Selasa, 23 Februari 2021

 

Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Bendungan Berkelanjutan

 Marenda Ishak S  ;  Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

                                                     KOMPAS, 23 Februari 2021

 

 

                                                           

Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Tapin di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/2/2021). Bendungan senilai Rp 986,50 ini menjadi bagian guna pengendalian banjir, peningkatan ketahanan pangan, serta peningkatan rasio elektrifikasi. Tentunya, kita semua berharap bendungan ini mampu menjalankan fungsinya sesuai kapasitas dan usia manfaat (lifetime).

 

Setidaknya ada beberapa catatan besar dalam pengelolaan bendungan yang tidak boleh kita lupakan. Pertama, permasalahan erosi dan sedimentasi pada daerah tangkapan air yang berakibat pada penyusutan lifetime dari bendungan.

 

Kedua, pengelolaan dan pemanfaatan bendungan. Bendungan sering kali juga mendorong kegiatan multifungsi sebagai penggerak ekonomi dan pariwisata, tetapi hal ini justru kontraproduktif terhadap fungsi utama dari bendungan.

 

Ketiga, permasalahan partisipasi masyarakat yang turut memengaruhi kinerja dari bendungan. Perbedaan persepsi tentang cara mengoptimalkan fungsi bendungan dari pelbagai pemangku kepentingan mengakibatkan bendungan terdegradasi dan kurang terpelihara.

 

Tiga hal ini yang rasanya penting untuk dipaparkan sehingga bendungan yang ada di Indonesia mampu memberi manfaat seluas-luasnya guna kepentingan masyarakat secara berkelanjutan.

 

Erosi dan sedimentasi

 

Dengan menggunakan berbagai macam sistem pemodelan, kita dapat memprediksi bagaimana penyusutan lifetime dari bendungan yang ada di Indonesia. Pada umumnya danau atau bendungan yang ada saat ini mengalami penyusutan lifetime 5-15 tahun atau bahkan lebih, jika tanpa intervensi yang mampu memperbaiki kerusakan lahan daerah tangkapan air.

 

Dari lifetime design yang berkisar 50-100 tahun, sedimentasi menjadi momok yang selalu menghantui danau/bendungan. Kerusakan lahan pada daerah sekitar menjadi penyebab utama erosi dan sedimentasi.

 

Sebagai perbandingan, erosi yang dapat ditolerasi adalah 20 ton/ha/tahun, tetapi erosi pada lahan sekitar bendungan terjadi lebih dari 100 ton/ha/tahun. Ini artinya, kerusakan yang terjadi sedemikian berat dan pengendalian terhadap kerusakan tersebut seolah tak hadir.

 

Kerusakan lahan pada beberapa danau/bendungan juga mengakibatkan kualitas air menurun sehingga multifungsi bendungan/danau kurang mampu dimanfaatkan secara optimal. Penurunan kualitas air bukan saja disebabkan oleh erosi dan sedimentasi, melainkan limbah rumah tangga, pertanian, dan peternakan turut andil dalam penurunan kualitas air danau/bendungan.

 

Penegakan dan pengendalian terhadap perubahan kondisi lahan menjadi kata kunci guna keberlanjutan fungsi danau/bendungan yang ada di Indonesia. Sayangnya, tumpang tindih aturan dan kewenangan antarpusat dan daerah masih saja menjadi polemik.

 

Lebih jauh karena danau dan bendungan memiliki karakter yang bersifat multilevel (pusat dan daerah), multiskala (makro dan mikro), multisektor, dan multipemangku kepentingan, membuat pengelolaan danau/bendungan harus dikelola secara holistik dan terintegrasi.

 

Melihat posisi tersebut, maka sudah barang tentu perspektif dan paradigma pengelolaan bendungan atau danau harus didasarkan pada pemahaman yang sama, padu, dan sinergis. Hal inilah yang menjadi tugas besar dalam pengelolaan bendungan/danau ke depan.

 

Sayangnya, UU Cipta Kerja yang menaungi pengelolaan danau/bendungan, masih menimbulkan kontroversi dalam pengelolaan danau/bendungan secara berkelanjutan.

 

Pengelolaan dan pemanfaatan

 

Dari perspektif pengelolaan dan pemanfaatan, bendungan sebenarnya dapat diupayakan secara multisektor. Pemanfaatan secara multisektor ini yang harus ditata dan dikendalikan sehingga tidak menjadi kontraproduktif terhadap fungsi utama dari waduk atau bendungan. Pemanfaatan multisektor dapat dilakukan dengan pengembangan sektor perikanan, pariwisata, juga transportasi.

 

Berkaca dari pengelolaan danau/bendungan yang ada, pengembangan sektor perikanan telah mengakibatkan penurunan kualitas air, peningkatan gulma seperti eceng gondok, pendangkalan, penurunan populasi biota atau penurunan keanekaragaman hayati.

 

Hal ini harus diantisipasi, karena pengelolaan bendungan secara jangka panjang juga membutuhkan kontrol terhadap kualitas air.

 

Pemberian pakan ikan disinyalir menjadi penyebab mengapa terjadi penurunan kualitas air. Perkembangan keramba jaring apung yang melebihi daya tampung danau/bendungan menjadi catatan penting guna membatasi merebaknya sektor perikanan secara tidak terkendali.

 

Permasalahan juga terjadi pada pada sisi pengembangan sektor pariwisata. Okupasi kawasan sekitar danau/bendungan menjadi permasalahan yang pelik untuk dikendalikan. Okupasi ini terjadi karena bendungan bersifat terbuka dan masyarakat menganggap bendungan/danau sebagai sumber daya yang tidak bertuan sehingga bebas dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh siapa saja (Hardin, 1968).

 

Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kerusakan danau/bendungan yang ada selama ini. Terlebih, okupasi ini juga mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat kurang teperhatikannya sarana pembuangan limbah.

 

Ke depan, pengendalian terhadap hal tersebut perlu dilakukan lebih sistematis. Terutama dengan cara menghitung dan mengontrol daya tampung dan daya dukung dari bendungan terhadap pengembangan pemanfaatannya untuk sektor-sektor lain.

 

Partisipasi masyarakat

 

Dalam pelbagai sisi pembangunan, partisipasi masyarakat menjadi syarat mutlak dalam pengelolaan bendungan/waduk secara berkelanjutan. Pendampingan terhadap masyarakat perlu dilakukan agar potensi kerusakan bendungan dan lingkungan sekitarnya dapat dihindari atau dikelola bersama.

 

Aspek partisipasi ini sering terlupakan, bahkan program yang dilakukan instansi pemerintah (kementerian atau lembaga) kerap kali tidak mengena sasaran dan bertabrakan dengan kebutuhan masyarakat.

 

Fungsi pengawasan juga perlu digalakkan, terutama agar batas-batas pengembangan bendungan mampu dikelola secara bijaksana. Lebih jauh, pengembangan bendungan dan danau sebenarnya merupakan miniatur dari cara pandang, kebudayaan, sikap, dan perilaku bangsa kita terhadap lingkungan.

 

Oleh karena itu, perhatian terhadap bendungan/danau perlu menjadi program utama. Terutama guna menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang peduli akan keberlanjutan lingkungan hidup mereka. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar