Babak akhir proses formal Pemilihan Presiden 2019 tersaji di hadapan kita. Sesi-sesi persidangan di Mahkamah Konstitusi yang telah berlangsung membanjiri ruang ingatan publik. Pemandangan yang hampir tidak ada bedanya dengan Pilpres 2014. Bagaimanapun proses tersebut merupakan jalan konstitusional menyelesaikan perselisihan antarpihak dalam pilpres ini.
Di hadapan ”tukar-menukar” pertanyaan, kesaksian, bantahan, pandangan, dan pendapat dalam kancah persidangan MK ini, sebuah pertanyaan sederhana mencuat ke permukaan. Mengapa kita hampir saja terjerembap kembali ke dalam ”jurang konflik” berdarah pada Mei lalu? Ternyata, semua kubu politik yang sedang berselisih bisa duduk melingkar di hadapan MK demi membicarakan persoalan mereka.
”Roller coaster” politik
Indonesia dan kisah politiknya selalu ”berayun-ayun” tidak menentu dan penuh bahaya. Kelas elite kita selalu menggiring bangsa ini untuk bermain-main di arena roller coaster politik penuh risiko.
Di titik waktu tertentu, ada siklus penuh tikungan tajam. Pergerakan politik yang menukik tajam. Kemudian, persaingan di antara ”klan politik” yang menanjak hingga melewati batas kemampuan mengelola ketegangan yang muncul. Lalu, berseliweran hoaksSemuanya datang silih berganti sembari mengusik kenyamanan sosial-politik bersama.
Ada satu makna tunggal yang tidak terbantahkan. Kematangan(maturitas) demokrasi selalu ada dalam keraguan. Di titik ini, kita berhadapan dengan kenyataan telanjang ini. Politik kita tidak pernah menghadirkan
cerita utuh tentang perjalanan bersama menuju pencerahan demokratik bermartabat. Sesi-sesi politik selalu disertai dengan cerita miris.
Aziz Huq dan Tom Ginsburg (2018) mengingatkan kemungkinan keruntuhan dan kemerosotan substansial demokrasi. Sesuatu yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya. Kondisi ini, lebih dari sebagiannya, niscaya merujuk pada sikap politik kelas elite dan kualitas lembaga-lembaga demokrasi.
Usaha untuk mendukung demokrasi agar bertahan hidup di satu pihak atau mengikis basis moral demokrasi di pihak lainnya senantiasa bergantung pada akurasi dan kepatutan pilihan tindakan politik kelas elite.
Budaya politik
Kita juga menghadapi kenyataan lain. Mekanisme politik kita, di bawah payung demokrasi, ternyata berada di garis divergen dengan perilaku politik elite. Permainan demokrasi (democratic game) kita belum mampu menghasilkan tata laku politik yang dewasa.
Mekanisme demokrasi, yang secara niscaya memunculkan ”pihak kalah” dan ”pihak yang menang”, tidak didukung sikap arif untuk menerima hasil akhir pertarungan politik.
Betapa rumit situasi politik kita ketika persoalan pelik ini masih menjadi bagian ”laten”dari kerangka kesadaran elite politik. Pertentangan politik kemungkinan tidak akan pernah berhenti. Soalnya, mereka memiliki ”energi”ekonomi-politik tidak terbatas demi meladeni seberapa lama pun ”perang”politik itu berlangsung. Mereka akan menggunakan semua jalan yang ”dimungkinkan” untuk mengingkari ”kekalahan”— meskipun dengan menabrak semua logika akademik dan kepatutan politik.
Akurasi pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019, yang nyatanya cukup memuaskan publik, tidak merefleksikan ”budaya politik” solid yang semestinya dipertontonkan para elite politik.
Ada keterputusan radikal dan jurang menganga antara pengetahuan politik yang mereka miliki di satu pihak dan sikap yang mereka sedang mereka perlihatkan dalam menerima hasil akhir pilpres ini. Keengganan mengakhiri pertarungan politik demi kepentingan kebangsaan adalah manifestasi rendahnya budaya politik elite.
Alasan kekalahan
Semestinya elite politik kita menggunakan keseluruhan proses legal di MK untuk membahasakan kualitas budaya politik. Ini harus menjadi momentum merawat masa depan politik bermartabat. Perkara yang sedang berlangsung akan menjadi garis waktu terbaik dalam perspektif politik dan demokrasi ketika semua pihak memiliki kelapangan hati untuk menerima ”palu” akhir MK.
Barangkali, yang paling menantang dari proses akhir di MK ini adalah bagaimana ”kemenangan politik” direfleksikan sebagai pencapaian terbaik seluruh bangsa, sementara ”kekalahan politik” akan menemukan sejumlah alasan fundamental yang tidak terbantahkan lagi di kemudian hari.
Sebab, pada kenyataannya, menerima kekalahan politik selalu menjadi sisi paling krusial dari setiap pertarungan politik.
Max Regus Doktor Lulusan Universitas Tilburg, Belanda; Pengajar Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng, Flores, NTT