Jumat, 19 Februari 2021

 

Anak Perempuan Korban Pernikahan Dini

 Bagong Suyanto  ;  Dekan dan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

                                                     KOMPAS, 18 Februari 2021

 

 

                                                           

Melindungi anak perempuan agar tidak menjadi korban praktik pernikahan dini bukan hal yang mudah. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 16/ 2019 yang mengatur batas usia perkawinan minimal 19 tahun, ternyata penerapannya masih menghadapi berbagai tantangan.

 

Aisha Weddings adalah salah satu situs yang justru mendukung pernikahan dini anak perempuan. Situs ini memicu kontroversi, karena menawarkan pencarian jodoh bagi anak perempuan, nikah siri dan memfasilitasi perkawinan poligami. Aisha Weddings melalui laman di Facebook menawarkan mengorganisasikan perkawinan perempuan berusia 12-21 tahun.

 

Banyak pihak mengecam konten yang diunggah Aisha Weddings. Organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dengan tegas menyatakan ajakan anak perempuan menikah di usia 12 tahun yang dilakukan Aisha Weddings bertentangan dengan undang-undang. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia serta sejumlah lembaga yang peduli hak anak bahkan melaporkan Aisha Weddings ke polisi.

 

Ajakan dan tawaran Aisha Weddings dinilai merupakan praktik perdagangan perempuan terselubung. Tawaran mengorganisasi pernikahan dini adalah bentuk komodifikasi dan mendegradasi martabat perempuan. Oleh sebab itu, wajar jika bayak pihak geram dan mengecam keras apa yang diiklankan Aisha Weddings.

 

Dampak

 

Pernikahan dini yang dialami anak-anak perempuan sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak anak, sekaligus pengesahan perkawinan tidak wajar yang kerapkali justru menjadi penyebab munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak (Durgut & Kisa, 2018).

 

Studi yang dilakukan Leeson & Suarez (2017) menemukan di India anak perempuan kerapkali dipaksa menikah dini karena kelahiran mereka cenderung tidak dikehendaki, dan karena itu dianggap sebagai beban yang perlu segera dilepaskan kepada orang lain.

 

Dibandingkan keluarga yang secara ekonomi mapan, pernikahan dini lebih berpeluang terjadi di kalangan anak-anak perempuan miskin. Akibat tekanan ekonomi keluarga, dan motif orang tua yang ingin segera mengalihkan beban pertanggungjawaban anak kepada orang lain (menantu dan keluarganya), tidak sedikit orang tua dari keluarga miskin yang memilih menikahkan anak perempuan mereka dalam usia dini.

 

Keluarga yang memiliki banyak anak, sementara penghasilan sehari-hari yang dimiliki tidak mencukupi, hal itu kerap menjadi pertimbangan mereka untuk segera menikahkan anak perempuan yang dianggap bukan sebagai tenaga kerja produktif.

 

Berbeda dengan anak laki-laki yang dianggap sebagai sumber penghasilan dan tidak membebani keluarga, anak perempuan cepat atau lambat akan diambil orang lain, sehingga semakin cepat mengeluarkan anak dari beban keluarga dinilai semakin baik.

 

Banyak anak perempuan di negara berkembang terpaksa harus menikah pada usia dini, karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan di usia di mana mereka menikah, atau siapa yang mereka nikahi. Tren pernikahan dini di negara berkembang, pola kejadiannya sangat bervariasi, di mana sekitar 70 persen terjadi di Asia Selatan hingga yang trennya termasuk rendah atau sekitar 30 persen sebagaimana terjadi di Asia Tenggara.

 

Di Meksiko, studi yang dilakukan Boyce, Brouwer, Triplett, Servin, Magis-Rodriguez, dan Silverman (2018) menemukan anak perempuan berusia di bawah 16 tahun rawan mengalami pernikahan paksa di usia dini, hamil dan kekerasan seksual.

 

Berbeda dengan cerita romantis tentang percintaan yang menceritakan bagaimana sepasang kekasih memadu-cinta, dalam kenyataan anak perempuan yang menikah dalam usia dini harus berhadapan dengan berbagai masalah yang merugikan dirinya.

 

Hak-haknya sebagi istri kerap tidak dihargai, dan tidak sekali-dua kali terjadi kasus pernikahan dini yang kemudian diikuti dengan kasus pernikahan poligami tanpa bisa dilawan oleh anak perempuan yang menjadi korban pernikahan dini.

 

Hasil kajian Durgut & Kisa (2018) menemukan di Turki anak yang terlibat dalam pernikahan dini umumnya mengalami kesulitan dan masalah di masa-masa penyesuaian pernikahan. Dari 246 perempuan yang menikah pada saat berusia di bawah 18 tahun, ditemukan mereka cenderung mengalami insiden kekerasan fisik --yang berkorelasi terbalik dengan skor penyesuaian perkawinan.

 

Anak perempuan yang makin kerap mengalami insiden kekerasan fisik, mereka umumnya makin lambat menyesuaikan diri dengan kehidupan pernikahannya. Akibat ketidaksesuaian subkultur dan pertentangan ego antar pasangan, tidak sedikit anak perempuan yang terlanjur menikah kemudian menjadi korban tindak kekerasan.

 

Mereka dipaksa beradaptasi dengan gaya hidup dan kebiasaan keluarga pasangannya –yang belum tentu dapat dengan mudah mereka lalui. Pada titik di mana perbedaan dan ketidakmampuan beradaptasi memuncak, maka konflik pun akan pecah dengan kerugian ditanggung pihak perempuan.

 

Studi yang dilakukan Bagong Suyanto (2020) menemukan anak perempuan yang terpaksa menikah dalam usia dini umumnya putus sekolah atau tidak lagi melanjutkan sekolah. Kesempatan untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi otomatis hilang ketika mereka menikah –dan apalagi ketika mereka memiliki anak.

 

Kewajiban untuk mengasuh anak dan mengerjakan tugas-tugas domestik rumah tangga menjadi penyebab anak perempuan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Biasanya, karena faktor budaya dan alasan agama, anak perempuan dinikahkan orang tuanya. Dibandingkan anak laki-laki, kecenderungan anak perempuan menikah di usia dini lebih besar.

 

Kalau berbicara idealnya sebetulnya terbuka kesempatan bagi anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Di Indonesia, beasiswa ditawarkan agar anak-anak perempuan dapat melanjutkan pendidikan –minimal di tingkat pendidikan dasar. Tetapi, karena tekanan sosial dan pertimbangan pragmatis, sering terjadi anak perempuan tidak memiliki banyak pilihan.

 

Kekangan dalam keluarga dan bahkan mungkin tindakan abuse yang dialami dalam keluarga orang tuanya, tidak jarang mendorong anak perempuan memilih keluar dari kehidupan lamanya untuk mencoba kehidupan baru dengan pasangannya.

 

Bagi anak perempuan yang beruntung mereka memang akan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tetapi, bagi anak perempuan yang kurang beruntung, bukan tidak mungkin mereka akan masuk dalam perangkap tindak kekerasan yang lebih kronis dari pasangan dan keluarga pasangannya.

 

Anak yang menikah dini, menurut Parsons, Edmeades, Kes, Petroni, Sexton & Wodon (2015) rawan putus sekolah dan buta huruf, lebih rendah partisipasi dan pendapatan yang diperoleh sebagai angkatan kerja, dan lebih sedikit kontrol atas aset rumah tangga yang produktif.

 

Anak perempuan yang melahirkan di usia dini lebih banyak mengalami proses kelahiran yang berbahaya, sulit, dan rumit, dan cenderung kurang sehat. Tidak menutup kemungkinan angka kematian anak yang melahirkan di usia dini juga lebih besar. Akhirnya, akibat dari pernikahan dini, dampak ekonomi yang timbul dan biaya pernikahan anak yang ditanggung umumnya besar, dan proses ini kerapkali melahirkan regenerasi kemiskinan yang tidak berkesudahan.

 

Pada titik yang ekstrem, anak yang menikah dini dilaporkan ada pula yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tak kuat menanggung beban. Anak yang menikah dini dalam beberapa hal rawan mengalami tekanan psikologis.

 

Hasil kajian Gage (2013) menemukan di Amerika Serikat perempuan yang ketika menikah masih anak-anak ternyata 1,41 kali lebih mungkin memiliki riwayat seumur hidup gangguan kejiwaan dibandingkan dengan perempuan yang menikah di masa dewasa.

 

Berbagai masalah yang dialami anak perempuan yang terpaksa menikah dini sering diperburuk oleh kerentanan sosial dan kondisi ekonomi anak-anak yang ujung-ujungnya membuat opsi pilihan kehidupan anak menjadi terbatas.

 

Bagi anak perempuan yang beruntung meski menikah dini, mereka mungkin tidak harus menghadapi banyak masalah dalam pernikahan dengan pasangannya. Tetapi, secara umum anak perempuan yang menikah dini selalu menjadi korban subordinasi, bahkan tindak kekerasan dari pasangannya.

 

Studi yang dilakukan Zakar, Zakar & Nasrullah (2014) menemukan sepertiga perempuan berusia 15-24 tahun di Indonesia dan Pakistan dilaporkan mengalami dan menjadi korban tindak kekerasan oleh pasangan mereka. Tindak kekerasan yang dialami anak perempuan yang menikah dalam usia dini, bisa dalam bentuk verbal abuse, kekerasan psikologis hingga tindak kekerasan fisik atau KDRT.

 

Masyarakat Lokal

 

Selama ini berbagai upaya sebetulnya telah dilakukan untuk mencegah agar anak perempuan tidak menjadi korban pernikahan dini. Tetapi disadari bahwa mengeliminasi kasus pernikahan dini di masyarakat bukanlah hal yang mudah. Di Ethiopia, misalnya Boyden, Pankhurst & Tafere (2012) menyatakan upaya untuk mencegah kasus pernikahan dini sering menghadapi masalah tatkala pendekatan yang dikembangkan kurang menyapa dan memperhatikan kultur masyarakat lokal.

 

Pendekatan yang menempatkan masyarakat yang yang terbiasa menikahkan anak dalam usia dini sebagai masyarakat yang terbelakang, bodoh, ketinggalan jaman, dan lain sebagainya, justru akan menyebabkan masyarakat mengalami alienasi dan bahkan menolak anjuran yang mereka terima karena dinilai bertentangan dengan kultur yang berlaku.

 

Dalam banyak kasus, upaya mencegah pernikahan dini harus diakui tidak akan berjalan efektif jika hanya mengandalkan pada regulasi hukum dan ancaman sanksi belaka. Menaikkan batas minimal usia perempuan menikah menjadi 19 tahun memang akan menjadi dasar yang kuat untuk mendorong agar usia anak perempuan menikah meningkat.

 

Namun demikian, lebih dari sekadar menaikkan batas usia perempuan menikah, ada baiknya jika diikuti dengan pendekatan untuk memperoleh dukungan dari komunitas lokal.

 

Pengalaman telah banyak mengajarkan bahwa upaya untuk melakukan rekayasa sosial dan mencegah agar para anak perempuan tidak keliru melangkah, maka yang yang dibutuhkan tak pelak adalah dukungan dan partisipasi dari para watchdog yang berasal dari masyarakat lokal itu sendiri.

 

Tanpa adanya komitmen dari warga masyarakat, dukungan dari komunitas setempat, sulit diharapkan angka kasus pernikahan dini anak perempuan akan dapat diturunkan secara signifikan.

 

Kehadiran lembaga sosial-keagamaan yang memiliki komitmen dalam upaya pencegahan pernikahan dini akan banyak berperan, bahkan cukup signifikan. Tetapi, dalam kenyataan apa yang diperjuangkan lembaga sosial lokal untuk mencegah pernikahan dini bukan tidak mungkin akan berhadapan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat.

 

Selain dukungan masyarakat lokal, upaya untuk mencegah pernikahan dini juga tergantung pada program intervensi yang digulirkan pemerintah. Menempatkan upaya mencegah kasus pernikahan dini dengan menempatkan pada program peningkatan kesejahteraan rakyat diharapkan dapat berdampak lebih signifikan, karena salah sau sumber pernikahan dini adalah tekanan kebutuhan hidup yang dialami keluarga-keluarga miskin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar