Minggu, 21 Februari 2021

 

Dua Kerinduan Ganjil

 Reza A.A Wattimena  ;  Peneliti di bidang Filsafat Politik dan Kebijaksanaan Timur, Lulus doktor filsafat dari Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman

                                                     KOMPAS, 20 Februari 2021

 

 

                                                           

Ide tulisan ini saya peroleh, setelah bercakap-cakap dengan F. Budi Hardiman, dosen saya di STF Driyarkara dulu, di media sosial Whatsapp. Ia mengajukan tesis menarik, bahwa manusia dicengkeram oleh dua kerinduan ganjil sekarang ini. Yang pertama adalah kerinduan untuk dikuasai. Yang kedua adalah kerinduan untuk ditipu.

 

Orang menyerahkan dirinya untuk dijajah oleh orang lain. Tubuh dan pikirannya lalu tidak lagi menjadi miliknya. Orang juga dengan sadar ditipu oleh orang lain dengan janji-janji palsu. Harta, dan bahkan nyawanya, siap jadi persembahan.

 

Dua tesis ini lalu jadi bahan permenungan saya. Saya mulai melihat pola serupa di berbagai keadaan. Gejala dunia mengarah pada dua tesis ini. Salah satu yang paling jelas adalah memikatnya tawaran untuk menjadi bagian dari kelompok radikal agamis yang menyebarkan kerusakan, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) di Timur Tengah.

 

Agama dan Kekerasan

 

Di 2016 lalu, ketika ISIS sedang berada di puncaknya, ada 30.000 orang dari 85 negara yang terlibat di dalamnya. (Benmelech, 2016) Mayoritas berasal dari Timur Tengah. Namun, Eropa Barat juga banyak menyumbangkan anggota disana. Belakangan, orang-orang dari Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand juga bergabung. ISIS pun menjadi sebuah fenomena global.

 

Dengan 6000 orang, Tunisia menjadi penyumbang utama. Lalu diikuti oleh Arab Saudi (2500 orang), Turki (2100) dan Yordania (2000). Dari Eropa Barat, Prancis menjadi penyumbang terbanyak dengan 1700 orang. Ini diikuti oleh Jerman (760), Inggris (760) dan Belgia (470). Dari Asia, Indonesia menyumbang 699 orang (Kompas.com, 2020).

 

Benmelech, peneliti radikalisme dari Kellog School of Management, sampai pada kesimpulan yang mengejutkan. Unsur kemiskinan berperan kecil dalam radikalisme ISIS. Yang lebih kuat adalah unsur isolasi. Orang-orang menjadi radikal, karena mereka dikucilkan dari lingkungannya. Mereka dilihat dengan penuh kecurigaan, sehingga tidak mendapatkan penghargaan selayaknya sebagai manusia.

 

Gejala „kerinduan untuk dikuasai“ dan „kerinduan untuk ditipu“ tampak jelas di sini. Orang mengikuti sebuah ajaran, tanpa nalar sehat dan hati nurani. Orang menyerahkan dirinya pada penipuan, dan merasa diselamatkan olehnya. Mereka menjadi gelap mata dengan sukarela, dan jahat pada perbedaan.

 

Di dalam sejarah, agama banyak menjalankan peran ini. Atas nama Tuhan dan surga, orang menyerahkan nalar sehat dan nuraninya untuk dikuasai dan ditipu. Kebencian dan prasangka terhadap perbedaan lalu tercipta. Perang dan konflik berdarah pun tak terhindarkan.

 

Sebagaimana dicatat oleh Encyclopedia of Wars, dari 1763 perang yang tercatat di dalam sejarah, 123 diantaranya membawa agama sebagai alasan utama. Ini berarti sekitar 7 %. Dari 100 konflik yang menciptakan banyak korban jiwa, 11 diantaranya menggunakan alasan-alasan religius. Data ini hanya memberikan gambaran umum, dan tentu harus dibaca dengan kritis.

 

Artis dan Pendangkalan

 

Hal kedua yang tampak adalah pemujaan artis di berbagai belahan dunia. Artis dianggap setengah dewa. Mereka dianggap manusia sempurna yang patut menjadi teladan. Padahal, gaya hidup mereka cenderung mewah, suka pamer dan penuh dengan kenikmatan-kenikmatan material yang dangkal.

 

Tidak ada nalar sehat yang diajarkan. Tidak ada sikap kritis yang dikembangkan. Hiburan semata menjadi tujuan. Tak heran, di abad penuh dengan informasi, dunia justru semakin gampang lupa, dangkal serta merusak.

 

Misalnya Christiano Ronaldo, pemain sepak bola ternama di dunia sekarang ini. Sampai 25 Januari 2021, pengikutnya di media sosial Instagram sudah mencapai 256 juta orang. Dengan pengikut sebanyak itu, Ronaldo bisa memperoleh banyak pemasukan dari iklan. Sekali unggahan di media sosialnya tersebut, Ronaldo bisa mendapatkan 17,6 Milliar Rupiah. (Kompas.com, 2020)

 

Kyline Jenner, seorang artis asal Amerika Serikat, juga punya pola serupa. Saat ini, di Instagram, ia memiliki 211 juta pengikut. Untuk itu, setiap unggahan iklan, ia mendapatkan lebih dari 1 Juta Dollar AS, atau atau sekitar 14 Milliar Rupiah. Media sosial ini juga digunakan untuk menjual barang-barang produksinya sendiri.

 

Ini jelas peluang pemasaran yang menggiurkan. Semakin banyak barang dijual, semakin kaya semua orang. Orang digoda terus menerus untuk membeli barang yang sebenarnya tak ia butuhkan atau dikendalikan oleh kebutuhan-kebutuhan palsu (falsche Bedürfnisse).

 

Polanya serupa. Orang rindu untuk dirayu dan ditipu untuk membeli tanpa henti. Nalar sehat dan nalar kritis redup. Tak heran, kapitalisme turbo semacam ini menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi di abad 21.

 

Apa akibatnya?

 

Ada empat akibat yang kiranya muncul. Pertama, kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin akan semakin besar. Dunia terbelah antara orang kaya dan orang miskin. Sebenarnya, dunia memang selalu mengandung kesenjangan. Namun, ketika kesenjangan tersebut sudah begitu besar, ditambah dengan kesombongan gaya hidup yang ditampilkan dari kumpulan orang kaya, kebencian tak lagi bisa terhindarkan. (Sandel, 2020)

 

Dua, kebencian inilah yang memberi isi bagi populisme politik di abad 21. Populisme adalah politik yang berpura-pura membela kepentingan kaum tertentu yang dirugikan oleh sistem. Yang menjadi sasaran kebencian adalah kelompok elit. Agama dan identitas budaya lalu dimainkan untuk memanaskan keadaan.

 

Tiga, orang yang rindu untuk dijajah dan ditipu gampang dipermainkan. Mereka gampang diadu domba satu sama lain. Dengan fitnah, yang kerap kali berbau agama, kebencian dan konflik pun bisa dikobarkan. Indonesia sudah lama menjadi korban adu domba ini, terutama sejak masa Kolonial Belanda dahulu. Di abad 21 ini, pola yang sama, sayangnya, belum juga berubah.

 

Empat, dari semua ini, perdamaian yang berkelanjutan jelas sulit diciptakan. Orang-orang yang terus rindu untuk dikuasai dan ditipu akan terus menciptakan ketegangan sosial. Masyarakat terus akan terbelah oleh kubu-kubu yang saling membenci. Perdamaian tak akan mampu menjadi kenyataan.

 

Mutu pendidikan yang rendah jelas memainkan peranan. Prasangka dan kebencian terhadap suatu kelompok lahir dari sempitnya cara berpikir. Kerinduan untuk dijajah dan ditipu, dibarengi dengan kedangkalan refleksi, pun serupa. Ketika berbicara pendidikan, orang tak boleh hanya berbicara soal seragam agamis ataupun gedung belaka, tetapi isi dan filsafat pendidikan yang diajarkan. Di berbagai negara, terutama Indonesia, ini menjadi masalah yang mendesak.

 

Miskinnya keteladanan juga berperan besar. Ketika masyarakat mendewakan artis dan kelompok agamis yang sempit, maka pesan yang tersampaikan adalah: jadilah radikal dan dangkal, maka kamu akan berhasil dalam hidup. Ketika para pemimpin negara diisi para koruptor dan penjilat, maka pesan yang diajarkan adalah: jadilah maling dan penjilat atasan, maka kamu juga akan dianggap berhasil dalam hidup. Budaya beracun (toxic culture) inilah yang kini tersebar di dunia.

 

‘Kerinduan untuk dikuasai’ dan ‘Kerinduan untuk ditipu‘ jelas kini menjadi gejala global. Namun, ia bukanlah sesuatu yang mutlak. Ia bisa dicegah dengan kesadaran sederhana, bahwa kebebasan jauh lebih berharga daripada janji-janji surga yang palsu. Dan kesadaran, bahwa nalar sehat serta sikap kritis jauh lebih berharga daripada barang-barang yang segera menciptakan kekosongan, setelah masa pakainya habis.

 

Dua kesadaran sederhana yang tidak hanya bisa menyelamatkan hidup kita, tetapi juga umat manusia, dari kehancuran. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar