Pada suatu sore saya berkenalan dengan seorang manajer sebuah perusahaan raksasa. Saat pertama kali kami berkenalan, ia memasang air mukanya yang tak bersahabat dan matanya tak memandang saya. Sisa pertemuan itu hanya diwarnai dengan menyaksikan tabiatnya yang sangat mengesalkan.
Predikat
Dalam perjalanan pulang, saya berbicara dalam hati. Mengapa ada orang yang berperilaku tak menyenangkan kepada sesamanya. Apakah begitu sulitnya berperilaku ramah? Apakah rumitnya punya hati yang baik? Apakah begitu susahnya untuk tak mengeluarkan kata-kata yang menyindir? Apa keuntungannya mempunyai sifat keras kepala?
Saya tak membayangkan bagaimana anak buahnya dapat bekerja di bawah kepemimpinan yang seperti itu. Tidakkah hari-hari mereka seperti neraka rasanya. Apa kesan dan pesan yang dikehendaki orang semacam itu? Apakah mereka ingin orang tahu bahwa mereka adalah produk seorang anak manusia yang tersakiti?
Apakah mereka ingin orang tahu bahwa mereka adalah manusia yang tak berbahagia? Apakah mereka ingin mempunyai tujuan untuk ditakuti sesamanya? Apakah mereka sejujurnya tak mengerti artinya disegani? Apakah mereka ingin dihormati karena selama ini mereka sendiri tak tahu bagaimana menghormati diri mereka sendiri?
Apa keuntungan dari memiliki perilaku semacam itu? Apakah dengan demikian mereka merasa menjadi orang yang penuh kuasa? Maksud saya, mereka mampu berkuasa membuat orang takut. Terus apa gunanya kalau orang jadi takut dan tak suka dengan mereka? Mengapa ada manusia yang bercita-cita dan merasa beruntung untuk tidak disukai sesamanya?
Setelah sejuta pertanyaan itu keluar di benak, saya jadi berpikir. Kalau seandainya sejuta alasan yang masuk akal disodorkan kepada saya mengapa mereka sampai berperilaku demikian, bukankah itu adalah problem mereka secara pribadi?
Kalau itu menjadi masalahnya sendiri, mengapa masalah itu harus dibawa ke luar? Ke kantor, ke dalam pergaulan, ke dalam sebuah kehidupan sosial? Mengapa orang yang di luar harus mengerti tabiat mereka dan dijadikan korban?
Dan mengapa tidak sebaliknya, mereka harusnya mengerti bahwa tabiat semacam itu tak ada baiknya sama sekali, dan sesegera mungkin memperbaikinya? Mengapa mereka tak membenahi tabiat itu sesegera mungkin tetapi memelihara bertahun lamanya sehingga predikat bos galak, bos keras kepala, menjadi predikat mereka? Saya sungguh tak tahu kalau predikat itu mungkin membanggakan mereka. Saya juga tak tahu apa untungnya punya predikat semacam itu?
Nikmat
Apakah mereka merasakan keuntungan yang besar dengan berperilaku demikian sehingga tak ada alasan mengubah tabiat itu? Lha wong anak buah saya juga bertahan kok bekerja di bawah saya. Lha wong saya dapat mendatangkan banyak uang untuk perusahaan?
Tetapi, apa gunanya mereka mendatangkan banyak uang ke perusahaan, tetapi pada waktu bersamaan, mereka membuat banyak orang sengsara dan kemungkinan mengontaminasi orang yang awalnya baik menjadi seperti mereka? Bukankah katanya pergaulan yang buruk itu mampu merusak kebiasaan yang baik?
Apakah sejujurnya, mereka takut untuk menjadi ramah karena dengan demikian kewibawaan mereka hilang, kesenangan untuk menekan juga hilang, kenikmatan menakutkan orang akan hilang juga.
Apakah begitu? Kalau seandainya tidak begitu, mengapa tabiat buruk itu terus dipertahankan? Ataukah sejatinya tabiat yang mengesalkan itu adalah sebuah tempat bersembunyi yang diciptakan mereka karena mereka tak percaya diri?
Di dalam mobil yang membawa saya kembali ke kantor, saya membayangkan bagaimana ada seseorang yang mau menikahi si manajer itu. Saya membayangkan orang itu pasti kuat sekali mentalnya dan jitu menyiasati tabiat buruk pasangannya.
Saya tak tahu apakah manajer yang saya jumpai pada sore itu mempunyai dua kepribadian yang sangat berbeda. Di rumah sebaik malaikat, di kantor sekejam algojo? Saya juga tak tahu apakah keketusan di kantor atau di ruang publik itu karena kekecewaan yang terjadi di dalam rumah.
Karena memiliki pasangan yang menindas, misalnya. Sehingga di luar mereka ingin merasa tak mau tertindas, maka tabiat yang ditunjukkan manajer itu menjadi kompensasi sebuah kekecewaan yang terjadi di dalam rumah.
Sore itu, masih di dalam mobil karena kemacetan sudah mulai muncul setelah libur panjang yang membuat kota Jakarta sepi, saya berjanji tidak bercita-cita memiliki perilaku semacam itu. Saya tak mau meninggalkan dunia dengan meninggalkan kenangan yang buruk untuk diri saya sendiri.
Karena saya tak mau ada yang memohon untuk memaafkan kesalahan-kesalahan saya selama saya hidup, lha wong selama hidup, saya tidak berniat berbuat baik kok. Lha wong selama hidup, saya sendiri tak berniat membenahi hidup. Dan yang menyedihkan adalah orang lain berusaha memaafkan saya, sementara saya sendiri tak pernah berusaha mau memaafkan diri sendiri.
Bagaimana saya mau memaafkan diri sendiri, lha wong buat saya, punya tabiat menyebalkan dan keras kepala itu adalah surga buat saya. Menyaksikan orang keder sama saya adalah nikmat yang tak bisa saya dustai. ***