Sabtu, 27 Februari 2021

 

Memperkuat Relevansi Program Studi untuk Menjawab Tantangan Bangsa

 Suyoto  ;  Pemerhati Pendidikan; Mantan Bupati Bojonegoro Periode 2008-2013 dan 2013-2018; Politisi Partai Nasdem

                                                     KOMPAS, 26 Februari 2021

 

 

                                                           

Sebuah bangsa dan masyarakat akan  tumbuh  berkembang bila mampu beradaptasi dan berinovasi dalam setiap perubahan.  Dengan menghadirkan berbagai  produk dan jasa  baru  dalam sistem dan struktur kehidupan yang berfungsi dengan baik pula.  Untuk inilah pendidikan tinggi hadir.

 

Dalam buku terbarunya Universities as  Engines of wconomic development, making Knowledge  Exchange Work (2020), Edward Clewley mengungkapkan,  studi yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan perguruan tinggi (PT) selalu diiringi dengan pertumbuhan ekonomi regional.

 

Kontribusi MIT pada PDB Amerika digambarkan mencapai 10 persen, terutama lewat berbagai perusahaan yang didirikan alumninya.

 

Meskipun fokus PT pada bidang pendidikan dan pengajaran,  penciptaan ilmu pengetahuan baru, dan  penyebaran inovasi mutakhir pada pihak yang berkepentingan, dalam praktiknya dilakukan dalam relasi yang melibatkan multipihak, seperti mahasiswa, akademisi, pelaku bisnis, masyarakat, dan pemerintah.

 

Kerja sama bahu-membahu antarkomponen bangsa ini yang dalam dunia pendidikan tinggi kita diwadahi dalam Tri Dharma perguruan tinggi. PT berkontribusi pada perkenomian lewat pertukaran pengetahuan dan alumni PT. Sebuah sinergitas yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi berbasis prinsip-prinsip keberlanjutan.

 

Masalahnya, apakah semua program studi (prodi) PT  mampu berkontribusi menjawab tantangan kebangsaan yang semakin besar terkait ketahanan, kemandirian dan keunggulan bangsa. Sebagai gambaran, jumlah total prodi di PTN dan PTS tercatat mencapai 26.886 prodi, yang terdiri 5.700-an prodi bidang pendidikan, teknik 4.800, sosial 4.100, kesehatan 3.300, ekonomi 3.300, pertanian 1.800, agama 1.700, MIPA 1.000, Humaniora 719 dan seni 385. (Sumber: Dirjen Dikti).

 

Pertanyaan ini normal ditanyakan, mengingat banyak program studi didirikan  sekadar mengikuti tren sesaat, bukan dilandasi semangat untuk memberi kontribusi nyata dan sesuai dengan strategi pembangunan.

 

Pada 80-an dan awal 90-an, prodi bidang pertanian dan pendidikan sempat booming peminat. Lalu prodi ekonomi dan teknik informatika. Prodi pendidikan mengalami kenaikan peminat sejak pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi guru.

 

Pilihan program studi para calon mahasiswa umumnya sekadar didasarkan pada pertimbangan sesaat, apa yang sedang terjadi saat ini, bukan 5 atau 10 tahun ke depan. Di sisi lain para penyelenggara pendidikan umumnya berlomba mendirikan program studi yang sedang banyak peminat.

 

Kecenderungan  mendirikan prodi yang sedang tren, atau banyak diminati calon mahasiswa tidak sepenuhnya kesalahan mereka. Setiap PT apalagi swasta hanya bisa hidup jika memiliki mahasiswa. Di lain pihak persyaratan pendirian prodi mengharuskan adanya dosen dengan kualifikasi sarjana S-1 dan S-2 yang sesuai atau linier bidang prodi. Sehingga sulit sekali melahirkan prodi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.

 

Contoh prodi logistik dan rantai pasok, meskipun sangat dibutuhkan tidak mudah mendapatkan calon dosen yang berijazah linier S-1 dan S-2 di bidangnya. Maka, relevan sekali peringatan Presiden Jokowi tentang perlunya dunia pendidikan adaptif dan antisipatif dalam mendirikan program studi. Nama prodi jangan itu-itu saja.

 

Terobosan Mendikbud Nabiel Makarim untuk mendorong mahasiswa mendapatkan mengalaman nyata dari perusahaan global (micro credential), matching funds yang mendorong para akademisi dan pelaku industri menemukan inovasi dan competitive fund yang mendorong  revitalisasi dan terobosan prodi baru berkelas global layak mendapat apresiasi dan dukungan.

 

Kebijakan merdeka belajar dan insentif fund dapat menjadi momentun sinergitas dunia pendidikan tinggi dengan pelaku ekonomi. Untuk ini diperlukan sebuah kerangka kerja yang dapat memandunya.

 

Penulis belum lama ini terlibat proses desain sebuah prodi atas inisiatif United In Diversity (UID) dalam merespons kebutuhan transformasi teknologi informasi untuk mewujudkan SDGs bagi kota dan kabupaten yang membahagiakan.

 

Proses desain dipimpin Prof Edwad Crawley, Guru Besar MIT, ahli roket dan berpengalaman mendirikan prodi, pendiri dan rektor pertama Scoltech Russia, dan melibatkan berbagai ahli global, Tsinghua University China, dan tiga orang lain dari Indonesia, termasuk penulis.

 

Program ini diberi nama Happy Digital X: Cities, System, Service dan Product. Saat ini telah teregistrasi di Tsinghua sebagai program TSEA kerja sama dengan UID dan mulai dibuka untuk publik. Dalan proses itulah penulis mencatat mekanisme penting untuk menjamin prodi berkontribusi nyata pada kebutuhan pemangku kepentingan. Berikut beberapa langkah yang menggambarkan dialektika pendidikan  dengan pemangku kepentingan.

 

Pertama, sebelum memutuskan pilihan program studi yang akan dikembangkan tim kerja mendiskusikan  tantangan besar, mendesak dan bidang apa yang diperlukan. Hingga mendapatkan beberapa alternatif. Saat itu, tim  mempertimbangkan beberapa isu, yaitu transformasi pembangunan perkotaan, sustainable finance atau blended finance, technopreneur, dan sustainable low.

 

Kedua, untuk mendapatkan gambaran tim mengecek harapan dan kenyataan di pemangku kepentingan. Dari sinilah keluar Happy Digital Cities. Ketiga, mengecek apa yang sudah diberikan oleh berbagai prodi terkemuka di dunia. Apa yang masih kurang sehingga tampak jelas kesenjangannya.

 

Keempat, mempelajari siapa para ahli terkemuka yang terkait dengan bidang ini. Kelima, mendiskusikan semua temuan dan merumuskan konsep akademik prodi terpilih dan value proposition-nya. Keenam, mengundang berbagai pihak yang relevan untuk memberikan masukan. Ketujuh, penyusunan draf awal desain kurikulum, dan mempertimbangkan siapa yang akan dilayani oleh prodi dan bagaimana aspek pedagogisnya.

 

Kedelapan, melakukan advisory meeting dengan mengundang para ahli dan representasi pemangku kepentingan untuk memberi masukan atas draf yang telah tersusun.

 

Kesembilan, penulisan draf baru kurikulum dan mulai mendiskusikanya dengan para ahli yang dimungkinkan sekaligus akan menjadi pengajarnya.

 

Kesepuluh, terus berproses melakukan perbaikan dengan mengecek di pemangku kepentingan dan senyampang  penyusunan silabus, proyek dan modul. Kesebelas, pemasaran program ke kalangan terbatas sambil menguji rancangan yang sedang berjalan. Langkah terakhir, atau keduabelas, pelaksanaan dan  evaluasi untuk perbaikan kembali apa yang telah dilaksanakan terkait efektivitas dan relevansinya pada pemangku kepentingan. Perbaikan inilah yang akan ditawarkan untuk angkatan kedua.

 

Seluruh aktivitas bersifat  sirkular, mirip seperti yang kerap diungkapkan mantan Mendiknas A Malik Fadjar almarhum: ”Start from beginning and the end to beginning” untuk saling melayani antara penyedia jasa pendidikan dengan pemangku kepentingan.

 

Sebuah proses  yang terus-menerus mengharuskan pelipatgandaan energi hidup, pengetahuan, inovasi, dan kearifan untuk menghadirkan dunia yang lebih baik. Senantiasa open mind, heart, dan will atas kehendak bersama, untuk better business for better world. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar