindukan setiap insan; damai dan sejuk.
Pernahkah kita sedemikian kesal dengan seseorang sehingga melihatnya saja telah membuat kita marah? Mungkinkah perbedaan pilihan politik telah menyihir kenang­an perbedaan ideologi yang tidak menyenangkan? Kita telah mendengar nasihat klise--maafkan dan lupakan saja, yang lalu biarkan berlalu, yang sudah ya sudah--tetapi entah bagaimana kita sulit melepaskannya?
Kita semua mengalami kon­flik, perselisihan, atau perbedaan pilihan dengan orang lain. Ini merupakan bagian normal dari hubungan antarpribadi. Siapa pun tentu tidak bisa berharap selalu melihat orang lain berlaku sama dengan kita. Perbedaan itu menyakitkan, bagi pribadi yang belum matang secara emosi. Namun, bagi mereka yang lebih dewasa, perbedaan akan dipandang sebagai rahmat, anugerah kemanusiaan yang membuat hidup menjadi lebih dinamis dan produktif. Perbedaan itu menggairahkan.
Marah versus maaf
Ketika orang tidak sepakat, reaksi pertama yang sering muncul ialah marah. Amarah merupakan perasaan sangat tidak senang atau berang karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan sebagainya. Berkubang dalam kemarahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun tentu tidak sehat. Kemarahan berkepanjangan tidak saja buruk bagi kesehatan tubuh, tetapi juga bagi bangunan harmoni sosial-politik kebangsaan.
Pengalaman menunjukkan cukup sering orang yang membuat kita marah tidak peduli. Mereka tetap melanjutkan hidup sebagai mana biasa, sedangkan kita masih terjebak dalam keadaan emosional yang tidak sehat dan negatif. Memahami arti memaafkan bisa membuat proses ini lebih mudah.
Hal yang perlu dilakukan kemudian ialah usaha untuk memahami orang atau keadaan yang akan kita maafkan dan situasi di seputarnya. Bisa jadi orang yang membuat kita kesal sebenarnya tidak bermaksud melakukan se­suatu yang buruk. Kebiasaan berburuk sangka dapat memperburuk keadaan. Sebaiknya tanyakan pada diri sendiri, apakah ­orang ini benar-benar berniat menyakiti saya dengan cara apa pun?
Beberapa orang berperilaku tidak tepat karena memang mereka tidak tahu cara lain yang lebih baik. Mungkin di sepanjang perjalanan hidupnya orang ini melalui kehidupan dengan melewatkan beberapa pelajaran berharga. Hal demikian dapat disebabkan sejumlah faktor, termasuk kurangnya model peran yang dapat diandalkan, pola pengasuhan yang tidak tepat, dan minimnya pendidikan atau sumber daya. Menghadapi situasi seperti ini biarkan diri kita beroperasi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Maafkan dan lanjutkan kehidupan.
Memaafkan seseorang tidak berarti kita harus menjadi teman terbaik atau menghabiskan waktu bersamanya. Bahkan, dalam beberapa kasus,  mungkin saja lebih baik menjauhkan diri dari yang bersangkutan. Secara konseptual, memaafkan lebih tentang melepaskan perasaan negatif. Melepas perasaan ini secara permanen dapat menyembuhkan luka emosional serta menyebabkan kita mudah ber­gerak maju dan menemukan kedamaian yang mendalam. Sebaliknya, dendam berlama-lama akan menimbulkan lebih banyak kerusakan pada diri sendiri daripada orang lain.
Spiritualitas sejati
Perkembangan spiritualitas seseorang bukan karena aturan baku agamanya, melainkan lebih berdasar pada subjektivitas penghayatan tiap-tiap individu, ketika memahami fenomena kehidupan. Dengan demikian, di lapangan akan senantiasa muncul ekspresi spiritual dengan wajah yang berbeda-beda karena memang tidak ada penghayatan spiritual yang baku. Tidak mengherankan jika kita melihat ekspresi spiritualis yang tidak seragam dari pemeluk agama yang sama. Ada yang memilih wajah garang, ada yang lembut-menyejukkan. Ada yang mengambil jalan destruktif, berlaku rusuh, tetapi tidak sedikit yang lebih mengedepankan tindakan konstruktif dan menghadirkan solusi.
Dari semua pengalaman tradisi spiritualitas agama-agama, bila ditarik benang merahnya, akan diperoleh beberapa kesa­maan-kesamaan misi utamanya, yaitu misi transendental dan horizontal. Spiritualitas sebagai penghayatan individu akan makna hidup memiliki dua komponen; vertikal-transendental dan horizontal. Komponen vertikal ini merupakan hasrat untuk melampaui ego sendiri. Komponen vertikal ini biasanya dikaitkan dengan Tuhan, jiwa, alam semesta, atau kekuatan tertinggi. Sementara itu, komponen horizontal ialah hasrat untuk melayani orang lain dan semesta. Komponen horizontal dari spiritualitas seseorang umumnya ditunjukkan melalui tindakan nyata. Ada kesedia­an untuk memperhatikan dan melayani orang lain.
Capaian spiritualitas se­seorang sebenarnya dapat dilihat dari kemampuannya mengendalikan diri. Setidaknya terdapat tiga level; pemarah, penyabar, dan pemaaf (QS 3:134). Kini sering terde­ngar pandangan yang tidak tepat, marah dipandang gagah. Pemimpin harus bisa marah agar berwibawa. Pandangan demikian tentu tidak memiliki basis yang kuat dalam tradisi agama mana pun. Marah ialah ekspresi orang yang paling tidak sanggup mengendalikan diri dan ini merupakan level terendah. Pemimpin seharusnya memiliki kualifikasi ter­tinggi, bukan terendah.
Pada level kedua, karena yang bersangkutan sudah banyak belajar dari kehidupan, orang sudah sanggup menahan amarah. Dengan kata lain, sudah dapat bersabar. Perasaan tidak suka atau keinginannya untuk marah, telah dapat ditahan. Kemampuan ini sangat diperlukan agar tujuan jangka panjang dapat terus diperjuangkan. Ketidaksabaran dalam menghadapi perkembangan situasi sering kali menyebabkan terjadinya pengambilan keputusan yang tidak akurat. Itulah sebabnya mengapa banyak orang yang lebih suka menjelaskan apa yang hendak dikerjakannya daripada benar-benar mengerjakannya hingga berhasil. Pribadi yang sabar dan akun­tabel, berani memutuskan, serta mengambil tanggung jawab 100% atas pekerjaan dan komitmennya.
Adapun level yang paling tinggi ialah pemaaf, pribadi yang mudah memaafkan ­orang lain. Penelitian terbaru menunjukkan, memaafkan itu sehat. Para peneliti juga telah menemukan, ketika se­seorang memaafkan, mereka mengganti perasaan negatif dengan yang positif. Perasaan positif ini dapat mengurangi permusuhan dan stres, yang mengurangi risiko masalah jantung dan penyakit lain yang terkait dengan stres. Perasaan negatif memang menciptakan stres, yang merupakan penyebab utama sebagian besar penyakit fisik dan mental.
Bahagianya memaafkan
Sebenarnya terdapat sejumlah langkah yang harus kita ambil dalam menjalani kehidupan agar lebih dekat dengan peri kehidupan sehat yang membahagiakan. Ketika kita mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan, dalam mengejar kebahagiaan, mungkin ada saat-saat ketika kita merasa berhasil, mendapatkan apa yang diinginkan.
Enright (2001) berpendapat, memaafkan itu suatu skill. Semakin sering dipraktikkan, semakin mudah bagi pelakunya untuk memaafkan. Banyak penelitian menunjukkan, memaafkan itu sangat bermanfaat untuk melepaskan belenggu pikiran dan perasa­an yang mengikat seseorang dengan pelaku atau sesuatu yang menyakitinya. Keadaan demikian dapat membantu individu untuk menghilangkan perasa­an negatif yang ada pada dirinya sehingga yang bersangkutan lebih dapat merasakan kebahagiaan. Semoga tradisi bermaaf-maafan tidak hanya terjadi di hari raya Idul Fitri, tetapi juga terus berlangsung setiap hari, sebagai ekspresi spiritualitas sejati. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar