Selasa, 23 Februari 2021

 

Melemahnya Ingatan, Matinya Imajinasi

 Aris Setiawan  ;  Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, Lulus Program Doktoral, Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM Yogyakarta

                                                     KOMPAS, 21 Februari 2021

 

 

                                                           

Mahasiswa saya di Program Pascasarjana, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, menceritakan pengalamannya sebagai seorang penari yang dirasanya aneh. Saat ia bersama teman-temannya menari Gambyong di salah satu hotel di Solo, semua penonton dengan serempak berperilaku ”tidak wajar”. Sebagai seorang penari yang harusnya ditonton, kemudian berbalik, justru ia dan teman-temannyalah yang menonton kelakuan penonton.

 

Menurut dia, tidak ada satu pun penonton yang menikmati tarian dengan berbekal mata telanjang, semua menyaksikan lewat perangkat smartphone atau telepon pintarnya. Bahkan gerakan handphone penonton itu serasa sebuah koreografi, mengikuti penari berjoget ke kanan atau ke kiri. Penonton merekam pertunjukan tari itu, entah untuk disiarkan secara langsung lewat media sosialnya atau sekadar digunakan sebagai dokumentasi pribadi.

 

Pada konteks inilah timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah hari ini eksistensi penonton masih ada? Ataukah penonton hanya menjadi katalisator yang menjembatani terpecah-pecahnya bentuk pertunjukan ke dalam ruang digital? Kemudian memiliki efek domino, disebarkan secara simultan, dikomentari, dimaknai, dan dinilai oleh lapis-lapis ”penonton” digital yang lain? Artinya, bukankah penonton semakin jauh berjarak dengan kesenian yang ditontonnya?

 

Jalan pintas

 

Pengalaman berbeda pernah diceritakan oleh teman saya, seorang pegawai salah satu dinas kebudayaan. Ia bertemu dengan temannya di sebuah mal saat sedang makan siang. Dengan percaya diri dia menyapa, dan alangkah malunya, sosok yang dianggap teman itu tak mengingatnya. Susah payah ia menjelaskan bahwa mereka pernah bersama dalam sebuah forum pelatihan di Jakarta. Penjelasan itu berakhir ketersia-siaan.

 

Terakhir, ia mengambil handphone di saku, kemudian dipertontonkan foto-foto saat forum pelatihan itu. Dengan seketika temannya itu ingat, dan obrolan berlanjut selayaknya sahabat karib yang lama tak jumpa. Bagaimana ingatan yang tak lagi mampu bertahan lebih lama dalam otak manusia. Gerbong ingatan itu dipindah dalam pelbagai perangkat elektronik, terkhusus dalam linimasa media sosial.

 

Kasus yang tak kalah menarik saat kelas daring diberlakukan. Anak-anak sekolah yang biasanya bertatap muka langsung dengan gurunya tak lagi ada. Pertemuan itu terjadi secara digital, dengan mengandalkan aplikasi videocall. Saat ujian, siswa nampak duduk sigap di depan layar komputer atau smartphone. Sahabat saya di Surabaya selalu direpotkan dengan kelakuan anaknya karena saat ujian berlangsung, si anak menyembunyikan smartphone lain (di luar yang digunakan untuk kelas daring).

 

Adanya smartphone lain itu tentu saja tidak terlihat oleh gurunya karena posisi kamera statis yang membatasi keleluasaan mata. Si anak berhasil menjawab semua pertanyaan gurunya. Pada soal matematika, misalnya, alih-alih menghitung di kertas kosong, si anak membuka aplikasi kalkulator di smartphone-nya. Begitu juga untuk soal-soal lain, ia mengandalkan mesin pencari Google untuk menemukan jawaban.

 

Rentetan peristiwa itu apabila ditarik kesimpulan akan bermuara pada satu gejala yang sama bahwa teknologi telah mereduksi segala hal. Namun, terlepas dari itu, ada masalah lain, yakni tentang gejala bias rasionalitas atau fallacy mental. Kahneman dan Amos Tversky lewat tulisannya berjudul ”Prospect Theory” (1979) memandang bahwa gejala-gejala itu menentukan behavioral decision making atau perilaku pengambilan keputusan.

 

Ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pada satu sisi, sistem otak manusia berpacu dengan sangat cepat, dibuktikan dengan penemuan perangkat teknologi dan alogaritma rumit dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan. Sebagai contoh, hari ini kita tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui berapa hasil perkalian dan pembagian angka ratusan, ribuan, bahkan lebih. Cukup dengan kalkulator, semua akan selesai beberapa detik.

 

Namun, pada sisi lain, di saat yang bersamaan, loncatan-loncatan penemuan itu semakin melemahkan kinerja otak. Manusia tidak lagi mau berpikir kompleks, merunut, dan mengetahui sebuah proses. Yang diinginkan adalah hasil yang secepat-cepatnya. Manusia kehilangan sebuah perjalanan untuk menemukan.

 

Contoh sederhananya, saat kita pergi ke mal dan berniat membeli baju. Di beberapa merek tertera diskon 75%, 50%, dan 25%. Otak kita dengan mudah akan mengetahui berapa harga akhir baju itu. Namun, pernahkah kita menanyakan, kenapa diskon yang diberikan adalah 25% dan kelipatannya, bukan 27%, 58,5%, atau 73,6%?

 

Peristiwa itu menyangkut pengambilan keputusan seketika. Manusia tidak lagi mau disibukkan dengan urusan ”proses untuk mengetahui”, lebih baik memilih jalan pintas (shortcut) yang langsung pada hasil, sebagaimana bermain kalkulator dan mesin pencari Google untuk mendapatkan jawaban instan.

 

Ingatan

 

Pada kasus pertunjukan tari Gambyong, publik mendudukkan dirinya semata sebagai penonton (spectators) bukan lagi penikmat (connoisseurs). Dengan kata lain, di peristiwa itu telah terjadi keterputusan komunikasi estetik yang disampaikan penari kepada mereka.

 

Tari Gambyong itu diperlakukan selayaknya mereka melihat kecelakaan sepeda motor di depan rumah, dengan kepala pengendara berlumuran darah, kemudian bergegas mengambil smartphone untuk merekam dibandingkan, misalnya menolong pengendara yang terluka.

 

Ada empati yang terputus. Sementara tari Gambyong itu untuk selanjutnya akan berakhir menjadi file digital, yang apabila ingatan perlu untuk ”memanggilnya”, cukup dengan hanya membukanya kembali, dibandingkan mengenang dan menyimpannya rapi dalam otak. Hal yang sama juga terjadi pada kasus pertemanan di atas.

 

Teknologi memutus rantai ingatan yang erat bersentuhan dengan lapis imajinasi. Bukankah sebuah kejadian yang terkenang dalam otak manusia tidak berhenti sebagai sebuah peristiwa yang informatif, tapi menumbuhkan nilai dan makna-makna baru. Sebagaimana saat seseorang mengenang pertemuan pertama dengan kekasihnya. Pertemuan itu akan tetap ”hidup”, bahkan bergerak melampaui peristiwa senyatanya, karena terus ditafsir dan dimaknai.

 

Sementara teknologi membekukan dan menghilangkan semua itu. Ingatan manusia menjadi lebih pendek, imajinasi mati, dan kemampuan nalar kita menjadi semakin cupet. Kredo bahwa ”Tuhan tidak akan menciptakan kerinduan, bila tanpa disertai arti penting sebuah pertemuan” mungkin akan hilang. Pertemuan itu tidak lagi ada, yang tersisa kemudian adalah file-file dalam smartphone kita. Aduh! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar