Sabtu, 20 Februari 2021

 

Meminimalisasi Pandemi, Meneguhkan Keberagamaan Aktif

 Abd A’la  ;  Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Abdi Pondok Pesantren Annuqayah Latee Sumenep

                                                     KOMPAS, 19 Februari 2021

 

 

                                                           

Kendati vaksinasi Covid-19 telah dimulai di Indoensia dan berbagai belahan dunia, kita belum dapat memastikan kapan pandemi dan penyebaran virus mematikan ini akan berhenti, khususnya di negeri ini. Persoalannya bukan hanya sebatas pada persoalan efektivitas vaksin dan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu, tapi juga berpulang sikap dan perilaku hidup masyarakat.

 

Sampai batas tertentu, pola keberagamaan masyarakat ikut juga menentukan. Dengan demikian, terkait dengan Indonesia yang terkenal dengan ketaatan masyarakatnya dalam beragama, peneguhan keberagamaan yang lebih mendukung kepada penghentian penyebaran virus ini niscaya sangat perlu dilakukan.

 

Membaca keberagamaan umat

 

Kita perlu melirik pola keberagamaan masyarakat karena beragama bukan sekadar persoalan teologis keimanan kepada sang Pencipta semata. Lebih dari itu, hal ini juga berkaitan dengan ejawantah keimanan yang termanifestasi dalam kehidupan sosial dan aspek-aspek yang lain.

 

Dengan menggunakan pola keberagamaan Yasemin El-Menouar (2014) dari Bertelsmann Stiftung Jerman yang terdiri lima komponen dasar, senyatanya keberagamaan umat beragama di Indonesia tidak menyisakan persoalan berarti bagi penanganan Covid-19.

 

Unsur keberagamaan, yaitu basic religiosity (keimanan dasar), central religious duties (kewajiban utama), religious experience (pengalaman beragama), religious knowledge (pengetahuan agama), dan religious orthopraxis (pengamalan ajaran agama), yang hidup di tengah-tengah masyarakat tidak tampak berseberangan dengan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19.

 

Ambil contoh mengenai basic religiosity masyarakat sebagai dasar utama beragama. Pada awalnya memang ada pandangan teologis segelintir masyarakat dan tokoh agama yang kurang kondusif. Mereka, misalnya, mengaitkan terjadinya pandemi dengan hukuman Tuhan dan mereka meyakini hanya pendosa yang kemungkinan besar akan terpapar wabah. Namun, pandangan semacam ini tampaknya kian mengecil.

 

Unsur-unsur keberagamaan lain juga nyaris senada dengan keagamaan dasar tersebut, juga tidak menampakkan fenomena yang berseberangan atau melawan upaya penanganan Covid-19.

 

Namun melihat urgensinya, penanganan pandemi ini harus dilakukan secara menyeluruh, tuntas, dan berkelanjutan dengan memperkuat keterlibatan institusi agama. Umat tidak bisa lagi sekadar bersifat pasif menerima vaksinasi dan ”pasrah” ikut protokol kesehatan.

 

Keberagamaan yang terlihat pasif perlu direkonstruksi menjadi keberagamaan aktif dan mencerahkan. Pola keberagamaan sudah waktunya untuk dikembangkan menjadi dasar bagi umat, tidak hanya dalam menjaga diri dari infeksi Covid-19 dan sejenisnya, tetapi juga bagi terpanggilnya mereka untuk menjaga orang lain dan masyarakat dari serangan Covid-19.

 

Mereka terpanggil secara teologis terlibat aktif mencegah kian meluasnya pandemi dan bertambahnya korban, dengan bergerak di ranah mana pun dan sampai tempo kapan pun.

 

Pendidikan keagamaan dan literasi informasi

 

Pengembangan keberagamaan aktif dalam penanganan Covid-19 mensyaratkan agama tidak hanya bersifat pengajaran, apalagi hanya bersifat mata pelajaran dan kuliah sekadar ”tempelan” di lembaga pendidikan. Nilai-nilai agama sudah saatnya hadir di setiap bidang kehidupan, di ruang mana pun dan di saat kapan pun.

 

Sejalan dengan itu, literasi keberagamaan mutlak menjadi bagian dari pandangan dan kehidupan masyarakat. Literasi ini menuntut umat untuk memahami dan mengembangkan pemahaman, sikap, dan perilaku berdasarkan sumber keagamaan yang otoritatif.

 

Sumber nilai dan ajaran yang dijadikan pegangan dapat dipertanggungjawabkan secara teologi dan etika-moral, (juga fiqh dalam Islam). Nahdlaltul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi sejenis yang tidak diragukan lagi moderasi dan sanad (mata rantai) ilmu keagamaan dan pola keberagamaannya merupakan kemestian dijadikan rujukan.

 

Pada saat yang sama, organisasi-organisasi sosial keagamaan memiliki kewajiban sosial-teologis untuk menyampaikan ajaran agama yang utuh dan mengembangkan keberagamaan aktif-mencerahkan mulai dari ranah terkecil sampai skala nasional secara intens dan merata.

 

Seiring itu, organisasi-organisasi tersebut, sendiri-sendiri atau bersama lembaga lain dituntut juga mengembangkan kemampuan literasi informasi umat dan masyarakat. Era the Fourth Industrial Revolution yang berbasis cyber physical system nyaris tidak akan memberikan peluang kehidupan yang normal, tenang, dan sehat lahir batin bagi mereka yang tidak memiliki literasi tersebut.

 

Dalam kasus khususnya di Indonesia, dunia media sosial telah memorakporandakan kebenaran dan realitas. Kebohongan informasi atau hoaks dianggap bahkan diyakini sebagai kebenaran hanya karena ulah permainan oknum atau kelompok yang menguasai dunia teknologi informasi.

 

Berpulang pada lemahnya kemampuan literasi, orang atau masyarakat bukan hanya mereka yang tidak berpendidikan yang termakan isu hoaks dan sejenisnya, tapi juga mereka yang menguasai agama atau bependidikan tinggi, tapi tidak melek informasi. Hal ini tentu langsung atau tidak akan berpengaruh dalam keberhasilan penanganan Covid-19.

 

Keberagamaan aktif-mencerahkan yang didukung literasi informasi merupakan keniscayaan bagi umat beragama dan masyarakat untuk dilabuhkan saat ini ke depan. Melalui dua hal itu, umat beragama dan masyarakat diyakini tidak hanya dapat menjaga diri sendiri agar tidak terpapar Covid-19, tapi juga berperan aktif untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar hidup sesuai dengan protokol kesehatan secara berkelanjutan, di mana pun dan kapan pun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar