Penanganan pendatang setelah Lebaran di Jakarta dalam dua tahun terakhir cenderung melunak dengan dilayankannya jasa kependudukan. Periode sebelumnya Pemprov DKI memberlakukan operasi yustisi terhadap pendatang. Alasan Gubernur Anies Baswedan soal pelunakan ini: sebagai WNI  mereka berhak menentukan pilihan bertempat tinggal,  sejalan dengan HAM. Namun, Pemprov DKI perlu ekstracermat menangani pendatang agar tak kian menambah persoalan di Ibu Kota.
Hingga kini, masalah umum yang dihadapi DKI dan kota- kota lain ialah kesenjangan antara yang berkecukupan dan yang berkekurangan. Sementara itu, kemajuan ekonomi perkotaan (antara lain berkat kehadiran bonus demografi) mendahului daerah, bukan perkotaan. Kehadiran bonus demografi di perkotaan terutama oleh faktor pendatang yang umumnya berusia produktif sehingga menurunkan angka beban tanggungan penduduk di perkotaan.
DKI, misalnya, sejak lama telah menikmati kehadiran bonus demografi akibat angka beban tanggungan penduduk yang rendah. Pada 2010, angka beban tanggungan penduduk di DKI, berdasarkan publikasi Proyeksi Penduduk 2010- 2035, sebesar  37,4. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung beban 37-38 jiwa penduduk usia nonproduktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun).
Penurunan angka beban tanggungan penduduk sebagai dampak pertambahan penduduk usia produktif  berpotensi kian meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Studi Zang Monan (2012) di Tiongkok menunjukkan bahwa setiap 1 persen penurunan angka beban tanggungan penduduk akan meningkatkan 0,115 persen pertumbuhan ekonomi.
Secara agregat kehadiran bonus demografi di Tiongkok menyumbang sepertiga pertumbuhan ekonomi di negara itu. Namun, kehadiran pendatang di perkotaan akibat urbanisasi bak pedang bermata dua.  Jika diarahkan dan dike- lola dengan baik, pendatang akan berkontribusi bagi kemajuan perekonomian kota. Namun, jika terabaikan, pendatang berpotensi meningkatkan aneka soal di perkotaan.
Telah terdeteksi
Dampak positif kehadiran pendatang hingga menambah jumlah penduduk perkotaan atas kemajuan ekonomi di perkotaan terdeteksi di banyak negara. Secara global sekitar 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, menurut PBB, dihasilkan dari 54 persen penduduk perkotaan. Diperkirakan kelengkapan infrastruktur perekonomian dan perkembangan teknologi yang berjalan seiring pertambahan penduduk usia produktif menjadi motor penggerak ekonomi perkotaan.
Namun, padatnya penduduk perkotaan yang tak baik dikelola berpotensi meningkatkan aneka soal di perkotaan: meluasnya wilayah tempat tinggal yang bukan peruntukannya seperti perkampungan liar dan kumuh, serta minim fasilitas penunjang kehidupan seperti air bersih, sanitasi, dan kebersihan lingkungan. Tumbuhnya perkampungan liar meningkatkan kerawanan keamanan dan ketertiban. Perkampungan kumuh di perkotaan kini menjadi kantong kemiskinan dan pengangguran. Kondisi seperti ini menjadi tantangan pemerintah kota mewujudkan kota pintar dalam penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan perekonomian dan menyelesaikan aneka permasalahan sosial.
Buruknya perkampungan kumuh perkotaan pada gilirannya mendistorsi kualitas hidup penduduk, khususnya anak-anak di daerah itu. UNICEF (2016) menyebutkan kehidupan anak di perkampungan kumuh lebih buruk dari- pada kehidupan anak di perde- saan. Mereka rentan berinter- aksi dengan tindak kriminal.
Daya dukung
Aspek lain yang perlu diperhatikan ialah  meski pendatang dapat memberikan kontribusi peningkatan ekonomi perkotaan, pemerintah juga perlu serius mencermati kemampuan daya dukung perkotaan dalam menampung penduduk yang kian padat. Kepadatan penduduk DKI amat tinggi. Berdasarkan publikasi BPS DKI 2018, kepadatan penduduk DKI mencapai 15.804 jiwa per kilometer persegi.
Perhatian atas kemampuan daya dukung perkotaan sepatutnya jadi domain pemerintah secara nasional. Bagi daerah kota dengan daya dukung yang menipis, pemerintah perlu menyiapkan strategi agar pendatang terdistribusi ke kota lainnya. Dalam konteks itu, kerja sama tujuh provinsi (DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Bali, dan Lampung) yang diinisiasi 2001  sepatutnya didukung pemerintah pusat agar menjadi instrumen penting dalam menekan laju urbanisasi di kota-kota dengan kepadatan penduduk tinggi seperti DKI.
Untuk itu, barangkali kita perlu melakukan pemelajaran terhadap negara lain yang telah berupaya mengembangkan kota-kota hingga pendatang tak menuju ke satu daerah tujuan. Amerika Serikat membuat perencanaan Bos- Wash Megalopolis agar pendatang tak membanjiri Boston dan Washington.
Perencanaan BosWash Megalopolis dilakukan dengan menjadikan kota besar di sepanjang pantai timur Amerika yang mencakup hampir 1.000 kilometer dari Boston dan Washington sebagai pusat industri, perdagangan, serta infrastruktur. Dengan konsep seperti itu, pemerintah di Tanah Air barangkali bisa menggunakan cara serupa dengan mengembangkan pesisir pantai utara dan selatan Jawa hingga mencapai Lampung dan Bali.
Secara faktual, potensi pengembangan daerah, khususnya di tujuh provinsi itu, kini kian terbuka lebar karena sebagian besar kota telah terkoneksi dengan pembangunan tol laut dan tol darat.
Amat diharapkan ini bisa dilakukan dan menjadi agenda penting dari kerja sama tujuh provinsi, terutama untuk menekan laju urbanisasi ke DKI dan pengembangan perekonomian  kota-kota lainnya.
Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University, AS