Selasa, 23 Februari 2021

 

Urgensi Pembaruan MoU Indonesia-Malaysia tentang Perlindungan PRT Migran

 Wahyu Susilo  ;  Direktur Eksekutif Migrant CARE

                                                     KOMPAS, 22 Februari 2021

 

 

                                                           

Angin segar dari beranda Istana Merdeka itu berembus. Saat menerima kunjungan perdana Kepala Pemerintahan Malaysia Muhyiddin pada pekan pertama Februari 2021, Presiden Joko Widodo kembali menyerukan agar segera dilakukan langkah memperbarui Memorandum of  Understanding mengenai Penempatan dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Migran dari Indonesia ke Malaysia yang sudah lewat masa berlakunya sejak tahun 2016.

 

Pernyataan ini juga dibarengi dengan permintaan Presiden Joko Widodo kepada Perdana Menteri Malaysia tersebut agar ada jaminan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia di Malaysia yang jumlahnya lebih dari 2,5 juta orang.

 

Agar embusan angin segar tersebut tidak segera menjadi angin lalu, harus segera ada langkah-langkah konkret menindaklanjuti seruan dan permintaan Presiden Joko Widodo kepada PM Malaysia mengenai langkah memperbarui MoU Perlindungan PRT Migran dan jaminan perlindungan terhadap seluruh pekerja migran Indonesia di Malaysia.

 

Seruan dan desakan tersebut tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan perundingan pembahasan draf revisi MoU pada level diplomasi kedua negara.

 

Sejatinya, dengan belum terjadinya langkah-langkah konkret memperbarui MoU yang masa berlakunya sampai tahun 2016 memperlihatkan belum adanya kesungguhan politik kedua negara mengenai perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia di Malaysia.

 

Dalam durasi waktu tersebut telah terjadi serentetan kasus kekerasan yang dialami PRT migran Indonesia, seperti kasus penganiayaan keji yang dialami Suyantik (akhir tahun 2016) dan Adelina Sao sampai meninggal (2018), praktik perdagangan manusia yang dialami oleh para PRT migran yang dipekerjakan iClean Sdn Bhd (2019), dan kasus penyekapan dan kekerasan yang dialami Mei Heriyanti (2020).

 

Kasus-kasus tersebut hanya merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus yang dialami oleh PRT migran Indonesia di Malaysia. Karena berada dalam kondisi terkurung di rumah majikan, mereka tidak mendapat akses komunikasi sehingga tidak bisa melaporkan apa yang dialaminya.

 

Penanganan kasus tersebut menjadi sulit diselesaikan karena tidak ada landasan hukum untuk menuntut tanggung jawab pelakunya. Bahkan, dalam proses peradilan, sebagian besar pelaku penganiayaan PRT migran menikmati impunitas dan bebas dari penahanan.

 

Bagi kedua negara, pekerja migran telah menjadi variabel yang penting untuk pembangunan ekonomi. Di negara asal, arus migrasi pekerja yang deras juga makin meningkatkan volume remitansi. Dalam dua dekade terakhir ini (kecuali di masa pandemi), remitansi sudah memberikan kontribusi signifikan untuk PDB, bahkan jumlahnya telah menggeser bantuan asing (ODA) dan investasi asing (FDI). Menurut data Bank Indonesia, remitansi dari pekerja migran Indonesia yang mengalir dari Malaysia menempati peringkat pertama.

 

Di negara tujuan, pekerja migran juga telah menjadi penggerak ekonomi dan mengisi sektor-sektor pekerjaan yang enggan diisi oleh pekerja lokal karena sektor ini masuk pada kategori rentan/3Ds (dirty, difficult and dangerous), tetapi berupah rendah. Di Malaysia, sektor ini, antara lain, pekerja rumah tangga, industri manufaktur, konstruksi, dan perkebunan.

 

Kontribusi nyata pekerja migran baik di negara asal (Indonesia) dan negara tujuan (Malaysia) ini harus menjadi pendorong untuk segera dilakukan pembaruan MoU perlindungan PRT migran Indonesia di Malaysia. Hal ini untuk memastikan kondisi kerja layak bagi PRT migran Indonesia di Malaysia serta juga mengakhiri impunitas yang selama ini dinikmati oleh para pelaku kekerasan PRT migran Indonesia di Malaysia.

 

MoU mengenai Penempatan dan Perlindungan PRT Migran Indonesia ditandatangani pada Mei 2011 dan masa berlakunya berakhir tahun 2016 ini adalah hasil dari negoisasi pembaruan MoU tahun 2006 dikombinasikan dengan tekanan politik berupa moratorium penempatan PRT migran sejak tahun 2009-2011.

 

Kelemahan dasar yang terkandung dalam MoU 2006 adalah pasal-pasal tentang paspor yang dipegang majikan, ketiadaan hari libur, dominasi agen, serta ketiadaan aturan mengenai struktur penggajian dan mekanisme pembayarannya.

 

MoU ini juga sama sekali tidak memberikan jaminan perlindungan hak pekerja migran. MoU 2011 menyebutkan bahwa PRT migran berhak memegang paspor, berhak atas hari libur dan majikan wajib membayar upahnya melalui transfer bank.

 

Dalam pelaksanaannya, MoU 2011 ini tidak dijalankan secara konsisten. Walau telah memandatkan joint taskforce untuk mengevaluasi secara reguler pelaksanaan MoU ini, ternyata hingga berakhir tahun 2016 tidak ada langkah evaluatif yang berarti dari joint taskforce. Catatan-catatan ini harus menjadi pedoman ke depan dalam memperbarui MoU perlindungan PRT migran Indonesia di Malaysia.

 

Sesuai dengan amanat UU No 18 Tahun 2017 bahwa syarat penempatan ke negara tujuan harus didasari pada perjanjian bilateral, agenda pembaruan MoU ini mutlak dan wajib untuk segera dilakukan. Selain itu, amanat penguatan peran atase ketenagakerjaan dan kebijakan pembebasan biaya penempatan juga penting untuk didesakkan dalam substansi MoU.

 

Selain mempertegas jaminan dan pengakuan hak PRT migran untuk memegang paspor sendiri, mendapatkan hari libur, hak berkomunikasi, dan memperoleh upah dengan standar layak, MoU ini hendaknya juga merujuk pada kesepakatan-kesepakatan regional terkait perlindungan pekerja migran di ASEAN seperti ASEAN Consensus on the Promotion and Protection of the Rights of Migrant Workers dan ASEAN Convention Against Trafficking in Person and Children.

 

Yang tidak kalah penting adalah mekanisme dan tata kelola bilateral untuk memastikan MoU ini dilaksanakan secara konsisten. Oleh karena itu, perlu dirumuskan adanya komite bersama dari berbagai pemangku kepentingan untuk mengevaluasi secara reguler pelaksanaan MoU ini. Agar memiliki kewenangan yang kuat, komite bersama ini harus dikukuhkan oleh kepala pemerintahan masing-masing. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar