Selasa, 23 Februari 2021

 

Mengapa Tak Pulih Lebih Cepat

 A Prasetyantoko  ;  Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

                                                     KOMPAS, 22 Februari 2021

 

 

                                                           

Kita sering menghadapi situasi serba nanggung (mediocrity). Kemungkinan karena kita takut mengambil sikap tegas atau sebaliknya bersikap terlalu berpuas diri sehingga enggan melakukan aksi. Keduanya berujung pada situasi serupa, termangu pada situasi tak menentu.

 

Begitu Kierkegaard, filsuf Denmark, menjelaskannya dalam tesis The Concept of Irony. Kita tak akan diskusi soal filsafat. Kita hanya meminjamnya untuk meneropong gejala empiris yang menggelayuti prospek pemulihan ekonomi kita tahun ini.

 

Tulisan bernas M Chatib Basri di Kompas (10/2/2021) berjudul ”Mengapa Harus Pulih Lebih Cepat” penting direnungkan. Tulisan ini tak menyanggah, tetapi melengkapi dengan fakta yang tak serta-merta menyenangkan. Harapan agar kita pulih lebih cepat menyusur fakta rumit dan tak menjanjikan.

 

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbaru World Economic Outlook edisi Januari 2021 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini 4,8 persen. Padahal, dalam laporan Oktober 2020, proyeksinya jauh lebih tinggi atau 6,1 persen. Prospek pemulihan ekonomi kita cenderung melemah seiring berjalannya waktu.

 

Harus diakui, melakukan proyeksi di tengah ketidakpastian seperti sekarang ini tidaklah mudah. Namun, poinnya, harapan pulih lebih cepat bertemu fakta tak menjanjikan. Badan Pusat Statistik baru saja merilis pertumbuhan 2020 sebesar minus 2,07 persen atau terburuk sejak krisis 1998. Angka kontraksi tergolong moderat, tetapi pemulihan ekonomi juga tak begitu menggairahkan.

 

Tahun ini, pemerintah punya proyeksi pertumbuhan antara 4,5 persen hingga 5,3 persen. Sebuah angka yang relatif moderat dibandingkan dengan prospek negara lain.

 

India, misalnya, tahun ini diproyeksikan IMF tumbuh 11,5 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan China sebesar 8,1 persen. Pada 2020, perekonomian India terkontraksi sekitar 8 persen. Semakin parah kontraksi, pemulihan ekonomi juga akan lebih tinggi karena pertumbuhan ekonomi mengukur perbedaan output produksi nasional pada periode tertentu dibandingkan periode sebelumnya.

 

Terhadap jalur moderat pemulihan ekonomi ini, apakah kita memang dengan sengaja memilihnya atau situasilah yang memaksa kita berada di jalur itu? Mungkin jawabannya adalah keduanya.

 

Situasi membatasi

 

Kebijakan ekonomi selalu berhadapan dengan pilihan terbatas dengan dilema di setiap keputusannya. Memilih salah satu mengakibatkan kehilangan peluang yang ada dalam pilihan lainnya. Menghadapi Covid-19 tampaknya kita memilih jalur kebijakan moderat karena situasi memang membatasi.

 

Pertama, dari sisi fiskal kita terikat Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur batas atas defisit anggaran sebesar 3 persen. Padahal, kita tahu, situasi luar biasa ini memerlukan dorongan fiskal sangat besar. Keterbatasan itu telah dipecahkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 guna membuka hambatan regulasi, terutama terkait batasan defisit fiskal.

 

Kedua, meski batas atas defisit dibuka, perppu juga sekaligus mengikat kita untuk kembali pada angka maksimum 3 persen pada 2023. Itulah sebabnya, meskipun telah dibuka batas atasnya, stimulus tidak dilakukan secara progresif karena punya beban untuk kembali dalam dua tahun dari sekarang.

 

Resesi kali ini memang amat sulit dikalkulasi; tak mudah melakukan prediksi. Janji kembali ke angka 3 persen bisa jadi merupakan bagian kesulitan mengantisipasi situasi.

 

Ketiga, meskipun pemerintah punya kesempatan untuk menerbitkan perppu kembali yang memperpanjang defisit di atas 3 persen pada periode berikutnya, tampaknya situasi politik tak serta-merta mudah.

 

Presiden Joko Widodo dan kabinetnya akan berhenti pada 2024. Sebenarnya, dari sisi kesantunan politik, masuk akal jika Presiden mengembalikan posisi keuangan negara yang pruden sebelum menyelesaikan periodenya.

 

Pandemi Covid-19 adalah musuh tidak kelihatan yang hingga hari ini tak bisa diprediksi dengan baik kapan berakhirnya. Bahkan lebih rumit lagi, para ahli epidemiologi sekalipun belum berani menyimpulkan cara berakhirnya. Sangat mungkin Covid-19 tak akan hilang, pandemi akan berubah menjadi endemi. Meski tak terjadi seluas sekarang dan mungkin kurang mematikan, virus korona akan tetap bersama kita dalam kurun waktu cukup lama.

 

Dengan demikian, perekonomian tidak akan kembali pada masa sebelum Covid-19. Bisa jadi akan ada sektor industri yang tak lagi bisa bangkit, tetapi ada sektor yang justru memiliki peluang tumbuh lebih besar.

 

Masalahnya, jika sektor yang surut tersebut menyerap tenaga kerja banyak, pemerintah tak bisa tinggal diam. Kebijakan fiskal tetap harus mampu menyangga agar kesejahteraan sosial tetap terjaga. Bantuan sosial, stimulus dunia usaha, bisa jadi tetap akan menjadi pos anggaran yang harus disediakan pemerintah dalam kurun waktu cukup lama.

 

Dalam satu tahun terakhir, pemerintah sangat cermat menghitung pengeluaran sosial yang harus disediakan akibat pandemi. Menteri Keuangan tentu punya kalkulasi, subsidi harus tetap tersedia, tetapi bukan dalam jumlah yang tidak terbatas. Apalagi, defisit fiskal harus kembali pada batas atas 3 persen pada 2023. Manuver kebijakan berada dalam ruang yang cukup terbatas.

 

Itulah sebabnya, kebijakan pengendalian virus tak bisa dilakukan secara ekstrem. Banyak negara memilih kebijakan lockdown ketat dalam kurun waktu cukup lama. Selandia Baru adalah contoh negara kecil yang sangat ketat mengisolasi diri dari mobilitas global sehingga negara itu bisa mendeklarasikan diri sebagai salah satu negara yang bebas virus korona.

 

Kebijakan lockdown ketat tak dipilih karena biayanya sangat mahal. Pemerintah harus menyediakan belanja sosial sangat tinggi. Akhirnya, yang terjadi adalah kompromi. Pembatasan tetap dilakukan, tetapi dengan berhati-hati.

 

Akibatnya, banyak pihak menangkapnya sebagai sinyal yang ambigu, tak jelas maunya apa. Dilema dalam kebijakan pengetatan memang rumit sehingga membuat kita berada dalam situasi yang serba tanggung.

 

Arah pemulihan

 

Vaksin merupakan game changer penanganan pandemi. Kecepatan melakukan vaksinasi akan sangat menentukan pemulihan ekonomi. Banyak negara memacu target vaksinasi nasional agar tercipta kekebalan komunitas, seperti dilakukan Israel. Dengan demikian, harapannya ekonomi segera bangkit. Faktor inilah yang membuat proyeksi pertumbuhan negara maju lebih baik dibandingkan perhitungan sebelumnya.

 

IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) 2021 sebesar 5,1 persen. Di antara kelompok negara maju, AS termasuk yang pulih cepat dengan angka yang relatif tinggi.

 

Ada dua faktor yang membuat perekonomian AS pulih di atas perkiraan banyak pihak. Pertama, kebijakan fiskal yang sangat agresif sehingga bisa memompa dinamika ekonomi. Kedua, pelaksanaan vaksinasi secara intensif. Kombinasi di antara keduanya merupakan resep yang untuk sementara dianggap paling baik.

 

Tampaknya pemerintah Joe Biden tak akan kesulitan mendapatkan persetujuan Senat tambahan anggaran 1,9 triliun dollar AS guna membiayai penyelamatan ekonomi akibat pandemi. Padahal, sebelumnya, Presiden Donald Trump sudah mendapatkan injeksi lebih dari 4 triliun dollar AS. Biaya yang dikeluarkan AS untuk memerangi pandemi hampir setara dengan separuh perekonomian AS. Dampaknya, tingkat utang pemerintah melonjak menjadi 130 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

 

Dalam hal vaksin, Biden terus memacu vaksinasi dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Keduanya juga menjadi rumus yang dinilai ampuh, vaksin tak bisa sendiri, hal itu juga harus dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan tinggi.

 

Data Fiscal Monitor Update Januari 2021 terbitan IMF menunjukkan AS akan mengalami defisit fiskal sebesar 11,8 persen tahun ini, sedangkan China 11 persen dan India 9,7 persen. Indonesia memilih jalur moderat dengan proyeksi defisit 2021 sebesar 6,1 persen.

 

Pada 2020, realisasi defisit anggaran sebesar 6,09 persen atau lebih rendah dari rencana seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No 72 Tahun 2020 sebesar 6,34 persen. Tentu saja sebuah berita bagus karena jalan menuju defisit 3 persen pada 2023 semakin dekat. Namun, di sisi lain, hal itu memunculkan dilema hilangnya momentum pemulihan ekonomi. Dengan keterserapan anggaran pemulihan yang tak optimal, pemulihan ekonomi juga terhambat.

 

Jalur pemulihan ekonomi agak berbeda dengan India, yang pada 2020 terkontraksi tajam, salah satunya akibat kebijakan pengetatan ekonomi, biaya krisis yang besar, tetapi prospek pemulihan lebih cepat. Salah satu faktor utamanya adalah mereka berhasil menurunkan angka pasien terinfeksi secara tajam.

 

Tak seluruhnya akibat kebijakan ekonomi. Bisa jadi secara alamiah virus mulai melemah. Yang jelas, situasi ini belum terjadi pada kita. Penambahan kasus masih relatif tinggi, belum ada tanda-tanda virus korona mereda. Kenaikan siklus ekonomi bagaimanapun sangat tergantung penurunan siklus penyakit. Vaksin menjadi perangkat mitigasi penting saat ini, pertandingan antara kecepatan injeksi (vaksin) dan peningkatan infeksi harus dimenangi dengan percepatan program vaksinasi.

 

Meski demikian, ini juga bukan perkara mudah ternyata karena kalaupun anggaran tersedia, tingkat produksi serta distribusi tak serta-merta bisa dipenuhi. Belum lagi dengan tenaga medis yang melakukan penyuntikan vaksin, yang jumlahnya selain terbatas juga tak merata.

 

Pada akhirnya, memang tak ada jalan mudah menghadapi masalah rumit ini. Namun, bisa jadi pemerintah harus sedikit berani mengetatkan ekonomi, mengakselerasi vaksinasi dan memperlonggar defisit fiskal.

 

Tak ada formula tunggal dan bahkan rujukan kesuksesan. Tiap negara punya formulanya sendiri. Pandemi bagaikan laboratorium kebijakan publik yang pelik. Salah satu pertanyaan paling penting dalam kebijakan publik ke depan adalah perlukah kita buru-buru kembali ke defisit anggaran 3 persen pada 2023 nanti.

 

Kalaupun kita tidak bisa pulih lebih cepat, tentu kita harus punya pijakan kebijakan mengapa kita (memilih) jalur lambat. Bisa jadi, pemulihan bertahap memungkinkan kita menaruh fondasi yang lebih kuat dan terukur (pruden) sehingga kalaupun pertumbuhan ekonomi 2021 tak setinggi banyak negara besar lain, harapannya lebih tahan gejolak dan berkesinambungan.

 

Tentu alasan ini harus dibuktikan dengan argumen yang kokoh, bukan sekadar mengatur gaya saat terpelanting jatuh. Terhadap fakta rumit yang brutal ini, mungkin kita perlu kembali pada rujukan filosofis Kierkegaard. Situasi serba nanggung (mediocrity) hanya bisa dipecahkan dengan tampilnya seorang atau sekelompok orang yang berani mendobrak ketakutan dan absennya tindakan akibat sikap puas diri. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar