Rabu, 24 Februari 2021

 

Tantangan Pertanian di Era Pandemi Covid-19

 Ali Khomsan  ;  Guru Besar Pangan dan Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB

                                                     KOMPAS, 23 Februari 2021

 

 

                                                           

Urbanisasi atau perpindahan orang dari desa dan kota sering terjadi manakala kehidupan di kota lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan di desa. Jakarta adalah contoh kota metropolitan yang selalu menghadapi problem urbanisasi.

 

Dalam kaitannya dengan sektor pertanian, fenomena urbanisasi akan mengurangi tenaga kerja pertanian di perdesaan dan dampak selanjutnya adalah pertanian hanya akan ditekuni petani-petani tua yang masih mau bertahan di perdesaan.

 

Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 di Indonesia ternyata berdampak pada pergeseran tenaga kerja. Banyak orang kembali ke desa karena hidup di kota semakin sulit akibat pemutusan hubungan kerja dan kehidupan ekonomi pada sektor informal yang memburuk (sesungguhnya dampak pandemi terhadap ekonomi bersifat luas dan global).

 

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tenaga kerja pertanian pada Agustus 2019 tercatat 36,71 juta orang dan meningkat menjadi 41,13 juta orang pada Agustus 2020. Ini indikasi terjadinya migrasi orang-orang kota dengan ketrampilan terbatas yang semula bergelut di sektor informal di kota dan kemudian kembali ke desa saat pandemi semakin membuat ekonomi terpuruk.

 

Dalam hal ini pertanian telah berperan sebagai buffer untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat eks penduduk kota yang kehilangan pekerjaan dan kemudian ditampung di sektor pertanian di desa.

 

Bila bertambahnya tenaga kerja sektor pertanian di desa tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas, maka problem kemiskinan di perdesaan akan semakin berat. Hingga September 2020, 46,3 persen rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian.

 

Jadi, di satu sisi pertanian telah menyelamatkan kehidupan ekonomi orang kota yang kembali ke desa akibat pandemi, namun di sisi lain pertanian juga menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

 

Problem tenaga kerja pertanian di Indonesia adalah rendahnya pendidikan. Sejumlah 65,23 persen atau 24,93 juta tenaga kerja pertanian hanya berpendidikan SD ke bawah dan lebih separonya berusia di atas 45 tahun.

 

Beban pertanian cukup berat karena jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 271 juta jiwa mengonsumsi produk-produk pertanian yang belum sepenuhnya dapat dihasilkan secara cukup oleh sektor pertanian dalam arti luas.

 

Masih banyak komoditas pangan pertanian yang harus diimpor. Produktivitas yang rendah dan tidak efisien di pertanian kita menyebabkan pangan impor lebih diterima masyarakat, apalagi kalau ternyata pangan impor harganya lebih murah.

 

Pertanian memiliki arti yang strategis dalam perekonomian nasional karena subsektor ini menyediakan kebutuhan paling esensial bagi kehidupan, yaitu pangan. Namun, hingga kini sektor pertanian belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani kita. Di mana salahnya?

 

Banyak pihak menyadari tentang persoalan ”kegureman” petani kita sehingga sulit meraih kesejahteraan. Oleh karena itu, reforma agraria menjadi hal penting dan mendesak untuk meningkatkan lahan garapan petani. Penataan dan pemanfaatan lahan-lahan tidur hendaknya menjadi fokus reforma agraria.

 

Meski lahan-lahan tidur tersebut nantinya tidak menjadi milik petani namun yang penting petani bisa bercocok tanam dengan lahan garapan yang lebih luas dan bukan lagi hanya 0,3 ha.

 

Indonesia memerlukan transformasi yang mengubah pertanian dan perdesaan yang “bersifat tradisional”, menjadi pertanian dan perdesaan yang “berbudaya industri”.

 

Berbudaya industri antara lain dicirikan oleh (1) produk yang berstandar dan berkualitas, (2) tepat waktu dalam pasokan produk, (3) sedikit ketergantungan terhadap lingkungan dalam proses produksi, (4) sistem permodalan yang kuat, dan (5) sistem manajemen yang akuntabel.

 

Produksi pertanian menghadapi beragam tantangan. Sektor pertanian harus dapat menekan kehilangan (loss) pada saat panen hingga pascapanen. Dalam suatu pertemuan Pokja Khusus di Wantanas tanggal 3 Nopember 2020, Badan Ketahanan Pangan Kementan memaparkan loss yang terjadi dalam produksi beras yaitu: 9,49 persen (panen), 4,81 persen (pengumpulan), 2,98 persen (pengeringan), 2,17 persen (perontokan), dan 1,41 persen (penyimpanan).

 

Total loss dalam produksi padi mencapai 20,86 persen. Kehilangan padi/beras saat panen dan pascapanen sejumlah angka tersebut akan secara signifikan menurunkan ketersediaan pangan nasional. Untuk produk kacang tanah total loss adalah 10,6 persen, kedelai 10 persen, dan jagung 8,95 persen

 

Mendorong agar sarjana-sarjana pertanian mau bergelut memajukan pertanian Indonesia di perdesaan bukan persoalan mudah dan sederhana. Saat ini perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Pertanian jumlahnya sudah tak terhitung.

 

Setiap tahun ribuan sarjana pertanian dihasilkan di seluruh Indonesia. Mereka adalah tenaga-tenaga kerja yang siap terjun ke dunia pertanian. Namun, para sarjana pertanian yang sudah bergelut dengan teori dan praktek ilmu pertanian selama empat tahun di bangku universitas akhirnya harus menekuni bidang pekerjaan yang tidak relevan dengan apa yang dipelajarinya.

 

Fenomena tenaga kerja yang seolah-olah salah penempatan bukan hanya monopoli sarjana pertanian, tetapi banyak sarjana dari bidang ilmu lain kini juga mengalami problem serupa.

 

Sebagai pelipur lara, maka siapapun boleh berdalih bahwa kuliah S1 di perguruan tinggi sebenarnya adalah untuk mengasah nalar. Selama studi di perguruan tinggi mahasiswa berlatih untuk menganalisis beragam masalah sesuai dengan bidang ilmunya, belajar berdiskusi, menulis paper, sampai melakukan penelitian.

 

Hasilnya adalah sarjana yang cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai dengan latar pendidikannya, ternyata tidak menjadi persoalan.

 

Padahal dalam menempuh pendidikan tinggi di PTN, negara telah turut andil memberikan subsidi puluhan juta rupiah kepada setiap mahasiswa sampai menjadi sarjana. Namun toh akhirnya ilmu yang dipelajarinya tidak secara optimal dapat dimanfaatkan karena lowongan kerja yang tidak sesuai dengan ilmu yang telah dipelajarinya di universitas.

 

Kalau mau jujur, semua tentu merasa rugi. Negara, perguruan tinggi, dan mahasiswa semuanya telah mencurahkan biaya, tenaga, dan pikirannya untuk menghasilkan sarjana yang ternyata tidak sesuai dengan bidang kerja yang tersedia.

 

Peran pertanian dalam mendukung ketersediaan pangan tentu tidak diragukan lagi. Ada satu hal lagi yang hendaknya diperhatikan oleh sektor pertanian, yaitu di mana kiprah pertanian dalam pembangunan gizi?

 

Di Amerika, USDA (United States Department of Agriculture) berperan aktif dalam merumuskan pedoman gizi bagi masyarakat (dietary guidelines). Bahkan USDA mencanangkan bantuan program susu untuk anak sekolah di negara-negara sedang berkembang (termasuk di Indonesia) beberapa tahun yang lalu.

 

Kementrian Pertanian di Indonesia pernah berperan aktif dalam UPGK (Upaya Perbaikan Gizi Keluarga). Empat dekade yang lalu kita masih mengenal taman gizi, warung hidup, apotik hidup yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan UPGK.

 

Kini setelah UPGK berganti wujud menjadi posyandu, semakin berkuranglah peran Kementan dalam mendukung perbaikan gizi. Masalah gizi adalah persoalan multisektor dan oleh sebab itu pemecahannya bukan melulu tanggung jawab nutritionist atau tenaga kesehatan. Ketahanan pangan dan gizi harus didukung sinergi seluruh pihak terkait untuk mewujudkan SDM yang handal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar