Sabtu, 20 Februari 2021

 

Tamparan Keras Perkawinan Anak

 Ninuk M Pambudy  ;  Wartawan Senior Kompas

                                                     KOMPAS, 19 Februari 2021

 

 

                                                           

Perjuangan penghapusan perkawinan anak sudah berlangsung lebih dari 100 tahun, undang-undang sudah melarang, tetapi sampai hari ini masih ada yang mempromosikan kawin anak yang membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat.

 

Pekan lalu, media arus utama dan media sosial diramaikan oleh promosi perkawinan anak di sebuah situs daring serta selebaran fisik. Tidak tanggung-tanggung, anak didorong menikah pada usia 12-21 tahun dan orangtua pun dianjurkan menikahkan anaknya pada usia itu. Situs Aisha Weddings tersebut juga mendorong poligami dan nikah siri.

 

Faqihuddin Abdul Kodir dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan pendiri situs mubadalah.id, dalam webinar pekan lalu, menanggapi promosi kawin anak tersebut sebagai tamparan bagi semua, termasuk bagi pemerintah dan KUPI.

 

Promosi tersebut secara terang-terangan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 16 tahun 2019 dan UU Nomor Tahun 2002 Perlindungan Anak yang diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengubah batas minimal usia melakukan perkawinan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 dari 16 tahun menjadi 19 tahun bagi perempuan.

 

Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

Revisi UU Perlindungan Anak secara khusus menambahkan pasal 15a yang berbunyi ”Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”.

 

Ketentuan UU di atas menyebabkan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Komisi Perlidungan Anak Indonesia, dan sejumlah lembaga nonpemerintah dan individu melaporkan situs Aisha Weddings ke polisi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain melaporkan pelanggaran undang-undang, mereka meminta Kominfo menutup situs tersebut.

 

Tamparan keras

 

Pernyataan Kiai Faqihuddin tidak berlebihan. Indonesia sudah melalui perjalanan panjang untuk menghapus perkawinan anak. Kartini (21 April 1879-17 September 1904) semasa hidupnya menentang perkawinan anak, terutama anak perempuan, dan dia sendiri menjadi korban perkawinan anak sehingga sekolahnya terputus.

 

Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 dan kongres kedua pada 1935 sudah muncul kesadaran dan tuntutan untuk menghentikan perkawinan anak.

 

Dalam catatan Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama Lies Marcoes, Kongres Perempuan Indonesia tahun 1939 melahirkan Biro Konsultasi Perkawinan yang membahas batas usia perkawinan. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan menghentikan kawin anak dan membatasi poligami terus terjadi. Perjuangan melarang kawin anak secara hukum formal tercapai setelah sejumlah organisasi nonpemerintah berkali-kali mengajukan revisi atas UU Perkawinan 1974. Sejak tahun 2019, UU Perkawinan mengatur batas usia menikah perempuan dan laki-laki minimum 19 tahun.

 

Banyak alasan orangtua memaksa anaknya menikah pada usia anak. Budaya dan keyakinan agama menjadi salah satu penyebab utama, meskipun banyak tafsir agama mendalilkan larangan memaksakan perkawinan. Penyebab lain alasan ekonomi.

 

Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dengan mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menyebut, pada 2018 sekitar 11 persen atau 1 dari 9 anak perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun. Jumlahnya ada 1.220.900 anak perempuan. Dari jumlah itu 0,56 persen menikah pada usia di bawah 15 tahun. Untuk anak laki-laki angkanya 1 persen saja.

 

Anak perempuan dari rumah tangga dengan pengeluaran terendah tiga kali lebih mungkin menikah pada usia anak dibandingkan dengan anak perempuan dari keluarga berpenghasilan tertinggi. Anak perempuan di perdesaan lebih rentan untuk kawin anak daripada anak di perkotaan.

 

Dari sisi pendidikan, perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun berpeluang empat kali lebih rendah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun. Dari sisi sebaran, Sulawesi Barat memiliki persentase jumlah perkawinan anak tertinggi, sementara secara absolut jumlah kawin anak tertinggi ada di Jawa Barat.

 

Pandemi Covid-19, yang meningkatkan jumlah pengangguran terbuka dan jumlah orang miskin, diperkirakan juga meningkatkan jumlah kawin anak apabila mengacu data Susenas 2018.

 

Tali-temali

 

Alasan orangtua menikahkan anaknya yang belum memasuki usia dewasa bertali-temali antara alasan adat, keyakinan agama, dan ekonomi.

 

Wati (22) mengaku menikah pertama kali pada usia 17 tahun. Dia menikah daripada menganggur karena putus sekolah. Lagi pula, di kampungnya di Kebumen, Jawa Tengah, anak-anak seusianya menikah dianggap lumrah. Setelah satu tahun menikah, Wati bercerai dari suaminya yang berselisih usia lima tahun karena alasan ekonomi.

 

”Suami tidak bisa memberi nafkah saya dan anak. Dia kemudian juga kena PHK dan sampai sekarang tidak kerja,” tutur Wati. Sejak satu setengah tahun lalu, dia menikah lagi dengan orang sekampungnya yang seusia.

 

Wati tidak sendiri. Orangtua dan anak-anak yang memilih menikah dini menganggap perkawinan sebagai jalan keluar persoalan kesulitan hidup mereka. Wati, bungsu dari lima bersaudara, putus sekolah saat semester dua sekolah kejuruan atas farmasi. ”Tidak ada biaya,” kata Wati yang ayahnya sudah meninggal dunia.

 

Dengan alasan daripada melakukan dosa, Ang (25) menikah dengan teman satu kampungnya yang sama-sama tidak dapat melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah menengah pertama karena alasan biaya. Setelah menikah, Wati dan Ang mengurus hidup mereka dengan bekerja. Mereka tidak melanjutkan pendidikan. Anak biasanya dititipkan ke orangtua, sementara mereka bekerja di Jakarta.

 

Lies Marcoes menyebut, promosi kawin anak menjalin isu keyakinan, adat, dan masalah struktural ketika menyebutkan perkawinan usia anak akan menyelamatkan dari kemiskinan.

 

Menghentikan perkawinan anak harus sampai ke akar persoalan, yaitu pemahaman tafsir agama, adat, dan masalah struktural seperti kemiskinan.

 

Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi menghentikan perkawinan anak, dimulai dari tingkat desa. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu meningkatkan kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Kementerian Dalam Negeri untuk membangun kelembagaan desa mencegah kawin anak.

 

Lembaga yang sangat penting perannya mencegah kawin anak adalah pengadilan agama. Meskipun ada pembatasan usia minimal 19 tahun untuk menikah, dibuka ruang untuk orangtua mengajukan dispensasi perkawinan. Di sini hakim harus benar-benar memeriksa alasan pengajuan dispensasi, terutama karena UU Perlindungan Anak menjamin hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi ekonomi dan seksual. Harus pula diingat ada relasi kuasa tak imbang antara anak-anak dan orangtuanya, calon mertua, dan calon suami yang boleh jadi laki-laki dewasa.

 

Ruang digital

 

Di tengah perubahan zaman akibat pandemi Covid-19 yang mempercepat penggunaan komunikasi dan informasi digital, kasus promosi pekawinan anak atau isu lain yang kontroversial sangat mungkin terulang kembali.

 

Pendiri Drone Emprit, sistem yang memonitor dan menganalisis percakapan di media sosial dan platform daring, Ismail Fahmi, yang ikut menganilisis situs Aisha Weddings mengatakan, situs dan spanduk penyelenggara acara pernikahan itu tidak dimaksudkan untuk promosi bisnis penyelenggaraan acara perkawinan sesungguhnya. Dari isi konten situs, terkesan yang lebih ditekankan adalah keyakinan pembuat situs yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, yaitu kawin anak, menikah siri, dan poligami.

 

Dalam percakapan melalui Whatsapp, Ismail Fahmi menyebut, berdasarkan pengalaman lalu peristiwa sejenis dapat terulang lagi. ”Masyarakat harus siap dengan model (lontaran di ranah digital) seperti ini ke depan karena murah, meriah, dan mudah sekali menyulut kontroversi dan emosi,” papar Ismail Fahmi. Kontroversi yang muncul dengan segera menghasilkan viralnya isu tersebut di dunia maya.

 

Dia mengingatkan untuk berhati-hati ketika menemukan berita atau informasi dengan ciri-ciri topik menyangkut isu sensitif, terutama agama; menggunakan selebaran elektronik, selebaran fisik, spanduk, dan atau situs digital; dan isinya menimbulkan kontroversi, tidak masuk akal.

 

Terlepas dari cara promosi atau ajakan yang digunakan, perkawinan anak masih akan menjadi ruang tarik-menarik dan kontestasi pengaruh, termasuk tafsir keagamaan. Mereka dengan pengetahuan yang tidak lengkap, menurut Faqihuddin, akan mudah diombang-ambingkan dan dibelokkan oleh pembuat tafsir, seolah-oleh tampak benar walaupun sebetulnya pijakannya tidak sahih. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar