Kamis, 25 Februari 2021

 

Prof Hikmahanto Juwana:

Jangan Sampai Ada Dendam Politik

 Budiman Tanuredjo  ;  Wartawan Senior Kompas

                                                     KOMPAS, 24 Februari 2021

 

 

                                                           

Satu jam berbincang dengan Prof Dr Hikmahanto Juwana SH LLM (56) seakan seribu pesan disampaikan. Prof Hik – demikian ia dipanggil – menggapai gelar guru besar di Universitas Indonesia pada usia 36 tahun. Profesor termuda di Universitas Indonesia pada tahun 2001. Rekor itu kemudian dipecahkan Prof Firmansyah yang menggapai gelar guru besar pada usia 33 tahun. Prof Firmansyah telah berpulang beberapa waktu lalu.

 

Pernah bercita-cita sebagai diplomat, putra dari diplomat senior Juwana itu,  meniti karier sebagai dosen dan kini ditunjuk sebagai Rektor Universitas Achmad Yani di Cimahi Jawa Barat. “Saya diminta Pak KSAD Jenderal Andika untuk menjadi rektor,” ujar Hik dalam obrolan di Menara Kompas, akhir pekan lalu. KSAD Jenderal Andika Perkasa adalah teman SMA di Jakarta. Target yang diberikan adalah menjadikan Unjani ke panggung akademis lebih tinggi.

 

Hik termasuk unik. Selain hobi makan makanan nusantara saat berkeliling Indonesia, dia sangat hobi olahraga. Akvititas luar ruangnya dipamerkan melalui tiktok, instagram atau media sosial lainnya. Dalam talkshow back-to-bdm, saya menyebutnya profesor tiktok. “Saya ingin sisi informal saya diketahui publik,” ujar pemain pantomin. Hik pernah belajar breakdance dan penggemar olahraga angkat berat.

 

Berbincang banyak hal dengan Hikmahanto. Soal plagiarisme, jual beli gelar doctor, dan kelemahan bangsa Indonesia. Budaya jalan pintas dan hilangnya kejujuran, jadi salah satu masalah di dunia akademis di Indonesia. Dia mengutip seniornya Prof Komar Kantaatmadja yang menyebut fenomena orang menggelar doctor tanpa membuat penelitian apa pun sebagai “Doktor batu nisan.” Saat meninggal, dalam pusara disebut, “ Doktor….”

 

Profesor kelahiran 23 November 1965 itu, mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Singapura dan Kamboja, SMA dan mahasiswa di Jakarta, meraih master di Jepang dan doktor di Inggris dan professor di Universitas Indonesia.

 

Berikut penggalan percakapan di tengah hujan lebat yang mengguyur Jakarta, akhir pekan lalu.

 

Bagaimana menanggapi rilis The Economist Intelligence Unit dan Freedom House yang menyebut demokrasi Indonesia cacat dan terpuruk dalam kurun waktu 14 tahun?

 

Menurut saya, approach otoritas penegak hukum terlalu berpihak kepada pemerintah ketika menangani isu kebebasan berpendapat. Aparat penegak hukum memang harus bertindak, ketika kebebasan berpendapat menimbulkan kekerasan atau mengarah pada diskriminasi. Akan tetapi tidak boleh terlalu “berpihak” kepada pemerintah. Kesan keberpihakan itu tampak.

 

Ada kecenderungan saat Orde Baru, senjata digunakan (untuk meredam kebebasan berpendapat). Di Singapura juga gak ada demokrasi. Siapa yang mengkritik diselesaikan lewat pengadilan. Ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Beri kesempatan rakyat berbicara. Kalau berbicara mengandung kritik, ya jawab dengan pendapat dengan data. Saya tidak ingin ada dendam politik. Hari ini dia ditangkap, saat pemerintah berkuasa. Besok giliran saya, ketika kekuasaan berganti.

 

Di Indonesia pendulum cepat berubah. Pemimpin baru selalu menafikan pemimpin pendahulunya. Yang lama dianggap nggak ada. Saat merdeka, semua bekas penjajahan, kolonial jelek dan ditinggalkan,. Saat Orde Baru, semua karya Orde Lama dihapuskan. Saat Reformasi, yang Orde Baru dihapuskan.

 

Apa betul tidak ada yang positif yang bisa diteruskan. Apa tak bisa yang jelek kemudian dikoreksi. Tidak ada kesinambungan pembangunan di negeri ini. Presiden kan berkuasa lima atau sepuluh tahun. Tapi kalau semua diubah, bagaimana ada kesinambungan pembangunan bangsa.

 

Dari sekian banyak masalah di Indonesia, apa masalah paling urgen di Indonesia?

 

Menurut saya, bagaimana generasi kita bisa mengaspresiasi karya generasi sebelumnya. Kalau tidak bisa, pendulum akan bolak-balik. Saat saya berkuasa, yang dahulu dianggap jelek. Saat orang lain berkuasa, yang sekarang dianggap jelek. Kalau siklus seperti ini terus terjadi, kapan akan selesai urusan republik. Temukan yang positif dan teruskan, koreksi kalau ada kekurangan. Kesinambungan pembangunan sebuah bangsa penting.

 

Kalau problemnya diskoneksi Anda optimistis dengan Indonesia 2025? Akan lebih besar atau bagaimana?

 

Kalau begini terus nggak akan lebih besar. Tapi saya percaya pada generasi muda Indonesia. Yang akan membuat Indonesia hebat adalah generasi muda, Saya justru mau investasi untuk generasi muda. Saya berharap generasi muda bisa melihat kesalahan generasi sebelumnya dan tidak mengulanginya. Saya senang dengan dunia pendidikan sebagai investasi untuk generasi muda.

 

Penegakan hukum di Indonesia memang menyimpan masalah. Sebuah masalah kadang dibiarkan terlalu lama tak terselesaikan dan dibiarkan menggantung, seperti kasus Bupati Sabu Raijua Orient yang disebut punya kewarganegaran ganda?

 

Bagaimana jalan keluar soal kasus Bupati Sabu Raijua?

 

Ini masalah kejujuran. Saya yakin bupati terpilih asal indonesia. Pergi keluar negeri dan memilih jadi WN Amerika. Seharusnya, beliau tahu, di Indonesia tak ada dwi kewarganegaraan.

 

Ini mirip dengan kasus Arcandra Tahar, ketika ketahuan, Pak Arcandra mengundurkan diri. Melepaskan WNA, kemudian naturalisasi untuk menjadi WNI, dan diangkat sebagai Wamen oleh Presiden Jokowi. Tapi karena konteksnya pilkada yang menunjuk kan rakyat. Berpulang pada yang bersangkutan tidak meneruskan pencalonan dengan mengundurkan diri. Ini masalah kejujuran.

 

Bagaimana Anda melihat dibawanya kasus penembakan enam orang di KM 50 tol Cikampek ke International Criminal Court?

 

Kalau ke ICC tidak akan berhasil. Pertama, Indonesia bukan anggota ICC. Kedua, tidak ada mandat dari Dewan Keamanan PBB kepada Mahkamah Kejahatan Internasional untuk membuka peristiwa ini.

 

Apakah penembakan di KM 50 itu juga masuk dalam kejahatan internasional yang mencakup kejahatan kemanusiaan, genosida dan agresi. Itu harus dibuktikan. Saya lihat itu adalah pressure kepada pemerintah untuk menyelesaikannya. Seharusnya memang diselesaikan di dalam negeri saja. Siapa yang salah, ya salah. Tidak usah ditutupi. Sekarang di era terbuka agak sudah menutupi. Berbeda dengan pada era Orde Baru.

 

Kudeta militer di Myanmar terjadi. Apa yang harus dilakukan Indonesia?

 

Kita terikat Piagam ASEAN. Prinsip non intervensi. Kita tidak bisa langsung masuk. Tapi saya usulkan back door diplomacy. Pendekatannya tidak formal, tapi informal dengan menunjuk tokoh yang punya pengaruh ke Myanmar untuk berbicara, implikasi dari kudeta militer dan reaksi internasional. Jangan sampai menimbulkan generasi mudah alergi terhadap tentara. Yang menderita rakyat Myanmar sendiri.

 

Mungkinkah terjadi di Indonesia?

 

Tidak. Karena demokrasi Indonesia berkembang relatif baik. Militer sudah tahu posisinya. TNI sekarang lebih profesional.

 

Anda sudak berkeliling ke banyak negara? Dimana negara impian Anda?

 

Jepang. Ada punctuality dan respect terhadap senior dan pemerintah. Ini soal budaya. Kalau ada orang beroposisi ya di parlemen. Di luar tetap bersahabat. Tapi kuncinya adalah disiplin dan respek terhadap senior.

 

Sosok pemimpin idaman Anda?

 

Terlepas dari masalah di negaranya, saya lihat Lee Kuan Yew. Lepas dari opresi terhadap demokrasi, Lee adalah pemimpin yang tahu masalah yang dihadapi, dan tahu bagaimana menyelesaikannya. Ketika Singapura kumuh dan bagaimana membuat bersih, dia menggunakan instrumen hukum. Mungkin karena Lee berlatar belakang sarjana hukum. Dia membuat aturan, dia memperkuat aparat hukum untuk menjadikan Singapura bersih.

 

Kalau tokoh di Indonesia yang Anda kagumi?

 

Agak sulit. Banyak tokoh tapi salah satunya adalah Mochtar Kusumaatmadja. Pak Mochtar seorang ilmuwan mumpuni, pernah di birokrrasi dan mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Setiap pertanyaan sulit dijawabnya dengan mudah tapi kena. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar