Kamis, 25 Februari 2021

 

Pilih Kemakmuran Asia atau Kejayaan AS di Asia?

 SIMON SARAGIH  ;  Wartawan Senior Kompas

                                                     KOMPAS, 25 Februari 2021

 

 

                                                           

Ramai-ramai meredam China, itulah salah satu kebijakan luar negeri yang diusung Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Kebijakan itu melanjutkan misi yang juga diusung Presiden AS Barack Obama, salah satunya lewat pembentukan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership). Donald Trump juga merencanakan peredaman China, salah satunya dengan perang dagang berupa pengenaan tarif dan kuota impor dari China.

 

Kini Biden mencoba mengajak kelompok G-7, Australia, Uni Eropa, dan Asia ke dalam misi peredaman lewat pengepungan China. Apa tujuannya? Berdasarkan hasil pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping, seperti tertulis di laman Gedung Putih, Presiden Biden menegaskan prioritasnya dalam kaitan dengan hubungan bilateral AS-China. Di dalamnya adalah Biden ingin melindungi keamanan, kemakmuran, dan kesehatan rakyat AS.

 

Biden ingin melindungi cara hidup AS. Disebutkan, Biden ingin menjaga Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas. Ini pasti merujuk status Laut China Selatan, salah satunya.

 

Biden juga menyatakan keprihatinan mendasar tentang China, yang dia katakan menjalankan praktik ekonomi yang tidak fair. Terkait ini, salah satu sasarannya adalah isu pencurian teknologi yang selalu dituduhkan AS. Biden juga menyinggung pemberangusan demokrasi di Hong Kong, pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, serta penegasan hak dan kekuatan China di Taiwan.

 

Tentu Biden dan Xi juga disebutkan bertukar pandangan tentang cara memerangi pandemi Covid-19 dan tantangan keamanan kesehatan global, perubahan iklim, dan pencegahan proliferasi persenjataan. Namun, untuk urusan global dan sedang urgen ini tidak terlihat menjadi prioritas bagi Biden. Di sisi lain, China sudah mulai mengekspor vaksin Covid-19 ke 23 negara.

 

Lepas dari itu, laman Gedung Putih juga menyebutkan komitmen AS untuk menjalankan perundingan berorientasi hasil dan praktis, ketika hal itu juga dikaitkan dengan kepentingan AS dan sekutu-sekutu AS.

 

Hukum Parkinson

 

Jika diamati, tuntutan demi tuntutan AS ini tidak aneh, sepihak dan seenaknya. Inilah salah satu ciri khas negara terkuat dunia. China dan martabatnya seakan tidak lagi perlu sebab China itu menakutkan, mengerikan bagi AS dan sekutunya. Namun, arah dan logika tuntutannya tidak jelas dan sama tidak jelasnya tentang siapa promotornya di dalam pemerintahan Biden.

 

Biden ingin mengatasi masalah global dari sudut pandangnya, dengan menonjolkan panggung AS dan sekutunya, khususnya G-7. Biden tidak memakai skema G-20, di mana China turut hadir seperti pernah dilakukan Presiden Obama, sesuai saran mantan Menteri Keuangan di era Bill Clinton, Larry Summers. Namun, cara Biden ini masuk akal sebab misi Biden adalah untuk mengepung China.

 

Namun, AS sebagai negara lebih tidak jelas lagi arahnya jika dilihat misi luar negerinya dari waktu ke waktu. Kebijakan luar negerinya sporadis diikuti aksi saling menyudutkan di dalam negeri AS. Era Presiden Bill Clinton mengabaikan isu hak asasi manusia di Xinjiang. Bahkan, Presiden Clinton berhenti menekan China dari sisi hak asasi dan fokus pada relasi ekonomi, seperti dituliskan di laman The Wall Street Journal edisi 6 Januari 2021.

 

Era Presiden George W Bush membawa hubungan baik dengan China, termasuk dengan memuluskan jalan China memasuki keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah Bush ini kemudian disesali sebagai langkah yang dengan sendirinya telah membuat AS membantu kelahiran musuhnya di panggung internasional. Ini menampilkan kesan, seakan-akan kejayaan ekonomi China adalah hasil skenario AS semata. Pasar China yang menguntungkan perusahaan-perusahaan raksasa AS tenggelam karena kepentingan hegemoni AS.

 

Era Obama kemudian menyadari kolaborasi, terkenal dengan kalimat yang lebih kurang, ”dunia ini bukan hanya kita (AS) yang menghuni”. ”Sejarah menunjukkan AS harus memimpin, bukan dengan mengandalkan kekuatan semata tetapi dengan prinsip-prinsip kita. Ini menunjukkan bahwa kita lebih kuat bukan saat kita sendirian, melainkan saat kita menyatukan dunia,” demikian Obama dikutip di majalah Time edisi 14 Juli 2015.

 

Era Trump bergerak dengan asumsi AS seperti berada di era kejayaan AS di bawah Presiden Ronald Reagan. Trump merasa mudah menekan China seperti saat Reagan menekan Jepang pada 1985. Nuansa ini juga masih terbawa ke era Biden. Ini tertangkap dari pernyataan Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS.

 

Ganti pejabat, ganti kebijakan seperti postulat Hukum Parkinson. Inilah pola yang terjadi dalam kebijakan luar negeri AS terhadap China.

 

Jangan mengambil risiko

 

Hanya saja salah satu misi AS yang paling jelas adalah tidak ingin China bangkit, mendominasi, dan terdepan. China harus tunduk. Ini adalah karakter negara terkuat, tidak ingin ada pesaing dan akan berang, geram, serta mencari cara untuk meredam pesaing. Kelebihan Biden, dia tidak memerangi China sendirian tetapi mencari kawan. ”Dia (Biden) tidak akan mengurung diri pada pendekatan tertentu,” kata Sullivan.

 

Kali ini Biden melakukannya lewat G-7. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengajak Korea Selatan, Australia, dan India memasuki G-7 dengan tujuan memberi kesan agar China sadar, mereka tidak ada sahabat. Namun, mitra-mitra potensial AS mungkin segan berkoalisi dengan AS jika itu bertujuan untuk mengepung China.

 

Posisi negara-negara itu susah karena tidak ada kepastian dari sisi AS. Paradigma luar negeri AS bisa berganti. Ini risiko besar bagi pendukung AS. Sebagai contoh, China bisa memutus hubungan dengan mereka yang berpihak pada AS dan AS tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Lagi pula, meninggalkan China demi AS yang tidak jelas arahnya sekarang ini bukanlah sebuah momentum pas. ”Ini juga mirip dengan meminta negara-negara melepas kesempatan di satu-satunya negara yang tumbuh dari segi perekonomian,” kata Jorge Guajardo, mantan Dubes Meksiko untuk China.

 

Lalu bagaimana menghadapi situasi ini? China memberi banyak manfaat bagi perekonomian dunia. Ada program One Belt One Road (OBOR) dan ada jasa China dalam meredakan krisis ekonomi AS pada 2008. Ini efek positif kehadiran China dari sisi ekonomi yang akan terus menggelinding beberapa puluh tahun ke depan.

 

Tentu tidak berarti dunia harus menelan dan menerima saja segala hal dari China. Kita tidak pernah tahu niat orang dan sama halnya kita tidak pernah tahu niat satu negara. Seperti AS yang anarkis di saat sedang kuat, potensi China untuk anarkis juga ada jika semakin menguat.

 

Asia hanya sedang dihadapkan pada pertarungan kekuatan dunia. AS masih kuat dan China sedang tumbuh dan akan menjadi ancaman bagi AS. AS mengidap efek psikologi berupa ketakutan untuk disaingi. Pesaingnya, China, memiliki keinginan untuk menunjukkan harkat dan martabat.

 

Di dalam politik negara-negara kuat berlaku istilah kecemburuan. Ada faktor kecemburuan yang mendorong AS ingin meredam China. Janganlah Asia menjadi korban dari hasrat AS yang ingin memanfaatkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingan hegemoninya. Sama halnya, jangan pula Asia terlalu buta melihat potensi China. Pintar-pintarlah bermain, demikian lebih kurang pesannya.

 

Hanya saja memang cara AS tidak tepat sesuai dengan momentum terkini. Hingga Biden, yang diyakini lebih stabil dan tepercaya ketimbang Trump, tidak terlalu menonjolkan keinginan untuk berdiskusi atas segala perbedaan yang ada dengan China. Tawaran-tawaran diskusi ini sudah bolak-balik diajukan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, yang mengatakan basis dari semuanya adalah win-win solution dan sikap saling respek.

 

Melihat cara AS ini, tidak mengherankan jika membuat banyak negara enggan berpihak ke AS dalam kaitannya dengan China. Apalagi jika AS mengajak aliansi demi kepentingannya semata, kemakmurannya, keamanannya, dan bukan kepentingan global. ”Biden kemungkinan sulit menggalang aliansi di Asia,” kata James Crabtree dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura (CNBC, 22 Februari 2021).

 

Kemakmuran Asia dan pengentasan rakyat Asia dari kemiskinan juga harus menjadi pemikiran Asia ketimbang mengikuti semata ambisi AS di Asia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar