Kamis, 25 Februari 2021

 

Imunitas Vaksinasi dan Alami

 Djoko Santoso  ;  Guru Besar Kedokteran Unair; Ketua Pengurus Badan Kesehatan Dewan MUI Provinsi Jawa Timur; Penyintas Covid-19

                                                     KOMPAS, 25 Februari 2021

 

 

                                                           

Ampuh manakah, kekebalan yang terbentuk dari vaksinasi dengan kekebalan setelah terinfeksi Covid-19?

 

Pertanyaan ini penting disampaikan setelah Covid-19 melampaui angka positif sejuta dan pemerintah terlihat tersentak serta semakin serius menangani pandemi. Vaksinasi digencarkan. Untuk tahap para tenaga kesehatan sudah berjalan, dan segera berlanjut ke penerima prioritas selanjutnya.

 

Pemerintah juga memberlakukan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), beberapa provinsi menerapkan PPKM mikro yang dikawal satpol PP, polisi, bahkan TNI. Ini menandakan pemerintah makin menyadari pembatasan mobilitas adalah pilar penting untuk pencegahan meluasnya penularan, selain memperbanyak testing dan tracing. Tentu, kita tak boleh tutup mata terhadap kritik beberapa epidemiolog bahwa ada data sekian juta orang terpapar yang katanya disembunyikan.

 

Dimulainya vaksinasi memberikan dampak meningkatnya rasa percaya diri Satgas Covid-19 dalam menangani pandemi. Satgas menargetkan, hingga akhir April nanti bisa memvaksin 1,3 juta tenaga kesehatan, 17,4 juta petugas publik dan 21,5 juta lansia. Setelah itu baru dilanjutkan ke masyarakat umum.

 

Patut diapresiasi, Satgas akan meningkatkan kapasitas penyuntikan yang saat ini baru sekitar 80.000 injeksi per hari. Sekitar 10.000 fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah terdaftar, akan ditambah dengan pos-pos vaksin, menambah vaksinator, dan menambah hari kerja menjadi tujuh hari seminggu.

 

Dengan cara ini, diharapkan vaksinasi pertama bisa menjangkau target 40 juta orang hingga akhir April, dan terus berlanjut hingga memenuhi target 180 juta penerima. Vaksinasi massal, sejauh tak ada kejadian luar biasa yang tak diharapkan, diharapkan akan membentuk kekebalan komunitas (herd immunity). Teorinya, kekebalan komunitas terbentuk jika vaksinasi sudah menjangkau sekitar 80 persen populasi.

 

Tentu masih ada yang meragukan atau bahkan menentang vaksinasi, dengan berbagai alasan. Misalnya, karena membaca berita yang menyebutkan adanya penerima vaksinasi yang mengalami efek samping, bahkan meninggal. Berita ini diekspos besar-besaran, dan bisa mengganggu keyakinan pada vaksinasi.

 

Kita tetap perlu optimistis. Sejak ditemukan pada 1796 oleh dr Edward Jenner, metode vaksinasi sudah digunakan selama 232 tahun. Vaksinasi efektif memacu respons imun tubuh, dan sangat membantu menghentikan atau mengerem penyebaran penularan. Di sisi lain, orang yang terinfeksi, tetapi kondisi tubuhnya prima, bisa memproduksi kekebalan yang akan melawan virus.

 

Plus-minus kekebalan alami

 

Secara umum orang dalam kondisi sehat prima (misalnya, atlet berusia muda yang disiplin menjaga gaya hidup sehat dan tak punya riwayat penyakit berat), sulit sakit gara-gara terinfeksi ringan, seperti flu. Virus flu akan gampang dilibas oleh sistem kekebalan tubuhnya yang sehat prima. Jika terserang virus ganas dan berbahaya, seperti Covid-19, besar kemungkinan bisa bertahan.

 

Dalam hal ini mekanisme imunnya bisa disebut ideal, jika diurai bagaikan susunan payung pelindung kuat yang terdiri dari komponen mulai dari kulit dan mukosa, hingga lisosom, fagosit, imunitas seluler (makofag, sel ”natural-killer”, Neutrofil), komplemen, interferon yang langsung nyambung dengan imunoglobulin sebagai bagian dari sistem imun spesifik.

 

Semua terkoordinasi dengan baik. Jika mereka terserang, sistem kekebalan tubuhnya dengan cepat mengidentifikasi si virus, meningkatkan gerakan ke arah virus, (kemotaksis), perlekatan, penelanan dan berakhir ke proses pencernaan di intrasel oleh mekanisme antimikroba.

 

Selain sistem kekebalan akan meresponsnya dengan memproduksi tentara tubuh yang juga langsung membasmi virus Covid-19, tubuh juga mengaktifkan sistem imun yang spesifik di mana sel yang bertanggung jawab adalah sel limfosit T dan limfosit B.

 

Maka, terbentuklah kekebalan alami, yakni sistem kekebalan tubuh sudah mengenali si virus, baik bentuk fisik maupun karakternya, dan memasukkan data ini dalam memori (dalam hal ini sel plasma). Jika lain waktu virus korona masuk lagi, dengan cepat terbentuk immunoglobulin dan tentara tubuh siap tempur dan langsung membasminya lagi.

 

Ini cara kerja kekebalan alami dalam hubungannya dengan respons imun non-spesifik dan respons imun spesifik, yang didapat orang sehat yang terinfeksi virus secara langsung hingga tubuhnya berhasil menormalkan dan memelihara homeostatis dari serangan itu.

 

Akan tetapi, populasi di sebuah negara, jumlah orang yang kesehatannya sangat prima seperti ini jumlahnya sedikit. Jika hanya mengandalkan terbentuknya kekebalan alami, hanya sedikit populasi yang bisa dijangkau. Sementara, mayoritas lain berada dalam kondisi riskan mengalami disfungsi imun ketika terserang Covid-19 sehingga gagal mencapai kekebalan yang diinginkan.

 

Secara ilmiah ini yang dikatakan keadaan patologi imunitas yang merupakan akibat gagalnya sinkronisasi hubungan kausal antara sel target dan mediator sel. Virusnya cukup canggih (melalui proses evolusi) hingga mampu menyandikan protein tertentunya dalam rangka melawan respons antivirus dari pihak tuan rumah (hos), hingga bisa mengoptimalkan daya serang masuk ke sel hos.

 

Virusnya bisa menghindari serangan tentara tubuh melalui antagonisme interferon hingga terjadi pelepasan virus berkepanjangan. Alhasil, terjadi malfungsi sistem pertahanan tubuh (misalnya, sel T melakukan bunuh diri-apoptosis, malfungsi reseptor sel T, kelelahan fungsional dari sel kekebalan), peningkatan viral load, pelepasan sitokin tak terkendali hingga menyebabkan kerusakan jaringan paru yang luas.

 

Dari sisi sosiodemografi, yang mayoritas itu populasi dengan beragam kondisi: ada yang kesehatannya pas-pasan, ada yang memiliki beragam penyakit mulai yang ringan hingga berat, beragam usia mulai bayi hingga kakek-nenek, hidup di beragam kondisi lingkungan, dan beragam kondisi lain (misalnya konstitusi genetik).

 

Dengan kondisi sangat beragam ini, sulit memperkirakan siapa yang akan bertahan dan lolos melewati serangan Covid-19 dengan segar bugar, siapa yang akan lolos tapi beberapa organ pentingnya jadi rusak, dan siapa yang akan kalah hingga meninggal.

 

Hampir tak ada orang yang memilih terpapar dengan harapan akan memperoleh kekebalan. Karena pilihan ”sengaja terpapar” ini berisiko. Iya kalau berhasil lolos dan sembuh; bagaimana jika tidak?

 

Sebagian besar yang terinfeksi dan selamat, akan memperoleh beberapa antibodi dan sel kekebalan yang dapat melawan infeksi selama beberapa waktu tertentu. Akan tetapi, kondisinya beragam karena perbedaan jumlah virus yang menyerang dan juga perbedaan kondisi kesehatan. Orang muda dan sehat lebih tahan jika terpapar infeksi, dan besar kemungkinan pulih.

 

Akan tetapi, bukan berarti jaminan sembuh sempurna. Satu dari tiga orang yang pulih dari Covid-19 muncul keluhan kronis seperti kelelahan dan jantung berdebar kencang dan gejala mirip lupus (kelelahan, nyeri sendi, ruam, demam) selama berbulan-bulan kemudian. Gejala ini bisa terjadi termasuk pada orang muda sehat di bawah 35 tahun dan tak memiliki riwayat penyakit sebelumnya.

 

Dengan kondisi itu, pada populasi umum dengan beragam kondisi kesehatan, jika terserang virus SARS-CoV-2, situasinya bisa jadi riskan. Pada orang yang kesehatannya pas-pasan, tetapi menjalani isolasi mandiri yang benar dan ketat, dan secara tepat mengobati sakit lain yang muncul, kebanyakan akhirnya bisa sembuh mengalahkan Covid-19.

 

Akan tetapi, pada orang yang punya riwayat penyakit berat seperti kelainan jantung, gangguan pernapasan akut, gagal ginjal, atau hipertensi, kondisinya bisa lain. Apalagi jika hidup di lingkungan tak sehat, jauh dari fasilitas kesehatan, kondisi ekonomi kurang mampu. Bisa fatal, bisa meninggal. Terbukti sangat banyak korban meninggal.

 

Pada orang yang memiliki satu atau beberapa penyakit berat, ada yang akhirnya selamat lolos dari kematian, tetapi satu atau beberapa organ pentingnya rusak, tak berfungsi seperti saat sebelum terkena Covid-19.

 

Mayoritas populasi dalam kondisi riskan seperti ini. Populasi mayoritas ini secara umum berada dalam ancaman terinfeksi virus, sekaligus berpotensi jadi agen penyebar penularan. Itu mengapa vaksin sangat penting.

 

Efisiensi kekebalan vaksinasi

 

Melihat sangat banyak populasi rentan itu, vaksinasi ditujukan untuk melindungi populasi mayoritas yang beragam kondisi kesehatannya ini. Biayanya juga sangat ekonomis untuk mengendalikan Covid-19 yang sangat menular.

 

Semahal-mahalnya vaksin, masih jauh lebih murah ketimbang mengobati pasien Covid-19 yang per orang bisa ratusan juta rupiah. Pengembangan vaksin yang baik didesain untuk meniru perlindungan alami kondisi tubuh yang sehat prima.

 

Sistem kekebalan tubuh diharapkan bekerja sangat baik sehingga bisa mengenali virus, lalu meresponsnya dengan memproduksi antibodi dan tentara tubuh yang akan menetralkan atau membasmi virus. Pengembangan vaksin dilakukan sangat terukur dan terkontrol sehingga secara umum bisa menghasilkan kemanjuran, aman, dan efek samping minimal yang dapat ditoleransi.

 

Dengan memasukkan vaksin dari virus yang dilemahkan atau dimatikan (salah satu metode produksi vaksin), tubuh dilatih mengenali wujud virus hingga muncul tanggapan kekebalan.

 

Pendekatan lain menggunakan teknik lebih maju. Vaksin tipe ini menitikberatkan bekerjanya pada tingkat genetik. Yakni, menanamkan instruksi dalam DNA atau RNA, atau menggunakan virus jinak (sebagai vektor virus) untuk mengirimkan antigen (spike protein atau kaki-kaki yang menginduksi respons imun pelindung) langsung ke sel dalam sistem kekebalan tubuh.

 

Harapannya, bisa memicu respons imun. Vaksinasi akan menghasilkan protein tonjolan atau kaki-kaki virus korona yang masuk ke tubuh. Radar sistem pertahanan tubuh akan mengenali bentuk spike protein ini yang dianggapnya virus asli.

 

Karena itu, pusat kendali sistem pertahanan tubuh langsung memproduksi immunoglobulin dan memperbanyak tentara tubuh, serta memerintahkan untuk menyerang dan membasmi spike protein, yang disangkanya virus sesungguhnya tadi.

 

Inilah yang terjadi, sistem pertahanan tubuh dilatih mengenali dan membasmi si virus. Jika suatu saat virus korona asli benar-benar masuk ke tubuh, memori sistem pertahanan tubuh sudah hafal, mengenali, dan langsung meresponsnya dengan cepat memproduksi immunoglobulin dan menurunkan tentara penyergap.

 

 

 

 

Maka, virusnya dibasmi oleh tentara tubuh lengkap dengan senjatanya. Selain itu, masih ada pendekatan lain, misalnya vaksin berbasis protein dengan hasil akhir sama: menginduksi respons imun untuk mencegah infeksi.

 

Vaksinasi didesain untuk melindungi populasi mayoritas yang sangat beragam kondisinya. Dengan rentang efikasi dari lima vaksin yang sudah dapat izin BPOM berkisar 60-94,5 persen, vaksin-vaksin ini diyakini secara medis mampu memunculkan respons kekebalan yang cukup pada mayoritas populasi, sekaligus menghambat penyebarannya. Apakah kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi lebih baik dibanding kekebalan alami orang yang sembuh setelah terpapar?

 

Sejauh ini belum ada laporan hasil studinya. Namun, mengacu pada pengembangan vaksin untuk beberapa patogen, seperti bakteri pneumokokus yang menyerang saluran pernapasan, vaksinasi terbukti menghasilkan kekebalan yang lebih baik daripada yang dihasilkan karena terpapar langsung.

 

Pada kasus Covid-19, data awal setidaknya mengindikasikan seperti itu. Para sukarelawan yang disuntik vaksin Moderna, memiliki lebih banyak antibodi di darahnya (salah satu tolok ukur respons kekebalan), dibandingkan orang tanpa vaksinasi yang pernah terpapar dan kemudian sembuh.

 

Dalam skenario vaksinasi, setiap orang akan dapat dosis sama. Dosis ini dirancang dengan baik agar bisa memunculkan respons kekebalan pada populasi mayoritas, dengan kondisi kesehatan beragam. Tujuannya agar bisa menghasilkan kekebalan kelompok, sehingga bisa meminimalkan penularan.

 

Artinya, jika sebagian besar populasi kebal, seseorang dengan penyakit Covid-19 tak mungkin menyebabkan wabah. Jelas sangat berbeda dengan imunitas alami yang untuk mencapai tingkat kekebalan komunitas harus melalui infeksi alami, tetapi tingkat kematian (minimal 1 persen bahkan lebih) di antara semua orang di komunitas. Sungguh tak bisa diterima akal sehat.

 

Risiko sangat sedikit

 

Sejauh ini, vaksinasi Covid-19 hanya memunculkan sedikit risiko. Memang ada berita sekian orang penerima vaksin mengalami efek samping, bahkan ada yang meninggal. Akan tetapi, meninggalnya itu karena memang sebelumnya memiliki penyakit penyerta yang berat.

 

Jumlah orang yang menderita efek samping sebenarnya sangat sedikit dibanding keseluruhan penerima vaksin di seluruh dunia. Dan, efek samping karena vaksinasi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan efek samping yang muncul karena terpapar langsung tanpa vaksinasi.

 

Pada orang yang sembuh dari terpapar Covid-19 dan karena itu sudah memiliki kekebalan, jika kemudian divaksinasi, apakah bermanfaat? Hipotesisnya tetap bermanfaat karena respons kekebalan alaminya akan meningkat setelah vaksinasi.

 

Vaksinasi bisa jadi booster (penguat) dari kekebalan alami setelah lolos dari terinfeksi. Merujuk uji klinis vaksinasi, 10 persen peserta ternyata sebelumnya telah terpapar Covid-19 tanpa disadarinya, dan respons kekebalannya sedang dianalisis.

 

Dengan demikian, secara umum, vaksinasi ini aman dan potensi risikonya sangat sedikit. Itulah vaksinasi, cara saintifik dan bijak dalam memperoleh kekebalan kelompok yang efisien dan efektif. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar