Sabtu, 20 Februari 2021

 

Kritik dan Retrogresi Demokrasi

 Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

                                                     KOMPAS, 19 Februari 2021

 

 

                                                           

Harian Kompas (15/2/2021) mengangkat berita menarik dengan judul ”Pertahankan Ekosistem Demokrasi”. Berita ini relevan memantik kesadaran kita tentang perlunya perlindungan atas kebebasan berpendapat sebagai salah satu hak asasi di negara demokrasi.

 

Saat ini muncul dan menguat gejala retrogresi demokrasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retrogresi dimaknai sebagai kemunduran, pemburukan, penurunan. Secara terminologis, retrogresi demokrasi mengacu pada kemunduran kualitas demokrasi yang diakibatkan oleh hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban.

 

Kualitas diskursus publik di berbagai kanal warga menampakkan wajah paradoks. Banyak elite politik dan para pendukungnya yang tidak siap dengan kritik memarginalkan dialektika dan mengedepankan kedangkalan nalar kekelompokan.

 

Ekosistem demokrasi

 

Keberlimpahan informasi memunculkan sisi gelap perang opini di berbagai lini masa media sosial. Sayangnya, perbincangan warganet banyak yang tak mengacu ke rasio emansipatoris dan kepentingan publik, tetapi lebih ke sentimen pribadi dan kekelompokan yang kerap berujung pada saling lapor ke polisi atas nama pelanggaran undang-undang (UU), seperti UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Perundungan siber, persekusi, doxing, dan pembunuhan karakter yang melibatkan para pendengung (buzzer) semakin menjadi-jadi. Padahal, perbedaan pandangan dan kritik sangatlah diperlukan untuk membangun ekosistem demokrasi yang sehat.

 

Presiden Jokowi beberapa kali menyampaikan pentingnya fungsi kritik. Saat pidato di puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2021 di Istana Negara, 9 Februari lalu, Presiden meminta pers turut memberikan kritik dan saran kepada pemerintah. Pun demikian saat memberikan sambutan pada acara Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, 8 Februari 2021, Presiden juga meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik atas potensi malaadministrasi dari para penyelenggara pelayanan publik.

 

Di waktu lain, saat berpidato di hadapan Sidang Bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara, 16 Agustus 2018, Presiden Jokowi menekankan pentingnya ekosistem demokrasi yang kondusif dan stabilitas keamanan.

 

Ibarat alam, ekosistem itu merupakan sistem ekologi yang terbentuk secara timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Pun demikian ekosistem demokrasi, banyak faktor yang harus dijaga agar kondusif, sehat, dan berkelanjutan. Misalnya proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta tentunya kebebasan sipil.

 

Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang indeks demokrasi 2020 seharusnya menjadi lecutan untuk Indonesia. Indeks demokrasi kita merosot dari 6,48 ke 6,3 dan Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 167 negara di dunia. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

 

Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat. EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

 

Yang menarik kita cermati sebagai bahan evaluasi, EIU memberikan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme. Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7,50, partisipasi politik 6,11, budaya politik 4,38, dan kebebasan sipil dengan skor 5,59. Dengan melihat skor tersebut, yang mencolok tentu saja budaya politik dan kebebasan sipil yang masih rendah.

 

Upaya menguatkan dan mengokohkan kebebasan sipil menjadi hal fundamental. Pemerintah ataupun masyarakat harus menjadikan ini sebagai agenda kerja bersama bukan sekadar menjadi pemanis retorika belaka.

 

Harus ada perlindungan yang jelas atas kebebasan berpendapat dalam arti sesungguhnya. Konstitusi kita, terutama Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945, jelas dan eksplisit menyatakan bahwa ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

 

Paradoks kebebasan

 

Ada sejumlah data dan catatan penting dari berbagai lembaga yang menarik dicermati secara serius. Catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), hingga Oktober 2020, ada sepuluh peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi.

 

Selain itu, ada 14 peristiwa, dengan 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan empat peristiwa dengan empat orang diproses karena mengkritik pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri ataupun UU ITE.

 

Freedom House (FH) merilis hasil penelitian yang menunjukkan kualitas kebebasan berinternet di Indonesia memburuk. Dilansir dari freedomhouse.org, kebebasan internet Indonesia pada 2019 mencapai nilai 51 dari skala 0-100, sementara di 2020 nilainya memburuk menjadi 49.

 

Dari sejumlah faktor yang menurunkan ini, antara lain karena adanya intimidasi dan doxing terhadap aktivis serta jurnalis. Peretasan terhadap akun media sosial aktivis prodemokrasi hingga pengkritik kebijakan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 yang semakin marak pada 2020. Kriminalisasi terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil lainnya yang mengkritik kebijakan pemerintah lokal.

 

Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 24-30 September 2020 mengonfirmasi persepsi yang muncul di publik. Jajak pendapat yang melibatkan 1.200 responden dengan tingkat kepercayaan 95 persen itu mendapati, 21,9 persen warga sangat takut untuk berpendapat dan 47,7 persen berpendapat agak takut untuk berpendapat.

 

Kasus mutakhir yang perlu diberi catatan, misalnya pelaporan Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Terbayang, jika semua dosen di perguruan tinggi negeri (PTN) dalam tulisan dan perbincangan publiknya melakukan kritik kepada pemerintah, apakah dianggap melanggar karena posisinya sebagai ASN?

 

Intelektual berhak memiliki nalar kritis yang mencerminkan sikap akademisnya, selama basisnya nalar rasional yang bisa diuji dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

 

Jika dia melampaui batas, misalnya memprovokasi melakukan makar, menyebarkan kebencian (hatespeech) atas nama suku, agama, ras, golongan, orientasi seksual, dan kelompok disabilitas bisa diproses di ranah hukum sebagai pertanggungjawaban.

 

Untuk kasus Din Syamsuddin, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah menegaskan, pemerintah tak akan menindaklanjuti proses hukum terhadap Din. Ini merupakan sikap terang benderang yang dikomunikasikan kepada publik dan layak diapresiasi, jika tidak tentu secara langsung atau tidak akan muncul prasangka negatif kepada pemerintah.

 

Catatan perbaikan

 

Paling tidak ada dua hal yang perlu diperbaiki. Pertama, sifatnya struktural, yakni menyangkut aparat dan produk undang-undang. Aparat penegak hukum, seperti polisi, harus bersikap imparsial. Jangan ada tendensi mengarah pada ketidakadilan dalam penegakan hukum, terlebih jika dibaca publik membedakan perlakuan antara kepada mereka yang prokekuasaan dan yang kontrakekuasaan. Selain itu, perlu evaluasi dan kontrol terkait dengan beragam pasal karet yang bisa menjerat orang dengan kelenturan tafsir yang ada di dalamnya.

 

Salah satunya adalah Pasal 27 Ayat 3 UU No 19 Tahun 2016. Pasal tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal seperti ini bisa jadi pintu masuk mudah bagi orang atau kelompok tertentu untuk menjerat orang lain atas nama penghinaan dan pencemaran nama baik.

 

Kedua, peran yang harus diambil oleh mereka yang menjadi gatekeeper sekaligus jangkar komunikasi warga. Misalnya, orang atau lembaga yang berada di balik bekerjanya para pendengung. Tanggung jawab politik dan sosial harus ditradisikan. Narasi ataupun kontranarasi basisnya argumen dan data, bukan dengan cara kill the messenger! Menghantam dengan segala cara yang mengarah pada pembunuhan karakter akan membuat tradisi kritik dan berdebat di ruang publik sirna.

 

Mark Poster dalam tulisannya, Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995), memberi optimisme bahwa media daring bisa menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi.

 

Namun, harapan tersebut bisa menjadi utopia dan tak akan pernah mewujud jika pengkritik diserbu habis-habisan oleh pasukan pendengung tanpa mengindahkan etika dan hukum dengan modus bersembunyi di ruang gelap jagat maya. Terlebih kalau mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari aparat. Biarlah narasi dilawan narasi, data dengan data, argumen bekerja di ruang dialektika. Ekosistem demokrasi perlu dirawat secara bersama-sama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar