Sabtu, 27 Februari 2021

 

Ambisi Arab Saudi Menjadi Raksasa Ekonomi Regional

 Musthafa Abd Rahman  ;  Wartawan Kompas

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Ambisi Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) melalui proyek visi Arab Saudi 2030 ternyata tidak hanya sebatas melakukan revolusi perubahan di sektor sosial, budaya, dan ekonomi di dalam negeri, tetapi juga ingin mengantarkan negaranya menjadi kekuatan raksasa ekonomi di kawasan.

 

Produk domestik bruto (PDB) Arab Saudi kini mencapai 779.289 miliar dollar AS dan menduduki urutan ke-18 kekuatan ekonomi dunia. Dengan kekuatan ekonomi tersebut, tentu Arab Saudi menjadi anggota 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di muka bumi ini (G-20).

 

Di Timur Tengah, Arab Saudi kini merupakan kekuatan ekonomi terbesar. Namun, MBS ternyata tidak puas jika negaranya hanya menduduki posisi urutan ke-18 kekuatan ekonomi di dunia. Dia berambisi hendak membawa Arab Saudi menduduki urutan ke-10 atau masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia.

 

Tentu jalan masih panjang dan terjal bagi MBS untuk bisa membawa Arab Saudi masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Arab Saudi dengan PDB  779.289 miliar dollar AS saat ini harus berjuang keras melipatgandakan PDB tersebut menjadi minimal memiliki PDB 1.558.578 miliar dollar AS atau bahkan harus lebih lagi.

 

Urutan ke-10 dalam G-20 versi IMF saat ini diduduki Korea Selatan dengan PDB 1.586.786 miliar dollar AS. Artinya, Arab Saudi harus mampu melampaui PDB Korea Selatan untuk bisa masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Ini tentu sangat tidak mudah.

 

Bahkan sebenarnya posisi urutan ke-18 dalam G-20 membuat posisi Arab Saudi tidak aman, yang bisa setiap saat negara pengekspor minyak mentah terbesar itu terpental dari keanggotaan G-20.

 

Alih-alih mau masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia, tetapi sebaliknya justru malah terancam terdepak dari keanggotaan G-20. Sesungguhnya ancaman terdepak dari anggota G-20 jauh lebih dekat bagi Arab Saudi daripada mencapai posisi 10 besar G-20.

 

Arab Saudi kini hanya di atas Turki dan Swiss secara PDB dalam G-20. PDB Arab Saudi, Turki, dan Swiss sangat berdekatan, yang setiap saat bisa bergeser posisi dalam urutan di internal G-20. Versi Bank Dunia, Turki memiliki PDB 754.412 miliar dollar AS dan PDB Swiss 703.082 miliar dollar AS.

 

Maka, ada persaingan cukup ketat antara Arab Saudi, Turki, dan Swiss untuk bisa bertahan menjadi anggota G-20 atau tidak terpental dari keanggotaan G-20 itu. Oleh karena itu, MBS harus mencari solusi terobosan untuk meningkatkan PDB Arab Saudi agar bisa naik kelas dalam peringkat di G-20 dan sekaligus bisa menyelamatkan negaranya agar tidak terdepak dari keanggotaan G-20.

 

Sebagai ikhtiar untuk menaikkan peringkat ekonomi Arab Saudi tersebut, Pemerintah Arab Saudi secara mengejutkan pada 15 Februari lalu memutuskan, perusahaan multinasional yang telah atau ingin menjalin kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi terhitung mulai 1 Januari 2024.

 

Artinya, Pemerintah Arab Saudi memberi tenggat sekitar tiga tahun kepada semua perusahaan multinasional yang kini punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi untuk menyiapkan secara logistik dan lain-lain untuk pindah ke wilayah Arab Saudi.

 

Arab Saudi mengancam akan membatalkan kontrak bisnis dengan perusahaan multinasional yang menolak memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Selama ini, sebagian besar kantor pusat regional perusahaan multinasional yang beroperasi di kawasan Arab Teluk dan Timur Tengah berada di Dubai.

 

Kota Dubai menjadi daya tarik sebagian besar perusahaan multinasional karena kemudahan birokrasi, keringanan pajak, dan kehidupan liberal di kota itu. Kota-kota di Arab Saudi masih jauh kalah pamor dibandingkan kota Dubai untuk dijadikan tempat kantor pusat regional perusahaan multinasional.

 

Meski MBS telah menggulirkan revolusi sosial dan budaya di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini, hal itu belum cukup menjadi magnet bagi perusahaan multinasional untuk memindahkan kantor pusat regionalnya dari Dubai ke kota-kota di Arab Saudi. Revolusi sosial dan budaya yang sudah dijalankan antara lain bioskop diperbolehkan beroperasi, konser musik, kaum wanita dibebaskan menyetir mobil, dan penyelenggaraan aktivitas olahraga untuk umum, baik pria maupun wanita.

 

Akhirnya tidak ada pilihan bagi Arab Saudi kecuali menerbitkan peraturan yang memaksa perusahan multinasional yang telah dan akan memiliki kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi. Menurut kantor berita Arab Saudi, SPA, sebanyak 24 perusahaan multinasional telah menyampaikan rencana mereka akan memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi.

 

Pakar ekonomi Arab Saudi, Amal Abdulaziz Al-Hazzani, dalam artikelnya di harian Asharq Al-Awsat edisi Selasa, 23 Februari 2021, mengatakan, tujuan dari keputusan Arab Saudi bahwa perusahaan multinasional yang punya kontrak bisnis dengan Arab Saudi harus memindahkan kantor pusat regionalnya ke wilayah Arab Saudi adalah upaya menarik investasi asing dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penanaman investasi asing di negara itu.

 

Ada dua langkah besar yang dilakukan Arab Saudi untuk menciptakan lingkungan yang  kondusif bagi penanaman modal asing di negara itu, yaitu terkait regulasi dan proyek investasi.

 

Pertama, terkait regulasi, Pemerintah Arab Saudi telah membebaskan dari pajak pendapatan atas perusahaan multinasional yang masuk pasar Arab Saudi. Kedua, proyek investasi, yaitu Arab Saudi tengah membuat sejumlah megaproyek yang membuka peluang besar kepada investor asing menanamkan investasinya.

 

Proyek investasi itu seperti megaproyek kota Neom yang menempati wilayah seluas 26.500 km persegi dengan nilai investasi sekitar 500 milliar dollar AS, proyek kota wisata Coral Bloom di Laut Merah, serta proyek kota metropolitan ibu kota Riyadh. Bagian dari megaproyek Neom, MBS pada 10 Januari lalu mengumumkan akan membangun kota masa depan bebas karbon The Line yang memiliki panjang 170 km.

 

Kota The Line di dalamnya tidak ada kendaraan, tidak ada jalan, dan bebas karbon, yang akan dimulai pembangunannya pada kuartal pertama tahun 2021. MBS pada 10 Februari lalu juga mengumumkan pembangunan proyek kota wisata kepulauan Coral Bloom di Laut Merah. Menurut CEO proyek Coral Bloom, John Pagano, megaproyek tersebut menelan biaya 3,7 miliar dollar AS.

 

Di Coral Bloom akan dibangun 11 hotel berbentuk resort yang dioperasikan oleh manajemen perhotelan internasional. Proyek Coral Bloom disebut terinspirasi dari model wisata kepulauan di Maladewa yang sangat populer. Maka, Coral Bloom di Laut Merah dirancang mirip seperti kepulauan wisata Maladewa.

 

MBS pada 28 Januari lalu mengumumkan pula pengembangan ibu kota Riyadh untuk bisa menjadi 10 kota terbesar ekonomi di muka bumi ini. Ibu kota Riyadh, yang kini berpenduduk sekitar 7,5 juta jiwa, dilaporkan berhasil menarik investasi mencapai 220 miliar dollar AS selama tiga tahun terakhir ini.

 

Ibu kota Riyadh kini dirancang bisa menyaingi kota Dubai sebagai magnet investasi asing. Direktur eksekutif pengembangan kota Riyadh, Fahad al-Rashid, mengungkapkan, metro bawah tanah kota Riyadh yang memiliki jalur sepanjang 178 km dan 85 halte akan mulai beroperasi pada kuartal ketiga tahun 2021.

 

Arab Saudi juga telah mendeklarasikan secara resmi memasuki era kecerdasan buatan (AI) di negara itu, bersamaan dengan digelarnya konferensi puncak global tentang kecerdasan buatan atau The Global Artificial Intelligence Summit di kota Riyadh pada 21-22 Oktober 2020.

 

Semua megaproyek di Arab Saudi tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan visi 2030 yang diluncurkan MBS sejak tahun 2016 dengan tujuan melakukan diversifikasi sumber ekonomi negara yang selama ini sangat bergantung pada minyak. Megaproyek itu sekaligus sebagai lokomotif untuk mewujudkan ambisi MBS membawa Arab Saudi masuk 10 besar ekonomi dunia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar