Minggu, 21 Februari 2021

 

Asal-usul Bahasa Indonesia

 Taufik Ikram Jamil  ;  Sastrawan

                                                     KOMPAS, 21 Februari 2021

 

 

                                                           

Tidak hanya bersifat pribadi dan kelompok, perguruan tinggi pun meminta keterangan kepada saya tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan kenyataan asal-usul bahasa Indonesia dari bahasa Melayu Riau, dalam dua bulan terakhir? Hari Sabtu (09/01/2021), Program Studi Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiah, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, mengenengahkan hal serupa secara virtual. Beberapa praktisi dari universitas lain di Pekanbaru, ikut bergabung, termasuk seorang di antaranya dari Malaysia.

 

Saya ditanya soal tersebut karena mengikuti Rapat Terpumpun Asal-usul Bahasa Indonesia, Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 4-5 Desember lalu. Selain dari Riau, ikut pula dalam rapat tersebut utusan dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Utara, dan Aceh, ditambah sejumlah akademisi dari beberapa universitas di Jakarta.

 

Secara garis besar dapat disebutkan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah sekitar sebesar apa keraguan terhadap bahasa Melayu Riau sebagai cikal bahasa Indonesia? Mengapa keraguan itu muncul, apakah sebagai bentuk lain dari tercabutnya kekayaan Riau dari tanahnya sendiri sebagaimana halnya yang sudah terjadi pada kekayaan sumber daya alam ?

 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya jawab dengan mengutip kesimpulan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof Dr E. Aminuddin, M.A., Ph.D, saat menutup rapat asal-usul bahasa Indonesia itu sendiri. Menurutnya, asal-usul bahasa Indonesia dari Melayu Riau tidak perlu diperdebatkan lagi. Pengakuan tentang hal itu sangat banyak dibuat orang terutama Ki Hajar Dewantara, bahkan kemudian menjadi keputusan politik dengan diangkatnya Raja Ali Haji sebagai pahlawan nasional bidang bahasa tahun 2004.

 

Aminuddin mengakui bahwa rapat itu sendiri bermula dari adanya pengakuan asal-usul bahasa Indonesia selain yang sudah ada yakni Melayu Riau, disodorkan kepadanya berkali-kali tahun 2020. Oleh karena itu, dia berpikir lebih baik mendiskusikannya dengan mempertemukan berbagai pihak terutama kawasan yang disebut menjadi asal bahasa Indonesia seperti Riau dan Kepri. Tapi tujuannya adalah untuk memantapkan langkah bahasa Indonesia ke depan, bukan menghujat asal-usul bahasa persatuan yang dipercayai selama ini.

 

Arus utama

 

Oleh karena terlanjur ditanya, tentu saja saya kembali menerangkan bukti bahwa bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu Riau. Ada 11 butir untuk membuktikan hal itu, termasuk pengakuan dari berbagai pakar dari sejak abad lalu. Selain Ki Hajar Dewantara, ada Kees Groeneboer, Parakitri T. Simbolon, A.A. Fokker, A. Hueting, van der Roest, Chaerles Adrian van de Ophuijsen. Hal serupa juga diakui JS Badudu, Slametmuljana, Anton Moeliono, Harimurti Kridalaksana, dan Hasan Alwi.

 

Saya sodorkan juga sejumlah pernyataan para pakar tersebut, di antaranya apa yang dikutip oleh Maman S. Mahayana dalam sebuah tulisannya yang memaparkan keterangan A. Hueting dan van der Roest. “… agar lambat laun bahasa Melayu yang baik, yaitu bahasa Melayu-Riau diajarkan di sekolah-sekolah … sebagai bahasa yang memungkinkan berbagai suku bangsa hidup rukun sebagai saudara dan berunding tanpa cemburu dan iri hati…”

 

Tak salah lagi bahwa bahasa Melayu Riau yang mereka maksudkan itu adalah bahasa yang sudah dibina di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Hal ini diperlihatkan oleh tindakan sejumlah orang menulis tata bahasa Melayu Riau seperti Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Ali Kelana, dan Abu Muhamad Adnan. Paling terkenal memang Raja Ali Haji, menulis Bustan al-Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

 

Tentu, bahasa yang dibina tersebut, tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia mengalami suatu proses lingua franca sejalan dengan kegemilangan Sriwijaya yang salah satu pusatnya berada di Muaratakus, Riau. Dari tengah pulau Sumatera ini, kekuatan ini pindah ke Palembang, kemudian Bintan, Inderagiri, Singapura, Melaka, Johor, Lingga, dan Siak, sebagai suatu poros utama pensejarahan Melayu. Kenyataan Selat Melaka sebagai perairan nomor dua teramai di dunia, memunculkan dinamika kemasyarakatan sekaligus bahasa Melayu.

 

Tidak Peduli

 

Di sisi lain, dengan posisinya sebagai sumber bahasa Indonesia, pada gilirannya menanggalkan identitas daerah di tengah berkecambahnya daerah-daerah lain menonjolkan identitas masing-masing. Hal ini diperparah oleh upaya menyingkirkan Riau dari nama bahasa yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia itu sendiri terutama sejak Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954. Bandingkan dengan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938 yang masih mencantumkan nama Melayu Riau sebagai asal bahasa Indonesia.

 

Keadaan di atas dihadapi pengguna bahasa Melayu Riau dengan mengembalikan bahasa pada hakikatnya yakni lisan, sehingga sekilas terlihat berbeda dengan bahasa Indonesia. Jadilah akhir sebutan mendapat bunyi “e” pada bunyi akhir “a” dalam bahasa Indonesia, padahal perbedaan bunyi tersebut dalam bahasa Melayu Riau hanya terjadi antara lisan dengan tulisan. Tetapi kemudian orang Melayu Riau disebut meniru Malaysia yang dikaitkan dengan nasionalisme, padahal negara jiran itu juga menjadikan bahasa Melayu Johor-Riau sebagai bahasa bakunya.

 

Ikut menekan psikologi bahasa Melayu Riau adalah bagaimana begitu banyaknya perbedaan makna, padahal bunyi dan tulisannya sama. Contohnya kata “serapah” dalam pemakaian bahasa Indonesia disamakan dengan kata “seranah” dalam bahasa Melayu Riau.

 

Dalam bahasa Melayu Riau, “serapah” bermakna jampi, sedangkan kata “seranah” baru sesuatu yang bermakna maki hamun sebagaimana dimaksudkan oleh “serapah” dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, bahasa Indonesia tidak mengenal kata “seranah”.

 

Belum lagi berkaitan dengan perambahan kesejagatan bahasa, mengiringi perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan lintas bahasa mengalir deras, sehingga mempengaruhi bahasa Melayu Riau sebagaimana bahasa lainnya. Sifat bahasa Melayu Riau yang mudah berdaptasi, menyerap kosa kata baru itu “untuk menjadi dirinya” sampai pada batas-batas maksimal.

 

Persoalan masih banyak, tetapi memadailah apa-apa yang sudah disebutkan di atas sebagai tumpukan masalah yang melahirkan anomali bahasa—sekurang-kurangnya tidak begitu peduli dengan keadaan bahasa. Kalau sudah begitu, adakah yang dapat diharapkan lagi dari sumber bahasa persatuan ini?

 

Apa yang disebutkan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminuddin, bahwa membicarakan asal-usul bahasa Indonesia harus dikaitkan dengan kehidupan bahasa Indonesia pada masa mendatang, hendaknya menjawab pertanyaan tersebut. Yuk, kita diskusikan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar