Rabu, 24 Februari 2021

 

Jalan Gersang Ekonomi Syariah Jokowi

 Noval Adib  ;  Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

                                                  DETIKNEWS, 19 Februari 2021

 

 

                                                           

Beberapa waktu terakhir ini Presiden Jokowi beserta jajarannya (Wapres Maruf Amin, Menkeu Sri Mulyani, dan Meneg BUMN Erick Thohir) rajin mempromosikan ekonomi syariah. Sri Mulyani sudah beberapa waktu yang lalu diangkat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Erick Thohir baru beberapa hari yang lalu dipercaya untuk menjadi Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Sedangkan Wapres Maruf Amin sendiri sudah cukup lama dikenal sebagai pegiat ekonomi syariah; bertahun-tahun menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di beberapa bank syariah di Indonesia.

 

Dengan dikelilingi orang-orang kepercayaan yang aktif dalam ekonomi syariah itu, baik yang sudah lama aktif atau yang mendadak aktif, Jokowi tampak percaya diri untuk memaksimalkan potensi umat Islam yang diwadahi oleh lembaga-lembaga keuangan syariah yang dibentuk oleh pemerintahannya. Terakhir pemerintah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang dimaksudkan untuk menampung dana wakaf dari umat Islam.

 

Dana wakaf yang terkumpul nantinya tidak hanya akan digunakan untuk membangun sarana ibadah umat Islam, tapi juga akan digunakan untuk membangun infrastruktur atau fasilitas umum sebagaimana yang disampaikan oleh Sri Mulyani. Dan yang tidak kalah bikin mengernyitkan dahi adalah susunan kepengurusan MES yang dipimpin oleh Erick Thohir.

 

Tidak saja diisi oleh orang-orang yang sebelumnya tidak begitu akrab bahkan bisa dikatakan awam dengan ekonomi syariah seperti Mahfud MD, Puan Maharani, Bambang Soesatyo, Retno Marsudi, dan lain-lain atau orang yang selama ini selalu kritis terhadap penerapan syariat Islam dan 'arabisasi' seperti Yaqut Qoumas, tapi juga diisi oleh non-Muslim seperti Martin Hartono yang merupakan anak dari bos Djarum Robert Hartono.

 

Itu semua menimbulkan pertanyaan yang lebih mencerminkan kebingungan seperti seberapa sukses BWI nanti menarik minat umat Islam untuk menyetorkan sekaligus mengelola dana wakaf tersebut? Ke mana arah pengembangan MES dengan kepengurusan yang terlalu gado-gado seperti itu? Atau pertanyaan lebih umum: mau dibawa ke mana ekonomi syariah oleh Presiden Jokowi?

 

Untuk menjawabnya perlu dilihat dulu posisi ideal ekonomi Islam/syariah dalam masyarakat Muslim menurut beberapa cendekiawan Muslim kontemporer. Umer Chapra (2003), seorang intelektual asal Pakistan yang telah lama bermukim di Arab Saudi menempatkan ekonomi Islam pada fase ke-5 dalam fase perkembangan ilmu ekonomi modern.

 

Tahap pertama adalah bentuk awal ilmu ekonomi ketika Adam Smith menerbitkan bukunya The Wealth of Nations. Pada tahap ini tidak ada peran lembaga apapun kecuali pasar dalam mendistribusikan dan mengalokasikan sumber daya. Istilah laissez faire (bebas dari intervensi apapun) diterapkan pada tahap ini. Oleh karena itu, peran keluarga, masyarakat, negara, dan nilai moral diabaikan sama sekali.

 

Tahap kedua adalah ekonomi dengan peran agresif yang dimainkan oleh negara. Alasan yang mendasari peran aktif pemerintah adalah karena banyak negara pasca Perang Dunia II menghadapi kesulitan dalam mempercepat pembangunan kalau hanya melalui kekuatan pasar. Oleh karena itu negara mengambil inisiatif untuk ikut berperan penting dalam perekonomian. Namun karena negara pada umumnya tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan peran tersebut, terjadi defisit anggaran yang besar. Ini dibiayai melalui ekspansi moneter dan selanjutnya menyebabkan inflasi dan beban pembayaran hutang yang berat. Meskipun peran negara dalam pembangunan mulai diakui pada tahap ini, peran keluarga, masyarakat, dan nilai-nilai masih tetap terabaikan.

 

Tahap ketiga adalah ekonomi yang berfokus kembali pada liberalisme dan kekuatan pasar. Hal ini disebabkan oleh stagflasi pada tahun 1970-an, yang menurunkan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk memainkan peran ekonominya. Namun demikian, meski pada tahap ini muncul kebangkitan kembali anti intervensi dan pro pasar bebas dalam kegiatan ekonomi, namun tidak berhasil menghidupkan kembali konsep laissez faire seperti pada tahap pertama.

 

Keyakinan akan peran penting pemerintah dalam pembangunan melalui 'tata pemerintahan yang baik' tidak hanya bertahan, tetapi juga semakin menonjol. Perubahan penting lainnya pada tahap ketiga ini adalah munculnya pengakuan atas pentingnya peran keadilan dalam pembangunan.

 

Berikutnya, berdasarkan pengalaman tahapan sebelumnya dan berkembangnya wawasan intelektual di kalangan ekonom, tahapan keempat muncul dengan kesadaran bahwa pasar dan negara tidak sepenuhnya mengakomodir peran institusi social dalam bidang bisnis dan ekonomi. Oleh karena itu, peran faktor-faktor sosial, kelembagaan, politik, dan sejarah perlu dipertimbangkan dan untuk memanfaatkan potensi kontribusi dari semua itu untuk mempercepat pembangunan. Istilah 'modal sosial' diperkenalkan pada tahap ini.

 

OECD mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan bersama dengan norma, nilai, dan pemahaman bersama yang memfasilitasi kerja sama di dalam atau di antara kelompok. Atau lebih jelas lagi modal sosial didefinisikan sebagai "perekat yang menyatukan masyarakat" yang diperlukan untuk menjalankan tatanan sosial, bersama-sama dengan budaya dan norma perilaku bersama, sebagaimana disampaikan oleh Serageldin dan Grootaert (2000). Kohesivitas internal ini membantu mendefinisikan modal sosial. Tanpa modal sosial, masyarakat akan runtuh, dan tidak akan ada pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, atau kesejahteraan manusia, seperti yang terjadi di Somalia, Rwanda, dan Yugoslavia.

 

Chapra (2003) mengemukakan bahwa tahap keempat bukanlah tahap final atau tahap terbaik, sehingga ia menempatkan ekonomi Islam sebagai tahap kelima. Meskipun Chapra menyambut baik tahap keempat, namun ia merasa rasa saling percaya tidak bisa secara efektif ditanamkan di masyarakat hanya dengan adanya nilai dan jejaring sosial. Nilai-nilai ini perlu diterima oleh semua anggota masyarakat sebagai nilai absolut yang tidak perlu diperdebatkan lagi, yang diyakini mampu meningkatkan keadilan dan harmoni sosial serta meminimalkan kejahatan dan ketegangan dalam masyarakat (Chapra, 2003).

 

Nah, pada posisi inilah ekonomi dan bisnis Islam bisa mengambil peran penting mengingat ajaran Islam hampir semua nilai-nilai dasarnya masih dipatuhi dengan baik oleh para pemeluknya. Untuk isu yang lebih sempit, Sadr, seorang intelektual Iran, menyatakan diperlukan masyarakat yang menerima dan mengamalkan nilai-nilai Islam sepenuhnya (kafah) supaya lembaga keuangan Islam dapat beroperasi dengan baik. Sedangkan dalam masyarakat yang sekuler, lembaga keuangan Islam akan menghadapi kesulitan karena akan beroperasi melawan arus utama yang ada (Mallat, 2003).

 

Apa yang disampaikan oleh Sadr tersebut tampaknya terbukti di Indonesia di mana pangsa pasar bank syariah di Indonesia hanya sekitar 9%, meski Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia. Lalu, bagaimana dengan prospek ekonomi syariah yang dipromosikan Jokowi?

 

Kalau melihat beberapa kondisi yang diperlukan untuk mengimplementasikan ekonomi syariah secara efektif sebagaimana disampaikan oleh dua cendekiawan di atas, sepertinya memang berat bagi Jokowi cs untuk mempromosikan ekonomi syariah di tengah-tengah masyarakat yang kohesivitasnya makin retak atau modal sosialnya makin terkikis. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa hubungan Jokowi dan umat Islam secara umum adalah tidak begitu akrab karena faktor politik.

 

Saat ini muncul persepsi yang sangat kuat di masyarakat bahwa umat Islam terbelah antara pendukung Presiden Jokowi dan yang oposisi terhadapnya. Keterbelahan ini makin menguat disebabkan sikap Presiden Jokowi yang dianggap membiarkan hal ini berlangsung yang ditandai dengan berlakunya tebang pilih untuk beberapa kasus hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Di samping itu jargon-jargon yang mengesankan 'anti arab/arabisasi' dan melabeli segala sesuatu yang berbau Arab dengan istilah pejoratif 'kadrun' (kadal gurun) secara masif dilakukan oleh para pendukung Jokowi dan terkesan dibiarkan saja oleh Jokowi.

 

Dalam masyarakat yang kohesivitas sosialnya makin rapuh seperti ini, khususnya kohesivitas antara umat Islam dan pemerintah, tiba-tiba Presiden Jokowi dan jajarannya meluncurkan beberapa kebijakan yang intinya ingin memaksimalkan potensi umat Islam di bidang ekonomi dalam bingkai ekonomi syariah.

 

Kebijakan pertama adalah melebur (merger) beberapa bank syariah milik pemerintah menjadi satu bank syariah yang berakibat pada asetnya yang menjadi lebih besar. Untuk kebijakan ini tidak begitu menimbulkan reaksi signifikan dari masyarakat kecuali untuk beberapa kalangan terbatas karena institusi perbankan syariah sudah mapan di usianya yang ke tiga puluh tahun beroperasi di Indonesia.

 

Adapun yang merupakan prakarsa asli pemerintahan Jokowi adalah pembentukan BWI. Inti dari fungsi BWI ini adalah menghimpun wakaf tunai dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk infrastruktur atau fasilitas umum yang manfaatnya akan kembali ke masyarakat. Sudah tentu tujuan BWI ini baik, karena sifat dasar dari wakaf memang sesuatu yang baik, terlepas dari adanya perdebatan fikih apakah diperbolehkan wakaf dalam bentuk uang tunai karena menurut sunnah yang dipahami selama ini ibadah wakaf adalah penyerahan harta tidak bergerak baik berupa tanah atau bangunan untuk kepentingan umat. Adapun kalau berupa uang ada istilah fikihnya sendiri yaitu zakat, infak, atau sedekah.

 

Untuk prakarsa pendirian BWI inilah pemerintahan Jokowi mendapat respons negatif yang sangat besar. Dipasangnya nama besar tokoh ekonomi syariah sekelas KH Maruf Amin tidak mampu memancing respons positif dari publik. Kalau dibandingkan dengan pendirian bank syariah pertama di Indonesia di era Presiden Soeharto tiga puluh tahun yang lalu, hal ini sangat kontras sekali. Pak Harto mendapat sambutan gegap gempita dari umat Islam ketika mensponsori berdirinya bank syariah pertama di Indonesia.

 

Ecip dkk (2002) mendeskripsikan dengan detail bagaimana proses pendirian bank syariah pertama di Indonesia tersebut sejak mulai ide dari beberapa tokoh dan aktivis Muslim, lalu mempromosikan ide tersebut ke institusi-institusi terkait seperti Majelis Ulama Indonesia, mengadakan seminar-seminar, sampai kemudian mendekati pemerintah dimulai dari menteri-menteri yang dianggap relevan sampai akhirnya berhasil menghadap presiden Soeharto langsung.

 

Namun yang tidak kalah pentingnya dari proses tersebut adalah terjadinya 'bulan madu' antara Presiden Soeharto dengan umat Islam sejak beberapa tahun sebelumnya. Rezim Soeharto mulai kembali mesra dengan umat Islam --setelah sebelumnya mengalami hubungan yang tegang selama bertahun-tahun-- sejak 1989 yang ditandai dengan lahirnya UU Peradilan Agama dan diperbolehkannya jilbab dipakai di sekolah-sekolah, pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990, dan lalu pendirian bank syariah pada 1991.

 

Kemesraan itu terus berlanjut sehingga pada 1993 ketika Presiden Soeharto memilih Ketua Umum ICMI BJ Habibie sebagai sebagai wakil presiden, serta menempatkan banyak tokoh Muslim dalam jajaran kabinetnya.

 

Jadi kondisi masyarakat Islam yang harmonis, baik harmonis antarmasyarakat sendiri maupun antara masyarakat dengan pemerintah sudah terbentuk lebih dulu sebelum bank syariah pertama didirikan pada zaman Pak Harto. Dengan kata lain, lahan sudah subur ketika bibit bank syariah mulai disemai. Ini sesuai dengan prasyarat yang diperlukan ketika ekonomi memasuki tahap 4 (perlunya modal sosial) dan tahap 5 (perlunya nilai-nilai yang diyakini bersama tanpa perlu diperdebatkan) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Chapra di atas.

 

Bank syariah pertama di Indonesia didirikan di atas basis modal sosial yang kuat atau dalam kondisi ukhuwah umat Islam Indonesia yang kokoh sehingga tidak heran jika pendiriannya berjalan dengan mulus dan mendapat respon sangat positif dari umat Islam. Pada era Jokowi justru sebaliknya. Inisiatif untuk mendirikan BWI justru diawali dengan 'membelah' umat Islam, entah hal itu disengaja atau tidak. Lalu dalam kondisi umat Islam yang terbelah ini diluncurkanlah prakarsa mendirikan BWI.

 

Tentu hal ini bertentangan dengan kondisi/syarat ideal yang diperlukan seperti yang telah dijelaskan oleh Chapra. Alih-alih mendapat dukungan, pendirian BWI justru membuahkan "bullying" terhadap pemerintah sebagai pemrakarsa. Banyak meme di medsos yang isinya berupa ejekan, misalnya gambar Sri Mulyani dengan tulisan "Mohon wakaf', atau tulisan "Katanya anti Arab? Kok pakai istilah Arab? Gunakan saja istilah asli Nusantara "saweran", dan masih banyak lagi meme yang lain.

 

Ibaratnya, lahannya dibikin tandus dan gersang terlebih dahulu sebelum dilakukan penanaman. Lalu, bagaimana bisa diharapkan tanaman dapat tumbuh dengan baik jika lahannya sengaja dibikin tandus dan tidak subur terlebih dahulu? Hal yang sama dengan MES yang banyak dimotori oleh orang-orang yang awam atau bahkan asing akan ekonomi syariah menimbulkan pertanyaan, sebenarnya ke arah mana ekonomi syariah akan dikembangkan? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar