Jumat, 26 Februari 2021

 

Bencana dan Politik Lingkungan Hidup

 PC Siswantoko  ;  Pemerhati Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta

                                                     KOMPAS, 25 Februari 2021

 

 

                                                           

Tergolong sebagai bangsa rawan bencana, Indonesia hampir setiap tahun mengalami bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dan gempa bumi. Pada awal tahun ini saja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat bahwa sejak tanggal 1-23 Januari 2021 sudah terjadi 197 bencana alam, dan kemungkinan jumlah ini akan terus bertambah.

 

Pada tahun lalu, sepanjang bulan Januari tercatat ada 207 peristiwa bencana alam yang meliputi angin puting beliung, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gelombang pasang. Dari data itu maka, setiap hari rata-rata terjadi 6-7 peristiwa bencana.

 

Indonesia yang berada dalam lingkaran cincin api pasifik, membuat kita semua selalu berada dalam ancaman gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan bencana alam lainnya. Oleh karena itu, upaya penanggulangan bencana, pelestarian alam, dan pemulihan lingkungan hidup yang telah rusak harusnya menjadi prioritas pemerintah.

 

Masih ada pengabaian

 

Bencana alam memang bisa disebabkan oleh alam sendiri tetapi sebagian besar bencana disebabkan oleh ulah manusia dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka sering menempatkan dirinya sebagai subyek dan memandang alam sebagai obyek sehingga dengan keserakahan dan kerakusannya menguras, mencemari, dan merusak lingkungan hidup.

 

Banjir bandang yang melanda Kalimantan Selatan baru-baru ini menurut Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro, Sudharto P Hadi, salah satunya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, tetapi juga oleh penurunan daya serap permukaan tanah yang disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

 

Meskipun curah hujan tinggi, banjir tidak akan separah sekarang ini jika tutupan hutan di Kalsel itu masih luas ( Kompas,25/1). Kebijakan alih fungsi hutan yang membabi buta merupakan salah satu contoh keterlibatan pemerintah dalam kerusakan lingkungan hidup.

 

Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam telah lama menjadi masalah besar di negeri ini. Namun hal tersebut sering kurang mendapat perhatian dalam dialektika politik nasional maupun daerah.

 

Dalam kondisi aman, tanpa bencana, para elite politik lebih sibuk menggarap agenda-agenda politik jangka pendek dalam rangka memenuhi janji-janji politiknya daripada memikirkan dan membuat kebijakan yang mampu meminimalisir terjadinya bencana alam.

 

Pengabaian ini membuat kerusakan lingkungan hidup semakin parah dan melebar ke sektor yang lain seperti pertambangan, perkebunan, perubahan iklim, pencemaran tanah, air, dan udara.

 

Kondisi semacam ini jelas membuat resiko terjadinya bencana alam sangat besar dan ketika bencana itu datang rakyat kecil yang harus menanggung penderitaan karena kehilangan harta, bahkan nyawa.

 

Disamping masih kuatnya sikap abai, pandangan bahwa alam menyediakan berbagai sumber daya alam yang tidak terbatas dan memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri dari aneka ragam kerusakan, membuat manusia semakin semena-mena terhadap alam.

 

Pandangan-pandangan yang kurang tepat ini masih banyak dijumpai ditengah masyarakat sehingga mereka juga banyak yang kurang peduli terhadap kerusakan alam yang ada.

 

Komitmen politik

 

Komitmen dan kehendak politik pemerintah untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dalam rangka menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan mengurangi terjadinya bencana, sangalah penting.

 

Isu lingkungan hidup tidak hanya menjadi jargon politik dan tema kampanye tetapi harus digarap secara serius lewat kebijakan-kebijakan yang nyata.

 

Pemerintah perlu menata ulang politik lingkungan hidupnya. Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam harus dipastikan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan manusia dan lingkungan hidup.

 

Pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung eksploitatif dan destruktif harus ditinjau ulang, bahkan jika perlu dihentikan. Pihak-pihak yang telah terbukti melanggar ketentuan usaha yang ramah lingkungan dan turut menimbulkan bencana harus ditindak secara tegas dan mendapatkan sanksi hukum yang adil.

 

Pengajuan ijin usaha yang berdasarkan pertimbangan yuridis dan analisa akademis akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup serta berpotensi membahayakan hidup masyarakat, harus ditolak.

 

Paradigma bahwa pembangunan sektor ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup harus benar-benar dipegang teguh. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga harus berbasis pada keselamatan hidup masyarakat.

 

Politik lingkungan hidup juga perlu membangkitan kesadaran masyarakat untuk membangun relasi yang harmonis dengan alam sekitarnya. Lingkungan hidup menyediakan berbagai kebutuhan hidup, mempengaruhi kepribadian, model kehidupan, dan budaya mereka.

 

Sebaliknya juga mempunyai kemampuan dan kewajiban untuk mempengaruhi alam secara positif yaitu membentuk, menata, dan mengelola alam sebaik-baiknya sehingga hidup mereka akan terjamin dan terhindar dari beragam bencana.

 

Penataan dan penguatan politik lingkungan hidup juga sebuah proses penanaman nilai bagi masyarakat. Oleh karena itu, berbagai pihak seperti para akademisi, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, perlu diajak berdiskusi dan bekerjasama sehingga kebijakan-kebijakan dan regulasi yang terkait dengan lingkungan hidup benar-benar integral, menyeluruh, berkesinambungan, membumi, dan mampu menjaga keutuhan seluruh ciptaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar